Tangkapan layar foto satelit googlemap (12/6/2025) menggambarkan posisi Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. ANTARA/HO-Diskominfo SumutJAKARTA - Komisi II DPR RI akan segera memanggil Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution, dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf terkait sengketa empat pulau di dua daerah tersebut. Komisi II DPR juga akan sekaligus memanggil Bupati Aceh Singkil Safriadi Oyon dan Bupati Tapanuli Tengah Masinto Pasaribu untuk duduk bersama guna menyelesaikan polemik tersebut. "Segera kami jadwalkan, ya. Sekarang (DPR RI) masih reses," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong, Sabtu disitat Antara. Dia menyebut pemanggilan akan dilakukan setelah masa reses DPR RI selesai. Adapun DPR RI tengah memasuki masa reses mulai dari 27 Mei 2025 hingga 23 Juni 2025. "Komisi II DPR RI akan fasilitasi pertemuan Kemendagri, Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil dan Pemkab Tapanuli Tengah untuk duduk bersama mencari solusi yang tepat dengan asas kekeluargaan dan persatuan," ujarnya. Bahtra pun meminta semua pihak, mulai dari Kementerian Dalam Negeri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta masyarakat kedua wilayah tersebut agar menyelesaikan sengketa empat pulau itu dengan asas kekeluargaan. Kemudian, dia meminta agar permasalahan tersebut juga diselesaikan pula secara musyawarah mufakat, holistik, adil, dan partisipatif yang menggabungkan hukum, teknologi geospasial, sejarah, dan dialog sosial. "Terutama sesuai mekanisme peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan tanpa provokasi perpecahan, apalagi digiring ke ranah isu politik," ucapnya. Sebab, menurut dia, konflik batas wilayah, khususnya antarprovinsi, yang melibatkan pulau kecil sebagaimana yang terjadi antara Aceh-Sumatera Utara, bukan sekadar masalah teknis peraturan belaka, melainkan menyangkut pula soal identitas, histori, ekonomi, sosial dan sejarah. Legislator itu kemudian membeberkan empat hal yang perlu dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tersebut. Pertama, penundaan eksekusi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 hingga dilakukan klarifikasi lapangan. "Revisi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 jika terbukti secara yuridis dan historis bahwa empat pulau tersebut milik Aceh," tuturnya. Kedua, pembentukan Tim Klarifikasi Wilayah oleh Kemendagri bersama Pemprov Aceh dan Sumatera Utara, Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan DPR RI . Ketiga, pelibatan masyarakat lokal dan lembaga adat Aceh sebagai bagian dari proses verifikasi fakta. Lebih lanjut, dia mengingatkan agar Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 itu tidak boleh bertentangan dengan Pasal 18B (2) UUD 1945 "Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa (termasuk Aceh), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang mengatur batas wilayah negara," ucapnya. Dia lantas berkata, "Termasuk, perbatasan antarprovinsi, wilayah laut, dan pulau-pulau kecil; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA); serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2009 tentang Pemerintah Aceh." Wakil rakyat itu menambahkan bahwa kasus perebutan pulau antarwilayah di Indonesia tidak hanya terjadi di Aceh dan Sumatera Utara, tetapi terjadi pula di daerah-daerah lainnya di Tanah Air. Misalnya, polemik kasus Pulau Talan dan Pulau Babi antara Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Provinsi Maluku, lalu kasus Muara Sungai Tambangan antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Selatan, hingga kasus Pulau Semak Daun dan Pulau Cipir antara Jakarta dengan Banten.