Polemik 'Pemerkosaan Massal Mei 1998' dalam Penulisan Ulang Sejarah

Wait 5 sec.

Ilustrasi pemerkosaan. Sperma pada tubuh Vina berujung pada dakwaan pemerkosaan. Foto: ShutterstockMenteri Kebudayaan Fadli Zon kembali berbicara soal kerusuhan Mei 1998, kali ini, ia mengangkat soal istilah "perkosaan massal" yang menurutnya hingga saat ini masih bisa diperdebatkan. Ia menilai penggunaan istilah tersebut perlu kehati-hatian karena tidak disertai data kuat seperti nama korban, waktu, tempat kejadian, atau pelaku dalam laporan TGPF.Meski telah menjelaskan bahwa ia tak menegasikan keberadaan kekerasan seksual pada masa itu, tetapi komentarnya telanjur menuai perdebatan. Lalu, seperti apa pandangan berbagai pihak terkait hal tersebut? Berikut kumparan rangkum. Sikap Komnas Perempuan: Penyintas Sudah Terlalu Lama Memikul Beban dalam DiamKomnas Perempuan menilai sikap tersebut menyakitkan bagi para penyintas dan merupakan bentuk kekerasan yang berulang.“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, dalam keterangannya, Senin (16/6).Kantor Komnas Perempuan. Foto: Twitter/@komnasperempuanKomnas Perempuan mengingatkan bahwa laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat terdapat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan, dalam kerusuhan Mei 1998. Laporan itu menjadi dasar pengakuan resmi negara atas peristiwa tersebut dan melahirkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 yang menetapkan pembentukan Komnas Perempuan.Komnas Perempuan mengingatkan dokumen TGPF adalah produk resmi negara. Maka, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan.Respons Istana terkait Pemerkosaan Massal 1998: Biarkan Sejarawan MenulisKepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menilai persoalan penulisan sejarah biar diserahkan kepada para sejarawan. Hal itu disampaikan Hasan menanggapi polemik terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai pemerkosaan massal 1998.Ia meminta publik untuk memberikan waktu terhadap para sejarawan untuk menuliskan ulang sejarah Indonesia."Ini kan sekarang semua dalam proses dan dalam proses ini terlalu banyak spekulasi-spekulasi yang menyatakan ini tidak ada, ini ada, coba kita biarkan para sejarawan ini menuliskan ini," kata Hasan di kantor PCO, Jakarta Pusat, Senin (16/6).Kepala Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi di Kantor PCO, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025). Foto: Zamachsyari/kumparanMenurut Hasan, publik nantinya bisa mengawasi para sejarawan. Juga melakukan koreksi terhadap apa yang mereka tulis."Dan untuk nanti kita pantau kita pelototi kita periksa bareng-bareng," ujarnya.Hasan mengatakan para sejarawan yang terlibat dalam penulisan sejarah merupakan sejarawan yang memiliki kredibilitas tinggi. Hasan memandang mereka tentu tidak akan mengorbankan kredibilitas mereka untuk hal-hal yang tidak perlu."Jadi kekhawatiran kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi tapi jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia," kata dia.Penjelasan Lanjutan dari FadliFadli Zon memberi penjelasan lanjutan terkait komentarnya tersebut. Sebelumnya, ia juga mengutuk setiap kekerasan seksual atau perundungan yang terjadi pada perempuan. “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6).“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” lanjutnyaMenteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparanFadli menjelaskan perlunya ketelitian dan kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.Fadli menjelaskan pernyataannya bukan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual, namun untuk menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” jelas Fadli.Menurutnya, istilah ‘massal’ juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujarnya.