Ahli Pidana: Tak Make Sense Ada Perintangan Kalau Perkara Inkrah

Wait 5 sec.

Sidang lanjutan terdakwa Hasto Kristiyanto/FOTO: ANTARA/Agatha Olivia VictoriaJAKARTA - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Mahrus Ali, menyebut tak masuk akal terjadinya perintangan pada suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau Inkrah.Pendapat itu disampaikannya ketika dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, dalam persidangan mempertanyakan pendapat ahli mengenai perintangan di tahap penyidikan dengan mencontohkan beberapa kasus yang satu di antaranya Frederich Yunadi."Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor 3315 Pidsus 2018 Frederich Yinadi, terpidana terbukti menghalangi penyidikan terhadap tersangka korupsi Setyo Navanto, ini artinya dalam proses tingkat penyidikan," kata Ronny dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, 20 Juni.Merespons hal itu, Mahrus menyebut dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, mengatur upaya perintangan di tingkat penyidikan. Sehingga, tak masuk akal bila terjadi di tahap penyelidikan."Jadi itu yang saya katakan bahwa kalau ada orang dikenakan Pasal 21 (Undang-Undang Tipikor), sementara perkara pokoknya jalan bahkan sampai ada putusan yang incraht itu tidak make sense," ujar MahrusMenurutnya, bila terjadi perintangan pada penanganan perkara, maka, proses hukumnya tidak akan berjalan hingga diputus oleh majelis hakim.Diketahui, Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjelaskan mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupi."Berarti apa? berarti tidak ada penyidikan yang tercegah, tidak ada penyidikan yang tergagalkan," sebutnya.Selain itu, Mahrus juga menyebut dalam Undang-Undang tersebut telah jabarkan batasan secara gamblang dan tegas. Sehingga tak bisa ditafsirkan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor jika terjadinya perintangan di tahap penyelidikan."Kemudian di dalam undang-undang dijelaskan secara jelas misalnya ini penyidikan ya itu tidak bisa ditafsirkan lain selain penyidikan bukan kemudian penyelidikan," ungkapnya."Mencegahnya perbuatannya di penyelidikan, kenapa? untuk mencegah agar tidak terjadi penyidikan, enggak kaya gitu," sebut Marus.Terlebih, dalam proses penyelidikan belum masuk tahap Pro Justicia. Di mana, aparat penegak hukum masih mencari ada tidaknya dugaan pelanggaran pidana."Kenapa? karena di penyelidikan belum ada pro Justicia, alat bukti belum ada di situ," kata Mahrus.   Dalam kasus ini, Hasto bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa memberikan uang suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan (komisioner KPU) pada rentang waktu 2019-2020.Suap ini agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan.Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.Hasto didakwa dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.