Seorang pria menarik gerobaknya melewati mobil Ferrari yang dikirim ke pemilik di Jakarta. Foto: AFP/Goh Chai HinPemerintah tengah bersiap merevisi metode penghitungan garis kemiskinan nasional yang telah digunakan sejak 1998. Langkah ini dianggap penting karena aturan lama dinilai sudah tidak mencerminkan kondisi hidup masyarakat Indonesia, yang kini berstatus sebagai negara berpendapatan menengah.Ekonom dari CORE, Yusuf Rendy Manilet, menilai revisi perhitungan garis kemiskinan harus dipertimbangkan secara matang. Terutama karena akan menimbulkan berbagai dampak.“Dari sisi kebijakan, revisi ini bisa berdampak pada jumlah penduduk miskin yang secara statistik melonjak, bukan karena kondisi ekonomi memburuk, tapi karena definisinya yang berubah,” ucap Yusuf saat dihubungi kumparan, Minggu (15/6).Katanya, hal tersebut dapat memengaruhi alokasi anggaran perlindungan sosial, mengubah target-target program bantuan, bahkan menimbulkan resistensi politik. Terutama jika pemerintah terlihat ‘menambah jumlah orang miskin’ secara tiba-tiba.Kemudian dari sisi proses transisi, Yusuf menyatakan peralihan metode tersebut harus menuntut kesiapan data, pelatihan petugas statistik, serta komunikasi publik yang jelas agar masyarakat dan pemangku kepentingan dapat memahami alasan perubahan.“Bila tidak ditangani dengan hati-hati, revisi metode bisa menimbulkan kebingungan atau ketidakpercayaan terhadap data resmi,” tutur Yusuf.Di sisi lain, ia juga menyampaikan revisi yang dilakukan dengan tepat bisa meningkatkan ketepatan dan kebermanfaatan kebijakan sosial ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjalankan proses revisi ini secara cermat agar tidak menimbulkan gejolak atau perubahan mendadak yang tidak diinginkan.“Jadi, perubahan itu perlu, tapi harus dilakukan secara transparan, gradual, dan dengan narasi yang membangun kepercayaan publik,” tambah Yusuf.Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai revisi ini bisa menjadi momentum untuk memperbarui data penduduk miskin secara lebih akurat.“Keuntungannya (revisi ini) ada update data penduduk miskin sehingga lebih mudah menyalurkan program bansos ke target penduduk miskin yang tepat,” ucap Esther.Namun, Esther juga mengakui bahwa masa peralihan akibat revisi ini pasti akan menunjukkan lonjakan angka kemiskinan secara signifikan. Oleh karena itu, menurutnya, strategi pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya mengandalkan bansos. “(Pengentasannya seperti) peningkatan kualitas pendidikan, pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan wirausaha dan marketingnya,” tutupnya.Sebelumnya, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, menjelaskan lima alasan utama mengapa revisi metode garis kemiskinan ini mendesak.Pertama, garis kemiskinan nasional Indonesia masih mendekati standar kemiskinan ekstrem global yang biasanya digunakan negara-negara paling miskin. Kedua, meski standar hidup masyarakat sudah jauh meningkat dalam 20 tahun terakhir, metode penghitungan kemiskinan belum diperbarui.Kemudian yang ketiga, negara lain seperti Malaysia dan Vietnam sudah lebih dulu menyesuaikan standar mereka. Keempat, data kemiskinan yang tidak akurat bisa menyesatkan arah kebijakan. Terakhir, ketimpangan antara data resmi dan kondisi nyata dapat menggerus kepercayaan publik pada pemerintah.