Ketum Aspebindo Anggawira menegaskan pemerintah harus konsisten menegakkan hukum dalam dunia pertambangan. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Pemerintah Presiden Prabowo Subianto mengambil tindakan tegas dengan mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Batubara, dan Mineral Indonesia (Aspebindo), Anggawira, mendukung langkah yang dilakukan pemerintah tersebut. Namun, menurutnya, pemerintah harus konsisten dalam menegakkan hukum.***Viralnya gerakan publik yang menyerukan penyelamatan Raja Ampat menggema di media sosial. Tagar #SaveRajaAmpat mengalir deras bak air bah yang sulit dibendung, hingga akhirnya mendorong Presiden Prabowo mengumpulkan para menteri dan pejabat terkait sektor pertambangan. Setelah melalui rapat panjang di masa libur Iduladha 2025, keputusan tegas pun diambil: pemerintah mencabut empat dari lima IUP di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.Keempat IUP yang dicabut adalah milik PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang telah diteken pada Januari lalu. Satu-satunya perusahaan yang tetap beroperasi adalah PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang dinilai memenuhi ketentuan.Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, keempat perusahaan yang dicabut IUP-nya itu tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dan tidak mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini dianggap sebagai pelanggaran berat dalam dunia pertambangan.Sebagai organisasi yang menaungi pengusaha tambang, Aspebindo kata Anggawira mendukung langkah pemerintah ini dan tidak boleh pilih kasih. “Supremasi hukum harus dijunjung tinggi. Kalau pemerintah berani bertindak tegas pada empat pemilik IUP yang dicabut, maka kepada pemilik IUP lainnya yang melanggar ketentuan juga harus ditindak tegas. Karena dari penegakan hukum inilah investor dan semua pihak akan percaya,” tegasnya.Raja Ampat, dengan keindahan alamnya yang memukau baik di permukaan maupun di dasar laut, telah diakui dunia. Banyak yang menyebutnya sebagai “surga terakhir di Bumi”. Penetapan Raja Ampat sebagai geopark global oleh UNESCO pun dianggap tepat, karena kawasan ini merepresentasikan simbiosis antara alam, budaya, dan potensi wisata yang luar biasa.Menurut Anggawira, menyelamatkan kekayaan dan keindahan alam seperti Raja Ampat adalah tugas bersama: pemerintah, pengusaha tambang, akademisi, dan masyarakat. “Semua harus peduli sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ayo kita selamatkan alam kita agar tetap lestari,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Dandy Juniar saat berkunjung ke kantor VOI, Tanah Abang, Jakarta, Kamis, 12 Juni.Gerak cepat pemerintah mencabut empat IUP tambang di Raja Ampat kata Ketum Aspebindo Anggawira layak diapresiasi. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Seperti apa Anda melihat hebohnya persoalan tambang nikel di Raja Ampat? Bukankah operasi tambang ini sudah berlangsung cukup lama? Persoalan tambang nikel ini menjadi heboh dan menarik perhatian banyak pihak karena nama Raja Ampat sudah sangat dikenal, bukan hanya di Indonesia, tapi juga dunia, sebagai destinasi wisata menyelam yang luar biasa. Apalagi Raja Ampat memiliki status sebagai salah satu geopark global, jadi isu ini menjadi sangat sensitif.Tambang yang izinnya dicabut dan dituding merusak lingkungan sebenarnya tidak berada dalam kawasan geopark Raja Ampat. Dalam penyusunan dan pemberian izin tambang, lokasi-lokasi tersebut memang berada di luar kawasan konservasi atau hutan lindung. Tidak mungkin ada tambang yang berlokasi di dalam hutan lindung, karena itu dilarang. Kalaupun ada aktivitas tambang di hutan, maka itu berada di hutan produksi, bukan hutan lindung atau kawasan konservasi.Industri pertambangan itu berisiko tinggi dan merupakan industri yang sangat diatur (highly regulated industry). Sektor ini berada di bawah kewenangan Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Minerba. Namun, Kementerian ESDM tidak bisa menerbitkan izin tanpa rekomendasi dari kementerian lain yang terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Harus ada Izin Pakai Kawasan Hutan (IPKH) dan AMDAL terlebih dahulu sebelum izin pertambangan bisa diterbitkan.Pemerintah cukup cepat mencabut 4 dari 5 IUP di Raja Ampat. Apakah ini bentuk keseriusan pemerintah merespons kencangnya pemberitaan publik?Penataan izin tambang sebenarnya sudah dilakukan sejak periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Ratusan izin tambang telah dicabut karena tidak aktif, bermasalah secara hukum, atau tidak memenuhi syarat. Pemerintah juga terus memantau izin-izin tambang yang ada.Masalahnya, perizinan tambang menjadi rumit sejak era otonomi daerah. Ketika itu, kewenangan penerbitan izin didelegasikan ke pemerintah kota dan kabupaten. Entah karena keterbatasan SDM atau alasan lain, banyak izin yang dikeluarkan tanpa prosedur yang tepat.Maksudnya?Banyak izin yang tumpang tindih. Ada yang terlalu kecil skalanya, misalnya hanya 20–30 hektare. Izin sekecil itu menyulitkan perencanaan tambang, termasuk untuk reklamasi pascatambang. Padahal, pertambangan harus dikelola secara profesional. Banyak perusahaan tambang yang sebenarnya sudah beroperasi dengan cara yang benar (proper mining), namun dampak dari izin-izin yang tidak tertata pada masa lalu masih terasa sampai sekarang.Dalam kasus Raja Ampat, empat izin dicabut karena tidak aktif. Benarkah demikian?Ya, keempat perusahaan itu (PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining) memang tidak aktif. Hanya PT Gag Nikel—anak usaha Antam—yang masih aktif. Perizinan PT Gag Nikel sudah ada sejak era Orde Baru. Pemerintah memiliki kendali atas perusahaan ini melalui Mind-ID dan Antam. Namun jika nantinya terbukti PT Gag Nikel mencemari lingkungan, maka harus dihentikan juga. Pemerintah perlu menindak secara tegas dan transparan.Menurut Anda, langkah cepat pemerintah ini simbolik saja atau betul-betul ingin menyelamatkan lingkungan Raja Ampat?Saya kira sudah cukup jelas bahwa empat IUP telah dicabut. Tinggal PT Gag Nikel yang masih beroperasi. Kalau nanti ada bukti bahwa PT Gag Nikel juga merusak lingkungan, maka kementerian terkait—terutama Kementerian Lingkungan Hidup—bisa mengambil tindakan.Kalau dari sisi kehutanan, saya rasa tidak karena wilayah itu bukan hutan lindung. Namun memang ada putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang tambang di pulau-pulau kecil. Nanti kita lihat apakah Pulau Gag itu masuk kategori pulau kecil atau tidak.Apakah menurut Anda penegakan hukum di sektor ini sudah optimal?Di Indonesia ini, aturan sebenarnya sudah banyak. Yang belum maksimal adalah penegakan hukumnya. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus konsisten menjunjung tinggi supremasi hukum. Kalau setelah diteliti ternyata PT Gag Nikel melanggar aturan, ya harus dihentikan.Antam itu perusahaan milik negara. Kalau sampai harus berhenti operasi, ya tinggal dipikirkan bagaimana nasib pegawai yang terdampak. Begitu juga dengan masyarakat sekitar yang menggantungkan ekonomi pada kegiatan tambang.Menutup usaha itu gampang. Yang sulit itu membukanya, menciptakan lapangan kerja. Jadi harus ada kebijakan yang bijaksana. Pertimbangkan dulu plus dan minusnya.Pesan Anda sebagai pelaku usaha tambang?Kami para pelaku usaha jangan dianggap beban bagi negara. Justru kami berkontribusi. Coba lihat data PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari sektor tambang, khususnya minerba—kontribusinya lebih dari 10%. Jadi mari kita bicara secara adil dan proporsional.Raja Ampat sebagai geopark yang diakui UNESCO kata Ketum Aspebindo Anggawira, harus dijaga bersama oleh semua pihak; pemerintah, pengusaha tambang dan masyarakat. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Bagaimana Anda menanggapi kritik bahwa ada pemegang IUP tambang yang menjalankan usahanya tidak berdasarkan aturan?Memang usaha tambang harus dilaksanakan dengan pengelolaan lingkungan yang proper. Kalau kita lihat, makin ke sini semakin banyak perusahaan tambang yang mendapatkan Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya, mereka sudah menjalankan usaha tambang sesuai dengan aturan.Sebagai pengusaha, tentu kami juga tidak ingin mencemari lingkungan. Tugas pengawasan ada pada pemerintah. Petugas tinggal memantau apakah aktivitas pengusaha tambang sudah sesuai dengan ketentuan. Saat ini, alat monitoring pun sudah canggih dan mudah digunakan, seperti drone, CCTV, dan lain sebagainya. Itu semua tidak rumit dan biayanya tidak mahal.Jadi Anda ingin menekankan soal lemahnya penegakan hukum kita?Ya. Tidak ada negara maju tanpa penegakan hukum yang kuat. China dan Singapura bisa menjadi negara besar karena penegakan hukumnya konsisten dan tegas. Sekarang ada kabar baik terkait kenaikan tunjangan hakim—mudah-mudahan ini bisa menjadi dorongan untuk memperbaiki sistem penegakan hukum kita.PT Gag Nikel masih diizinkan beroperasi karena disebut memenuhi syarat. Apa saja syarat yang dimaksud? Dan bagaimana masyarakat bisa memastikan transparansi dan akuntabilitasnya?Saat mengajukan izin pertambangan, pelaku usaha wajib melampirkan AMDAL. Mereka harus menjelaskan rencana eksplorasi, bagaimana cara kerjanya, serta kelayakan secara ekonomi dan tekno-ekonomi. Proses perizinan ini tidak instan, bisa memakan waktu empat sampai lima tahun, dan melibatkan banyak ahli.Dalam kasus PT Gag Nikel, kalau memang masih beroperasi, tentu ada alasan teknis dan administratif di baliknya. Tapi jika nanti ditemukan pelanggaran, pemerintah harus bertindak tegas. Pemerintah punya kewenangan penuh untuk menentukan mana yang sesuai aturan dan mana yang tidak.Pemerintah juga sudah menyusun peta jalan hilirisasi. Kami sepakat dengan kebijakan ini. Jangan sampai kita hanya menjual bahan mentah dari tanah air kita. Sumber daya alam harus memberikan nilai tambah bagi bangsa.Selain negara, apakah Aspebindo juga bisa melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha tambang?Tugas utama pengawasan memang berada di tangan pemerintah. Namun, sebagai asosiasi, kami juga aktif mengedukasi anggota soal best mining practice—seperti apa tambang yang lestari dan bertanggung jawab. Sebagai pengusaha, jangan hanya berpikir keuntungan jangka pendek. Harus dipikirkan juga dampak jangka panjang, terutama terhadap kelestarian lingkungan.Sebagai contoh, kontrak karya Freeport sudah mengarah ke hilirisasi di Gresik, Jawa Timur. Ini langkah yang tepat. Sekarang ini adalah era keterbukaan. Semua bisa mengawasi. Tidak ada ruang lagi untuk semena-mena. Sekali lagi, penegakan hukum adalah kunci.Adakah perusahaan tambang yang bisa menjadi contoh bagi yang lain?Banyak. Sejumlah perusahaan tambang sudah mendapatkan Proper Hijau dari KLHK, artinya mereka telah menjalankan kegiatan tambang sesuai regulasi lingkungan. Contohnya PT Vale, yang menerapkan konsep tambang lestari dan menggunakan energi hijau. Grup kami, PT Bumi Resources, juga berkomitmen pada pertambangan yang berkelanjutan. Kami melakukan reklamasi secara konsisten. Kalau perlu, teman-teman wartawan bisa melihat langsung ke lokasi tambang kami—jangan hanya mendengar dari kami.Namun saya juga harus jujur, masih ada pelaku usaha tambang yang tidak melakukan reklamasi. Konsepnya bukan tambang lestari. Inilah yang harus ditindak oleh pemerintah. Kalau perlu ditegur dan diberi sanksi agar ada efek jera, baik untuk mereka maupun pelaku lain.Di era otonomi daerah, banyak tambang timah di Bangka Belitung yang dibiarkan terbengkalai. Karena yang menambang adalah pelaku kecil, tidak terkonsolidasi, dan sulit dimintai pertanggungjawaban. Sementara kalau perusahaan terbuka seperti kami, tidak bisa lari dari tanggung jawab. Kalau kami kabur, reputasi bisa hancur.Ingat, kontrak karya pertambangan itu panjang—bisa sampai 40 tahun. Karena investasi tambang itu mahal, maka semuanya harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan.Kembali ke Raja Ampat, menurut Anda, daerah yang sudah terkenal di dunia ini lebih baik menjadi daerah wisata atau daerah pertambangan?Jangan diadu secara frontal seperti itu. Untuk menentukan kemanfaatan ekonomi, mana yang lebih menguntungkan, saya kira para ekonom bisa memberikan analisis. Untuk wilayah yang sudah ditetapkan sebagai Geopark, memang tidak diperuntukkan bagi kegiatan pertambangan.Namun, wisata pun harus diamati—jangan sampai kegiatan pariwisata justru merusak alam. Apa pun yang akan dikembangkan, harus menaati tata kelola yang benar agar lingkungan tetap lestari. Kalau bicara soal risiko, memang tambang lebih besar dibanding wisata. Tetapi kalau bicara soal kemanfaatan, kita kembalikan kepada pemerintah—pilihan mana yang ingin diambil.Untuk pertambangan, apa peluang masyarakat lokal selain menjadi tenaga kerja yang bisa dilibatkan?Biasanya memang yang terlibat pertama adalah tenaga kerja lokal. Selain itu, ada juga usaha pendukung yang bisa diisi oleh warga setempat. Namun sebelum terlibat, masyarakat perlu meningkatkan kompetensi terlebih dahulu. Pengusaha lokal juga bisa ambil bagian, asalkan memenuhi kualifikasi. Dan itu tidak mudah.Ini penting agar tidak terjadi kesenjangan sosial di masyarakat sekitar tambang. Isunya bisa menjadi liar jika tidak dikelola dengan baik—tambang dikeruk, tetapi masyarakat lokal justru menderita. Hal seperti ini harus dicegah.Pemerintah juga memberikan IUP untuk UMKM, ormas, dan koperasi. Bagaimana Aspebindo melihat kebijakan ini?Saya melihat ini sebagai niat baik dari pemerintah, terutama sejak revisi UU Minerba. Artinya, aktivitas pertambangan tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak, tapi bisa dibagi (shared) kepada lebih banyak orang, melalui UMKM, ormas, dan koperasi.Namun perlu diingat, pertambangan adalah industri padat modal (capital intensive), sangat diatur secara ketat (highly regulated industry), dan membutuhkan penguasaan teknologi. Mereka yang ingin terlibat—siapa pun itu—harus benar-benar memahami industri ini. Jangan sampai setelah menerima IUP lalu mengeksplorasi, mereka malah gagal atau kabur.UMKM, ormas, dan koperasi harus mendapat pendampingan dari pemerintah dan asosiasi. Dalam praktiknya harus dikelola dengan baik, karena jika tidak, bisa jadi bencana. Ini tantangan yang harus dihadapi secara serius.Untuk bidang pertambangan ini, apakah informasi yang ada sudah terbuka sehingga semua pihak bisa mengaksesnya?Saya kira sudah cukup terbuka, tinggal menunggu aturan teknis dari kementerian. Dan semuanya bisa diakses. Yang jelas, UMKM, koperasi, dan ormas yang ingin masuk ke sektor ini harus memiliki kapasitas dan kemampuan. Jangan sampai justru menjadi masalah karena mereka tidak siap secara teknis dan manajerial.Apa yang bisa menjadi pelajaran dari kasus penutupan 4 pemegang IUP di Raja Ampat?Pemberian IUP harus dilakukan secara transparan dan proper. Pemerintah juga harus memberikan kepastian usaha, karena investasi tambang membutuhkan modal besar dan waktu panjang.Sudah memenuhi berbagai regulasi, lalu tiba-tiba hanya karena isu di media sosial, perusahaan yang memiliki IUP sah diminta tutup—ini bisa menjadi preseden buruk. Investor asing bisa kehilangan kepercayaan. Pemerintah harus konsisten: kalau suatu wilayah ditetapkan sebagai daerah konservasi, ya tidak boleh untuk pertambangan—kecuali ada teknologi yang terbukti tidak merusak lingkungan.Sekali lagi, penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten. Pengusaha tidak akan berani mengambil risiko besar kalau tahu bahwa hukum ditegakkan dengan adil dan tegas.Semoga pertambangan kita bisa maju, sementara lingkungan tetap lestari dan terjaga keasriannya, meski ini tidak mudah.Harapan kami juga begitu. Warganet juga harus bijak dalam menyikapi setiap informasi yang beredar. Sarjana-sarjana tambang kita butuh ruang untuk menerapkan ilmunya di lapangan. Sekarang ini citra tambang memang buruk—disebut sebagai perusak lingkungan. Tapi jika dikelola dengan benar, pertambangan bisa memberi kontribusi besar dan tetap ramah lingkungan. Anggawira: Lokasi Tambang Bisa Jadi Objek WisataMenurut Ketua Umum Aspeindo Anggawira lokasi pertambangan bisa dijadikan tepat wisata asal faktor keamanan dan keselamatan dibereskan dulu. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Lokasi tambang, baik yang berada di permukaan maupun di bawah tanah, menurut Ketua Umum Aspebindo, Anggawira, bisa dijadikan objek wisata. Namun, ia mengingatkan bahwa sebelum diresmikan sebagai objek wisata—selain fungsi utamanya sebagai tempat pertambangan—harus dibereskan terlebih dahulu persoalan keamanan bagi wisatawan yang akan berkunjung.Menurut Angga, untuk daerah pertambangan lebih cocok dikembangkan sebagai wisata edukasi. “Oh ya, lokasi tambang itu bisa dijadikan tempat wisata. Ini bisa menjadi wisata edukatif bagi siswa, mahasiswa, maupun masyarakat umum,” ujarnya.Syaratnya, lanjut Angga, aspek keamanan harus benar-benar dipastikan. “Jangan sampai wisatawan yang datang justru menjadi korban karena kecelakaan. Saya pikir ini pekerjaan rumah bagi mereka yang ingin menjadikan tambangnya sebagai lokasi wisata. Pastikan dulu soal keamanan dan keselamatan pengunjung,” sarannya.Di Kaltim Prima Coal, misalnya, Angga mencontohkan bahwa area pertambangan yang mereka kelola sangat layak untuk dijadikan objek wisata. Di sana, area reklamasi yang mereka kerjakan dapat menunjukkan secara langsung bagaimana proses penghijauan dilakukan. “Kami mengelola vegetasi dan satwa liar seperti orangutan yang hidup di sana,” ujarnya.Di lokasi pertambangan lain juga memungkinkan, jika mereka bersedia. “Misalnya di kawasan pertambangan Freeport, jika mereka bersedia membuka lokasi tambangnya untuk wisata, tentu sangat menarik. Tambang bawah tanah mereka luar biasa dan bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa serta masyarakat umum tentang pertambangan bawah tanah,” terangnya.Jadi, lokasi tambang bisa menjadi tempat wisata, tegas Angga. “Cuma itu tadi, catatannya: keselamatan harus dipastikan. Lewat wisata ini, masyarakat bisa memahami proses pertambangan dan bagaimana mengembalikan lahan yang sudah ditambang agar bisa digunakan kembali,” paparnya.Cita-Cita Keliling DuniaSejak lama, Anggawira sudah bercita-cita ingin keliling dunia. Pelan-pelan keiginan itu mulai terwujud, dalam setahun dia menargetnya bisa berwisata ke dua negara. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Sejak sebelum bekerja, Anggawira sudah memiliki angan-angan ingin keliling dunia. “Sebelum bekerja, saya sudah punya semangat untuk bisa keliling dunia. Alhamdulillah, pelan-pelan cita-cita itu mulai terwujud. Saya sudah bisa keliling Indonesia. Setiap tahun saya targetkan mengunjungi dua negara,” ujarnya.Dulu, saat baru mulai bekerja, ia berpikir jenis pekerjaan seperti apa yang bisa mewujudkan impiannya itu. “Ternyata saat saya aktif di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), saya bisa bertugas ke seluruh Indonesia. Apalagi saat menjabat sebagai Sekjen HIPMI, kesempatan itu makin terbuka. Tuhan sangat baik pada saya,” ungkapnya penuh syukur.Jika tidak ada halangan, bulan depan Angga akan berkunjung ke Afrika Selatan dan beberapa negara di sekitarnya. “Doakan semoga bisa terlaksana,” katanya.Melengkapi Infrastruktur WisataPromosi wisata itu sangat penting. Menurut Anggawira perlu ada kolaborasi antara daerah yang wisatanya sudah maju dengan daerah yang masih berkembang. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Banyaknya perjalanan ke berbagai belahan dunia membuat Angga bisa membandingkan situasi pariwisata luar negeri dan dalam negeri. Salah satu yang menurutnya perlu menjadi perhatian adalah infrastruktur di sekitar destinasi wisata—mulai dari jalan, penginapan, hingga fasilitas pendukung lainnya.Namun demikian, lanjutnya, setiap wisatawan memiliki selera masing-masing. “Ada yang memang menyukai fasilitas lengkap, tapi ada juga yang justru tertantang dengan fasilitas yang sederhana. Di sanalah tantangannya. Ada daerah untuk wisata nyaman, ada pula yang cocok untuk wisata petualangan,” katanya.Menurut Angga, saat ini beberapa daerah baru telah menunjukkan kemajuan berarti dan siap bersaing dengan Bali yang ekosistem wisatanya sudah hidup.“Beberapa daerah kini punya daya tarik baru, misalnya sirkuit balap dunia di Mandalika, NTB. Ada juga kawasan Gunung Bromo yang tak hanya menampilkan keindahan alam, tapi juga digabung dengan pertunjukan musik. Event-event seperti itu bisa memperpanjang lama tinggal wisatawan,” tandasnya.Satu hal lagi yang menjadi catatan penting Anggawira adalah perlunya kolaborasi antar-pihak untuk meningkatkan kunjungan dan lama tinggal wisatawan. “Promosi itu sangat penting. Perlu ada kolaborasi antara daerah yang sudah maju dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dikemas dalam satu paket perjalanan agar saling menguatkan,” tegasnya.