Pengamat Ungkap Gaya Kepemimpinan Trump Beralih dari Perang Dagang ke Ancaman Nuklir

Wait 5 sec.

Petugas penyelamat terlihat di dekat bangunan yang hancur akibat serangan Israel di Teheran, Iran, pada 13 Juni 2025. ANTARA FOTO/Xinhua/nym.JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai bahwa gaya kepemimpinan Donald Trump yang dulunya berfokus pada tekanan ekonomi kini telah bergeser ke arah yang jauh lebih berbahaya, yakni konflik bersenjata dan ancaman nuklir."Dari perang dagang terhadap Tiongkok hingga dukungan terbuka terhadap serangan Israel ke fasilitas nuklir Iran, Trump membuktikan bahwa kebijakan luar negerinya bukan hanya soal transaksi melainkan bisnis risiko tinggi yang bisa membakar dunia," ujarnya dalam keterangannya, Minggu, 15 Juni.Syafruddin menjelaskan bahwa selama menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Trump mengguncang tatanan perdagangan global dengan mengenakan tarif tinggi kepada sekutu dan rival, juga menyebut Organisasi Perdagangan Dunia sebagai bencana, serta menarik AS keluar dari sejumlah kesepakatan multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan perjanjian nuklir Iran (JCPOA)."Ia memperlakukan perjanjian internasional seperti kontrak bisnis: bisa dibatalkan sepihak, dinegosiasikan ulang, atau dihancurkan jika dianggap merugikan. Ketika ia mundur dari JCPOA pada 2018, dunia menyaksikan runtuhnya satu-satunya mekanisme damai untuk membatasi pengayaan uranium Iran," ujarnya.Menurut Syafruddin strategi tekanan maksimal yang diusung Trump bertujuan menciptakan kesepakatan baru yang lebih menguntungkan, namun kenyataannya Iran justru melanjutkan program nuklirnya dan mempercepat pengayaan uranium, memperkuat posisi tawar mereka dalam ketegangan regional.Syafruddin menyampaikan kini pada 2025, pendekatan keras itu mencapai titik paling berbahaya, dimana setelah Israel meluncurkan serangan militer besar-besaran ke fasilitas nuklir Iran dan membunuh sejumlah ilmuwan serta komandan tinggi militer, dunia menyaksikan bagaimana ketegangan yang dahulu bersifat diplomatik kini berubah menjadi konflik militer terbuka."Trump, yang selama ini menempatkan diri sebagai mediator yang kuat, justru memperlihatkan keberpihakannya. Meski tidak secara resmi mengumumkan keterlibatan AS dalam operasi militer, laporan menyebutkan bahwa pesawat AS membantu mengisi bahan bakar jet tempur Israel dan mengaktifkan sistem pertahanan untuk melindungi wilayahnya dari serangan balasan Iran. Dengan demikian, Amerika bukan lagi penonton, tetapi partisipan," tegasnya.Syafruddin menyampaikan apakah keterlibatan tersebut merupakan bagian dari doktrin keamanan nasional, atau strategi bisnis yang diperluas ke ranah militer, namun dalam kalkulasi Trump, tekanan militer tampaknya digunakan seperti tarif impor yaitu sebagai alat tawar-menawar.Ia menambahkan setelah Iran merespons serangan dengan meluncurkan ratusan rudal ke Israel, Trump tidak mengutuk serangan awal yang memicu eskalasi, namun sebaliknya justru mengeluarkan ultimatum kepada Iran jika tidal melakukan negosiasi dalam 60 hari akan hadapi tekanan lanjutan."Ini mencerminkan model pendekatan negosiasi yang sangat transaksional: pukul dulu, bicara belakangan. Namun dalam realitas global, ini bukan meja bisnis. Ini nyawa manusia," jelasnya.Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pendekatan semacam ini telah memicu efek domino dimana harga minyak melonjak lebih dari 6 persen, ekonomi negara berkembang tertekan, pasar saham Timur Tengah anjlok, dan Selat Hormuz kini berisiko diblokade mengancam stabilitas energi global."Negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA mulai memperkuat aliansi dengan Tiongkok dan Rusia untuk mengamankan pasokan dan pengaruh. Dunia sedang menyaksikan transformasi dari unilateralisme agresif ke potensi konflik multipolar. Di tengah semua ini, Trump tidak menawarkan perdamaian atau diplomasi, melainkan kesepakatan yang dibungkus ancaman," ujarnya.Syafruddin menyampaikan bahwa perkembangan terkini memperlihatkan bagaimana model deal-making Trump telah bergeser dari perdagangan ke persenjataan, dari retorika ke ledakan.Menurutnya perang dagang mungkin melukai ekspor dan menciptakan inflasi, tapi perang nuklir bisa memusnahkan kota dan kegagalan memahami perbedaan fundamental ini adalah bahaya nyata dari memimpin urusan dunia dengan logika pedagang real estate."Saat dunia berada di ujung jurang konflik nuklir yang dipicu oleh politik tekanan dan kegagalan diplomasi, penting untuk bertanya: siapa yang benar-benar mendapat untung dari gaya bisnis ini? Karena bagi dunia yang lelah oleh pandemi, krisis energi, dan ketimpangan, yang dibutuhkan adalah stabilitas dan pemulihan bukan sebuah kesepakatan besar yang dibayar dengan darah dan kehancuran," ucapnya.Ia menambahkan jika bisnis Trump kini bergerak dari tarif ke misil, maka dunia harus sadar bahwa kita bukan lagi berhadapan dengan presiden pebisnis, tapi dengan negosiator berbahaya yang menganggap risiko eksistensial sebagai bagian dari strategi tawar-menawar dan itu bukan bisnis seperti biasa, namun itu ancaman global.