Ustadz Zahir Yahya: Deklarasi Ghadir, Risalah Budaya Perlawanan dan Pengorbanan

Wait 5 sec.

Islam Times — Dalam pidatonya yang disampaikan pada 15 Juni 2025, Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya menegaskan bahwa peristiwa Ghadir Khum bukan sekadar seremonial sejarah, tetapi merupakan deklarasi strategis yang mengandung dimensi perlawanan dan pengorbanan mendalam dalam sejarah Islam. Pidato ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Ghadir, di mana Rasulullah saw. menetapkan Ali bin Abi Thalib as. sebagai pemimpin sepeninggalnya.Mengawali pidato dengan doa dan pujian kepada Allah, Ustadz Zahir menyampaikan bahwa Wilayah Ali bin Abi Thalib merupakan warisan kenabian yang tak terpisahkan dari misi risalah Islam. “Alhamdulillāh, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk golongan yang berpegang pada wilayah Amirul Mu’minin,” ujarnya.Ghadir: Deklarasi dalam AncamanUstadz Zahir menjelaskan bahwa peristiwa Ghadir Khum terjadi dalam konteks penuh ketegangan sosial-politik. Saat itu, Rasulullah Saw. menghentikan puluhan ribu jamaah haji dalam perjalanan pulang dan menyampaikan khutbah penting dari mimbar darurat yang dibuat dari pelana unta.Khutbah tersebut, yang dikenal sebagai Khutbah Ghadir, menegaskan prinsip-prinsip dasar iman sebelum akhirnya Rasulullah menyampaikan sabda monumental: “Man kuntu maulāhu fa hādzā ʿAliyyun maulāhu.” Pernyataan ini, menurut Ustadz Zahir, tidak datang dalam ruang kosong, melainkan di bawah tekanan yang mengancam keberlangsungan risalah Islam itu sendiri.Ayat Al-Quran yang turun sebelum deklarasi tersebut pun mengisyaratkan urgensi dan ketegasan Allah dalam perintah ini: “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu... dan Allah akan melindungimu dari manusia.”Dua Dimensi Ghadir: Wahyu dan PerjuanganDalam pandangan Ustadz Zahir, Ghadir memiliki dua dimensi penting. Pertama, aspek pelaksanaan yang merupakan mandat kenabian berdasarkan wahyu. Kedua, aspek kesinambungan yang dilanjutkan oleh para Imam Ahlul Bait dan pengikutnya, yang menghadapi berbagai upaya sistematis untuk menghapus makna sejati Ghadir."Pasca Deklarasi Ghadir, Al-Husain, cucu Rasulullah memperjuangkan kesinambungan risalah Deklarasi Ghadir melalui medan Jihad, Perlawanan dan pengorbanan meski harus berujung secara tragis dengan pembunuhan seluruh keluarga Rasulullah pada saat itu. Dan setengah abad kemudian, 50 tahun sesudah peristiwa kebangkitan Karbala, kehidupan para Imam Ahlul Bait seperti Imam Muhammad al-Baqir dan Imam Jafar as-Shadiq yang telah berhasil meletakkan tonggak revolusi budaya, ilmu, dan pemikiran di dunia Islam pada saat itu", tegasnya.Dari Ghadir ke Karbala dan GazaUstadz Zahir menyebut peristiwa Karbala sebagai lanjutan alami dari Ghadir. Al-Husain tidak menegakkan kembali Ghadir, katanya. Ketua Umum ABI itu, juga menyinggung perjuangan para Imam sesudahnya seperti Imam al-Baqir dan Imam as-Shadiq yang membangun perlawanan intelektual di tengah represi Umayyah dan Abbasiyah.Lebih jauh, Ustadz Zahir menarik garis lurus dari Ghadir ke berbagai poros perlawanan kontemporer di dunia Islam: Beirut, Damaskus, Baghdad, Teheran, hingga Gaza dan Sana’a. Menurutnya, mereka bukan membentuk barisan sektarian, tetapi menjadi garda terdepan melawan dominasi global yang menindas."Jalan dari Ghadir Khum ke Karbala dan dari Karbala ke Gaza, bukanlah jalan romantisme sejarah, melainkan jalan Perlawanan yang sarat dengan pengorbanan, dan gugurnya para Syuhada, meski tetap terang benderang dengan cahaya Wilayah", tandasnya. Seruan untuk Organisasi dan KesadaranMenutup pidato, Ustadz Zahir menyerukan agar umat yang mencintai Ahlul Bait tidak bersikap pasif. Dan mengajak untuk membangun tatanan sosial yang dipimpin oleh Imam Mahdi af., melalui kerja-kerja organisasi, pendidikan, dan kesadaran kolektif akan misi Ghadir."Menjadi pengikut Ahlul Bait berarti memasuki sebuah tatanan sosial dengan kepemimpinan Ilahi seperti kepemimpinan Sahibul Asri waz Zaman, dan untuk menjadi bagian yang produktif dari tatanan tersebut, tentu kita harus bergerak secara kelembagaan, dalam rangka bisa bersama-sama memperjuangkan risalah Deklarasi Ghadir,” tandasnya.Menurutnya, selama umat Islam mencintai Ali bin Abi Thalib, mencintai Al-Husain mencintai Imam Mahdi, maka risalah Deklarasi Ghadir akan tetap hidup, hingga kezaliman tumbang, dan dunia dipimpin oleh keadilan Ilahi yang dijanjikan.