Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA - Haji merupakan ibadah tahunan ke Mekkah, Arab Saudi, dan merupakan rukun Islam kelima dan terakhir, bersama dengan pernyataan iman (syahadat), shalat lima waktu, zakat wajib , dan puasa selama bulan Ramadan. Kata ini berasal dari akar kata bahasa Arab “hjj”, yang berarti “berniat melakukan perjalanan” atau “berangkat untuk tujuan tertentu”.Perjalanan ini wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi semua umat Islam dewasa yang mampu secara fisik dan finansial untuk melaksanakannya. Pada tahun 2025, ibadah haji akan berlangsung dari tanggal 4 Juni hingga 9 Juni, tetapi banyak yang mulai tiba beberapa hari dan minggu ke depan untuk mempersiapkan perjalanan.Karena kalender Islam mengikuti siklus lunar, dengan bulan yang berlangsung selama 29 atau 30 hari, haji bergeser 10 hingga 12 hari lebih awal setiap tahun dalam kalender Gregorian. Khususnya, tahun ini menandai terakhir kalinya selama 16 tahun ke depan haji akan jatuh pada puncak musim panas di Mekkah. Perjalanan ini bersifat spiritual, dan dianggap memungkinkan umat Islam untuk mencari pengampunan, menyucikan jiwa mereka, dan menunjukkan ketundukan mereka kepada Tuhan. Kata haji disebutkan 12 kali di seluruh Al-Quran, termasuk satu bab yang dinamai menurut namanya.Ibadah haji juga berfungsi sebagai pengingat akan datangnya Hari Kiamat, dan dengan melaksanakannya, umat Islam mengikuti contoh Nabi Ibrahim dan keluarganya, yang tindakannya diperingati selama ritual ibadah haji. Pada akhirnya, ibadah haji merupakan cara untuk memenuhi kewajiban agama utama dan memperkuat keimanan seseorang.ilustrasi haji (Ist) Ulama kharismatik KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha kembali menyampaikan pesan mendalam terkait ibadah haji. Dalam salah satu kajiannya, beliau menyoroti tradisi haji yang terlupakan menurut Gus Baha, khususnya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut Gus Baha, ada sebuah kebiasaan yang dahulu dijunjung tinggi oleh para jamaah haji, yakni niat untuk menunaikan ibadah haji semata-mata karena Allah, tanpa embel-embel gengsi atau kehormatan sosial."Zaman dahulu, orang yang berangkat haji tidak pernah menyebut dirinya ‘pak haji’ sepulang dari Tanah Suci. Mereka justru menjaga keikhlasan dan tidak mencari pengakuan sosial," ujar Gus Baha.Petaka di Haji 2024Travel penyelenggara haji sangat masif mengiklankan tentang haji furoda atau mereka sebut “mujamalah” sebagai upaya penggunaan istilah yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggara ibadah haji dan umrah.Sebagai sebuah bisnis yang berupaya menarik jemaah dengan slogan “haji tanpa antre” tentu sah saja karena keuntungannya tinggi dan menggiurkan. Namun, bagi calon jemaah perlu pengetahuan memadai tentang apa sebenarnya visa haji furoda dimaksud dan apakah sama dengan visa haji mujamalah.Travel sebenarnya memahami syarat berhaji namun karena keuntungan besar berbagai cara yang tidak sesuai agama pun ditempuh dengan memanfaatkan kerinduan dan ketidakmengertian jemaah tentang proses haji, membohongi janji manis dijamin berangkat haji, membuat kartu nusuk palsu, termasuk menipu dengan modus bisnis daging dam dan lainnya.Mirisnya yang ikut haji ilegal ini adalah orang terpelajar dan pejabat negara seperti anggota dewan, ASN, Dosen termasuk aparat hukum sendiri. Di sisi lain Kerajaan Arab Saudi sangat represif melakukan penegakan hukum menindak jemaah haji ilegal tanpa memiliki izin haji secara masif sehingga banyak jemaah gagal memasuki kota Makkah. Jemaah yang tertangkap petugas selain dibuang keluar Makkah tidak sedikit dihukum deportasi, dipenjara dengan tuduhan penipuan, pemalsuan dan lainnya.ilustrasi haji (Ist) Menteri Haji dan Umrah Dr. Tawfiq Al-Rabiah dari Kerajaan Arab Saudi menggarisbawahi pentingnya kartu “Nusuk” (kartu izin haji) untuk memastikan jemaah memperoleh layanan mudah dan nyaman di semua tahapan, berkoordinasi dengan kementerian yang mengurusi haji serta mengimbau semua lembaga ikut serta dalam kampanye “laa hajja liman laa tasriha lahu” (dilarang haji tanpa izin). Kartu nusuk dikeluarkan bagi pemilik visa haji yang dikeluarkan otoritas di Kerajaan yang berkoordinasi dengan kantor urusan haji di 80 negara atau melalui platform “Nusuk Haji” atau situs web resmi kementerian (https://masar.nusuk.sa) yang ditujukan untuk jemaah lebih dari 126 negara.Saat puncak haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina). kekhawatiran juga selalu muncul karena tetap ada penangkapan bagi yang tidak memiliki Nusuk, menggunakan Nusuk palsu, membeli izin bus ilegal dengan kekhawatiran petugas masuk bus, minim makanan dari travel, tidak mendapatkan tenda di Mina bahkan hanya tidur di antara tenda jemaah resmi, di bawah jembatan atau hanya berada di bus termasuk menyiasati pemberangkatan bus agar terhindar dari pemeriksaan. Meskipun ada yang akhirnya berhasil melaksanakan haji namun dilakukan dengan cara kucing-kucingan dengan petugas, penuh kesengsaraan sampai bertaruh nyawa sebagaimana kejadian 2024 di atas.Pentingnya Fungsi Visa Haji di Antara Furoda, Mujamalah dan ZiarahAtase Hukum KBRI RIYADH, Dr. Erianto N, SH. MH menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 hanya mengatur visa haji mujamalah sebagai undangan dari pemerintah kerajaan Arab Saudi, di mana para jemaah diwajibkan berangkat dengan penyelenggara ibadah haji khusus terdaftar dan dilaporkan kepada Kementerian Agama–sementara untuk visa haji furoda tidak ada dijelaskan sedikitpun dalam undang undang sehingga keduanya adalah dua hal berbeda.Berdasarkan informasi dari salah satu pejabat bidang Pengawasan Haji Kementerian Agama menjelaskan, bahwa haji mujamalah memang ada diatur dalam undang-undang tentang haji di mana visa haji tersebut dikeluarkan oleh masing masing kementerian di kerajaan Arab Saudi diberikan kepada counterpart atau partner masing-masing, baik lembaga pemerintahan atau swasta, organisasi kemasyarakatan, pesantren dan lainnya di Indonesia dengan sepengetahuan dan wajib dilaporkan kepada Kementerian Agama.Sementara visa haji furoda merupakan visa yang dikeluarkan karena hubungan individu di Indonesia dan di Arab Saudi, biasanya didapatkan individu yang memiliki akses luas dan berpengalaman termasuk para ekspatriat yang sudah menjadi muqimin di Arab Saudi atau bahasa sederhananya: visa haji furoda merupakan “bancakan” pihak pihak yang memiliki akses untuk menikmati keuntungan “pesta” musim haji.ilustrasi haji (Ist) Sementara itu, Subhan Chalid selaku Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama dalam sebuah podcast di KBRI Riyadh “Hati-Hati Haji Furoda” menyampaikan pelaksanaan haji didasarkan kepada keputusan sidang Organisasi Konferensi Islam di Oman tahun 1987, di mana setiap negara muslim akan mendapatkan kuota dasar haji dengan perhitungan 1/1000 penduduk sesuai sensus yang diakui oleh PBB.Mungkin terjadi penambahan sesuai kebijakan tambahan dari kerajaan Arab Saudi kuota tambahan 20.000 yang diterima Indonesia tahun 2024 kemarin. Dari kuota resmi yang ada 92% diperuntukkan kepada kuota haji reguler sedangkan 8% untuk kuota haji diperebutkan oleh siapa pun yang dikenal “Haji Plus” dengan tetap harus terdaftar pada Siskohaj Kementerian Agama dan di bawah pengawasan pemerintah.Sementara visa mujamalah merupakan jalur undangan kerajaan Arab Saudi di luar kuota yang diberikan kepada perwakilan lembaga pemerintah, tokoh, ormas, pesantren dan pihak lainnya sesuai dengan kebijakan pihak Kerajaan Arab Saudi. Terkait adanya haji dengan visa ziarah atau visa wisata atau visa multiple dan visa lainnya selain visa haji, maka sudah jelas tidak bisa berhaji dan penggunaan untuk ibadah haji adalah ilegal oleh kerajaan Arab Saudi.Perlu Harmonisasi dan Integritas dalam Pengawasan Dana HajiDeputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menambahkan, dari kajian KPK, diperlukan adanya harmonisasi regulasi dan hubungan kelembagaan antara BPKH dan Kementerian Agama. Perlu ada penyelarasan substansi antara UU No. 34 Tahun 2014 dan UU No. 8 Tahun 2019.Disharmoni ini dapat dilihat dari perbedaan definisi BPIH, mekanisme penetapan BPIH, serta pelaporan pertanggungjawaban PIH antara kedua UU tersebut. Jika ditelaah, UU No. 8 Tahun 2019 dinilai mengabaikan fungsi dari BPKH dalam pengendalian dan pengawasan keuangan haji.Di sisi lain, terdapat masalah dimana kinerja penempatan dan investasi yang belum terlalu optimal sehingga perolehan nilai manfaat belum optimal. Pun, pemilihan BPS-BPIH pengelola nilai manfaat berpotensi rawan korupsi karena tidak semuanya melalui proses lelang tertapi berdasarkan permohonan dari BPS-BPIH.Juga masih lemahnya pengawasan dalam penyaluran dana kemaslahatan karena dilaksanakan tanpa tahapan sehingga rawan penyimpangan dan tidak sesuai dengan proposal yang diajukan.Oleh karena itu, KPK merekomendasikan BPKH untuk menginventarisir masalah dengan segera memperbaiki tata kelola dan menutup celah-celah permasalahan di atas. Seperti menyusun SOP penyaluran dana kemaslahatan secara bertahap untuk yang bernilai signifikan serta memperbaiki kinerja investasi dan penempatan dalam rangka peningkatan nilai manfaat.Ilustrasi Haji di Makkah (ANTARA) “Dari seluruh pihak pengelola dana publik (terpenting) adalah masalah etik dan conflict of interest. Kredibilitas ini dilihat publik bagaimana (BPKH) menjalankan baik yang kelihatan maupun yang secara terukur telah dijelaskan,” kata Pahala.Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengucapkan terima kasih kepada KPK karena melalui kajian ini pihaknya dapat mengetahui pos-pos yang harus diperbaiki. Meskipun begitu, BPKH berkomitmen untuk menjadi lembaga antikorupsi dimana saat ini BPKH telah menggunakan wistleblowing system (WBS).Terkait permasalahan disparitas harga, Fadlul menjelaskan pihaknya akan berkoordinasi bersama Kemenag dan Komisi VIII DPR RI. Termasuk saat ini, BPKH telah berkoodinasi intensif dengan Kemenag terkait penyelarasan UU untuk menemukan formula terbaik demi pengelolaan dana haji yang optimal.“Pemerintah Saudi ingin meningkatkan kuota Jemaah dari dua juta menjadi lima juta. Tentunya ini menjadi tantangan kita untuk meningkatkan kualitas layanan haji dan tidak akan meningkat jika dananya tidak cukup,” kata Fadlul.Persoalan tata kelola ibadah haji ini yang menyebabkan anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengusulkan agar Badan Penyelenggara Haji (BPH) ditingkatkan menjadi kementerian untuk memastikan terlaksananya perbaikan tata kelola haji yang menyeluruh. “Bukan hanya badan, tapi dibentuk Kementerian Haji agar levelnya setara dengan Kementerian Haji di Arab Saudi,” imbuhnya.Fikri menjelaskan, upaya perbaikan tata kelola haji itu memang sepatutnya dimulai dari pembentukan lembaga yang memiliki otoritas penuh dan struktur yang kuat dari pusat hingga daerah. Berikutnya, lembaga pemerintah yang mengurus haji dan umrah pada dasarnya memiliki skala operasional yang sangat besar. Mereka melayani sekitar 220 ribu jamaah haji dan 640 ribu jamaah umrah setiap tahunnya, dengan perputaran uang diperkirakan mencapai Rp60–70 triliun.“Kalau memang serius mau memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji, level kelembagaannya juga harus ditingkatkan. Jangan hanya badan di pusat, tapi tidak ada perwakilan di provinsi, kabupaten, maupun kota,” tegasnya.Ketua ICMI Jawa Timur, Ulul Albab Usulan sepakat bila perbaikan tata kelola haji diperlukan untuk mengurai sengkarut ibadah haji baik reguler maupun furoda. Menurut dia, wacana penghapusan visa haji furoda bukan solusi yang lebih tepat, mengingat visa mujamalah merupakan jalur haji non-kuota yang sah secara internasional.“Permasalahan utamanya bukan pada keberadaan visa, tetapi pada tata kelola yang belum tertib. Ketidakpastian waktu terbit visa, standar layanan yang belum ada, dan pengawasan terhadap Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang kurang optimal menjadi akar masalah,” tuturnya.