Sugeng Teguh Santoso: Kewenangan Penyadapan Harus Dibatasi di RUU Polri

Wait 5 sec.

Sugeng Tehuh Santosa dan Eddy Wijaya. (Dok Eddy Wijaya)JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menekankan perlunya pasal yang membatasi kewenangan penyadapan dalam revisi Undang-Undang (RUU) Polri. Menurutnya, penyadapan terhadap seseorang yang terlibat dalam suatu kasus harus sesuai dengan aturan perundang-undangan. “Apa yang dimaksud sesuai ketentuan undang-undang? Yaitu apabila (suatu kasus) sudah dalam proses penyidikan. Kalau polisi diberikan kewenangan penyadapan tanpa ada suatu pembatasan, maka setiap orang nanti bisa disadap,” ujar Sugeng saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 4 Juni 2025. Menurut Sugeng, kewenangan penyadapan tanpa adanya batasan juga dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas kepolisian, contohnya bila polisi menyadap seseorang yang hanya diduga terlibat dalam sebuah kasus. “Misalnya penyadapan berdasarkan kecurigaan. Atas persepsi sepihak dari aparat penegak hukum (kemudian) kita disadap. Repotkan?” kata dia. Institusi kepolisian belakangan ini kembali ramai diperbincangkan setelah beredarnya draf RUU Polri perubahan ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. RUU inisiasi DPR RI ini menuai sorotan karena adanya sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Salah satunya pasal 14 ayat 1 huruf o yang berbunyi “Melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur tentang penyadapan”. Pasal tersebut dianggap berakibat pada tumpang tindih kewenangan antara polisi dengan lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sugeng mengatakan, penyadapan tanpa aturan perizinan sulit untuk dipertanggungjawabkan sehingga hasil penyadapan berpotensi bocor ke publik dan mencederai privasi seseorang. Apalagi bila penyadapan dilakukan kepada seorang tokoh. “Dia misalnya melakukan hubungan dengan wanita yang bukan istrinya. Kalau itu disadap, diketahui kemudian dibocorkan, bagaimana itu? Menimbulkan masalah,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia itu menjelaskan penyadapan juga berpotensi dibawa ke ranah politik. “Bisa saja (menjatuhkan tokoh politik) karena dia (polisi) punya kewenangan dan akses. Loh, ada dasar undang-undangnya jadi banyak permintaan (untuk) disalahgunakan,” katanya.Menurut Sugeng, kewenangan penyadapan tanpa adanya batasan juga dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas kepolisian. (Dok Eddy Wijaya) Sugeng: Kritik itu fungsi Social SocietyKetua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengomentari penahanan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar alias TB dalam kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan sejumlah kasus yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Ia menilai penahanan tersebut tidak dapat dilakukan kepada jurnalis yang turut memberitakan suatu kasus. “Kok, orang media dijadikan tersangka obstruction of justice? Karena dikritik oleh banyak pihak termasuk IPW, akhirnya ditangguhkan penahanannya,” ujar Sugeng kepada Eddy Wijaya. Kejagung menetapkan TB serta 2 advokat Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) sebagai tersangka dalam kasus pemufakatan jahat atau perintangan penyidikan, pada Selasa, 22 April 2025. Kejagung menemukan bukti MS yang meminta JS membuat tulisan yang menyudutkan Kejagung soal korupsi PT. Timah, korupsi impor gula dan vonis lepas korupsi Crude Palm Oil (CPO). Keduanya kemudian meminta TB untuk menyebarkan tulisan tersebut melalui media JakTV. Kejagung kemudian menangguhkan penahanan tersangka TB menjadi tahanan kota sejak Kamis, 24 April 2025. TB yang mulanya mendekam di Rutan Salemba cabang Kejagung dikenakan wajib lapor seminggu sekali tiap Senin. Kejagung berdalih penangguhan penahanan itu lantaran TB mengidap penyakit jantung yang telah dipasangi delapan ring. Sugeng mengatakan selaiknya pihak Kejagung menilai kritikan sebagai sebuah kontrol sosial untuk memperbaiki kinerja institusinya tersebut. “Kritik itu fungsi social society yang jarang mau dilakukan oleh orang,” kata dia.  Sugeng Teguh Santoso menambahkan IPW juga ikut disebut-sebut dalam kasus tersebut karena mengkritik Kejagung lewat pemberitaan yang terbit 3 Juni 2024. Bahkan pemberitaan tersebut dijadikan sebagai alat bukti oleh Kejagung untuk menahan ketiga tersangka merintangi penyidikan.“Tersangka itu ditanya, anda kenal dengan Sugeng? Anda pernah berurusan dengan Ketua IPW? Ya dia tidak tahu,” katanya. “Inisial J itu yang ditanya. Kebetulan dia memang saya kenal tapi saya tidak pernah berurusan,” ucapnya menambahkan.Siapa Eddy Wijaya Sebenarnya, Begini ProfilnyaSosok Eddy Wijaya adalah seorang podcaster kelahiran 17 Agustus 1972. Melalui akun YouTube @EdShareOn, Eddy mewawancarai banyak tokoh bangsa mulai dari pejabat negara, pakar hukum, pakar politik, politisi nasional, hingga selebritas Tanah Air. Pria dengan khas lesung pipi bagian kanan tersebut juga seorang nasionalis yang merupakan aktivis perjuangan kalangan terdiskriminasi dan pemerhati sosial dengan membantu masyarakat lewat yayasan Wijaya Peduli Bangsa.Ia juga aktif di bidang olahraga dengan menjabat Ketua Harian Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) Pacu dan juga pernah menjabat Wakil Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Jakarta Timur. Gagasan-gagasannya terbentuk karena kerja kerasnya untuk mandiri sejak usia 13 tahun hingga sukses seperti sekarang. Bagi Eddy, dunia kerja tidak semulus yang dibayangkan, kegagalan dan penolakan menjadi hal biasa. Hal itulah yang membuatnya memegang teguh tagline “Sukses itu hanya masalah waktu”.