Mewaspadai Dampak Deindustrialisasi di Indonesia

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Indonesia disebut tengah menghadapi era deindustrialisasi yang terlihat dari badai PHK akibat banyaknya sektor industri atau manufaktur yang tutup. Kondisi ini berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti peningkatan jumlahdan kemiskinan yang kemudian dapat menelurkan sejumlah permasalahan sosial lainnya, mengingat sektor industri, investasi dan ekspor berperan penting dalam menumbuhkan ekonomi nasional.Mari Elka Pangestu. (Foto: Dok. ANTARA)  Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama, Mari Elka Pangestu mengungkapkan, saat ini Indonesia tengah menghadapi dampak dinamika ekonomi global sehingga menyebabkan ketidakstabilan kondisi ekonomi nasional. Karena itu, diperlukan penyesuaian terkait langkah dan kebijakan ekonomi yang bisa mengimbangi dampak tersebut. “Ada perubahan-perubahan yang terjadi secara global dan berdampak pada penyesuaian kebijakan di tingkat nasional,” ujarnya.Meski ekonomi Indonesia saat ini relatif lebih baik dibandingkan negara lain, dia menyebut beberapa kondisi perubahan global yang berdampak pada ekonomi seperti peperangan di Timur Tengah, Ukraina-Rusia, konflik Laut Cina Selatan hingga perang dagang yang sempat diterapkan Presiden AS Donald Trump turut menyebabkkan meningkatnya beban tarif.Kondisi ini, lanjut Mari Elka, menjadikan instrumen kebijakan yang bisa dilakukan akan terbatas untuk menstimulasi pertumbuhan, sedangkan dari APBN yang mengalami efisiensi dan realokasi akan menyebabkan ruang untuk pemberian stimulasi juga akan terbatas.Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) RI, Arief Anshory Yusuf mengakui, era deindustrialisasi tengah menyongsong Indonesia. Kondisi sektor industri atau manufaktur berkurang ini merupakan bentuk transformasi struktural dan salah satu ciri dari ekonomi yang bertumbuh, yakni yang awalnya berpusat pada agrikultur menjadi industri besar dan akhirnya menjadi layanan jasa. “Deindustrialisasi ini hal yang wajar, tetapi dapat menjadi masalah saat terjadi secara prematur,” imbuhnya.Menurut akademisi Universitas Padjajaran ini, permasalahan terjadi ketika tidak ada momentum untuk tumbuh lebih tinggi. Saat ini Indonesia dilihat dari sisi tingkat pendapatan masih dapat mengalami industrialisasi, tetapi dari tingkat pekerjaan Indonesia hampir melewati momentum tersebut. Hal ini dapat berdampak pada tidak adanya lapangan pekerjaan.Dia mencontohkan, program hilirisasi jika hanya terfokus di sektor padat sumber daya alam bisa menjadi jebakan pada penurunan penyerapan tenaga kerja. “Ini agak berbahaya ketika tenaga kerja memasuki lapangan pekerjaan yang nilainya stagnan sehingga pekerja semakin menumpuk dan pendapatannya berkurang. Apalagi ketika masuk di lapangan jasa yang produktivitas rendah sehingga kondisi ekonomi seperti sekarang,” terang Arief.Ekonom Didik J Rachbini mengatakan, salah satu solusi untuk mengatasi dilema liberasi perdagangan dan deindustrialisasi adalah melalui program outward looking. Dia mencontohkan, dengan model pembangunan industri angsa terbang atau flying geese model of industrialization yang menunjukkan 40 tahun yang lalu Jepang memimpin gerakan industrialisasi. Indonesia saat itu memiliki pendapatan di atas China. Namun, hal itu kini berubah dengan China yang memimpin industri global, bahkan Vietnam pun berada mengungguli Indonesia. “Kuncinya ada pada industri. Sekalipun ekonomi tumbuh 8 persen, tetapi jika industri hanya berkembang 3 sampai 4 persen dan banyak perdagangan sektor informal maka kemungkinan akan susah,” tuturnya.Dia menegaskan, sektor investasi, industri, dan ekspor berperan penting dalam menumbuhkan ekonomi ke depan. Sebab, deindustrialisasi juga menimbulkan efek negatif seperti pengangguran yang kemudian dapat menelurkan sejumlah permasalahan sosial lainnya.Rektor Universitas Paramadina ini menyatakan, ada beberapa kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah melalui langkah jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. “Jangka pendeknya dapat dengan revitalisasi kawasan industri dan infrastruktur pendukung. Jangka menengah dapat dengan mengembangkan pendidikan vokasi dan ditutup dengan investasi dalam inovasi riset industri untuk jangka panjang,” kata Didik.Penghapusan Batas Usia Pelamar Tak Menyelesaikan Masalah PengangguranIlustrasi pengangguran Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja berupaya mengatasi makin meningkatnya angka pengangguran di tanah air. Terbaru, Menaker Yassierli menerbitkan Surat Edaran yang menghapus pencantuman syarat batas usia para pelamar kerja. Menurut Yassierli, aturan penghapusan batas usia pelamar kerja mempertegas komitmen pemerintah terhadap prinsip nondiskriminasi, sekaligus memberikan pedoman agar proses rekrutmen dilakukan secara objektif dan adil.Dia menerangkan, poin utama dalam SE ini adalah larangan melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun dalam proses rekrutmen tenaga kerja. Meski demikian, pembatasan usia tidak secara otomatis dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi.“Pembatasan usia masih dimungkinkan selama memang diperlukan karena karakteristik atau sifat pekerjaan tertentu yang secara nyata berkaitan dengan usia, tidak menyebabkan hilangnya atau berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan bagi masyarakat secara umum,” papar Yassierli.Dia mengatakan, keluarnya SE ini ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia agar diteruskan kepada Bupati/Wali Kota serta pemangku kepentingan terkait untuk mendorong dunia usaha menyusun kebijakan rekrutmen yang menjunjung prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi. Sementara kepada dunia usaha dan industri, SE ini bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki praktik rekrutmen menjadi lebih transparan, adil, dan berbasis kompetensi.Tapi, SE Menaker Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja itu dianggap Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat tidak akan efektif mengatasi tingkat pengangguran di Indonesia. Pasalnya, SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang bisa memberikan sanksi bagi pihak yang tidak patuh.“Bila larangan batas usia pelamar kerja dimuat dalam bentuk keputusan menteri atau peraturan menteri, maka bisa memberikan dasar hukum yang lebih kuat dan ada konsekuensi bagi yang melanggar. SE tersebut lemah karena tidak ada pengaturan sanksi,” tegasnya.Dia mencontohkan SE tentang Tunjangan Hari Raya (THR) yang rutin dikeluarkan setiap tahun oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Meski telah ada ketentuan pidana bagi pelanggar, nyatanya masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi edaran tersebut. “Apalagi SE tentang penghapusan batasan usia ini belum diatur lebih lanjut melalui peraturan atau keputusan menteri. Maka, kemungkinan besar perusahaan bisa saja mengabaikannya,” tukas Mirah.Kekhawatiran Mirah selaku Presiden Aspirasi memang masuk akal. Sebab, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam mengungkapkan bahwa persoalan ketenagakerjaan di Indonesia bukan terletak pada pembatasan usia, tapi soal minimnya lowongan kerja.Dia menjelaskan, minimnya jumlah lowongan kerja yang tersedia membuat perusahaan menghadapi kesulitan besar dalam menyaring para pelamar. Sebagai contoh, sebuah perusahaan hanya membuka 10 posisi kerja, tetapi menerima hingga seribu pelamar sekaligus.Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam proses seleksi agar kandidat yang paling sesuai dapat dipilih secara efisien dan tepat. “Apa seribu kandidat itu harus dites semua? Itu kan biaya juga, akhirnya perusahaan mensyaratkan usia sebagai screening,” imbuhnya.Selain itu, lanjut Bob, batas usia masih dianggap penting sebagai salah satu cara untuk menyaring calon pekerja, terutama pada pekerjaan yang menuntut kondisi fisik yang prima. Hal ini dianggap perlu agar tenaga kerja yang direkrut mampu menjalankan tugas dengan baik sesuai kebutuhan fisik di lapangan.Pemerintah Harus Menghapus Praktik Monopoli dan Oligopoliilustrasi pasar oligopoii Guru Besar Ekonomi Bidang Tenaga Kerja UMS, Bambang Setiaji memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia akan terus meningkat hingga akhir tahun karena sektor industri formal belum mampu menyerap banyak tenaga kerja. Karena itu, meningkatnya jumlah pengangguran seharusnya menjadi alarm untuk pemerintah agar segera mengambil kebijakan termasuk memberikan insentif bagi pertumbuhan industri yang pada akhirnya mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.Menurutnya, penyebab menumpuknya pengangguran adalah struktur ekonomi Indonesia yang cenderung oligopolistik dan monopolistik di mana ekonomi dikuasai segelintir pengusaha yang membuat pemain baru kesulitan masuk ke dalam pasar. Kondisi ini menjadi ganjalan bagi penyediaan lapangan kerja baru.“Akhirnya angkatan kerja yang tidak terserap pasar akan memilih melakukan pekerjaan informal. Contohnya, berdagang makanan atau minuman di pinggir jalan, menjadi pengemudi ojek daring, atau terpaksa menganggur,” ungkap Bambang.Data BPS per Februari 2025 menunjukkan lebih dari setengah penduduk yang bekerja merupakan pekerja informal. Dari 145,77 juta orang yang bekerja, sekitar 86,58 juta orang atau 59,40 persen masuk kategori pekerja informal. Jumlah pekerja informal Indonesia pada awal 2025 bertambah 2,45 juta orang dibanding Februari tahun lalu. Jumlah tersebut mencapai level terbanyak dalam lima tahun terakhir.Bambang menilai, sektor informal sudah terlalu padat. Karena itu, pemerintah seharusnya memprioritaskan pembinaan industri padat karya seperti pengembangan dan penguatan industri tinggi, seperti industri otomotif, industri manufaktur, maupun industri tekstil sebagai agenda utama untuk menyerap angkatan kerja. “Industri tinggi tetap perlu dimasuki. Kalau tidak, nanti negara kita tertinggal. Disebut negara maju kalau mempunyai industri tinggi,” imbuhnya.Di sisi lain, pengembangan industri pertanian juga patut menjadi perhatian pemerintah mengingat jenis industri tersebut akan terus ada sampai kapanpun. Selain menyerap tenaga kerja lebih luas, penguatan industri pangan selaras dengan upaya mewujudkan swasembada pangan yang digaungkan pemerintahan Prabowo-Gibran.“Ketegasan pemerintah sangat diperlukan untuk membuka lapangan pekerjaan baru seluas-luasnya. Pemerintah harus berani menghapus praktik monopoli dan oligopoli di Indonesia dan disertai kemudahan perizinan pendirian usaha sektor formal maupun sektor menengah. Sektor-sektor menengah juga harus dipermudah dengan biaya modal yang murah. Biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya kalau bisa murah akan sangat membantu,” tutup Bambang.