Pengusaha Respons soal Benang Asal China Tak Kena Bea Masuk Anti Dumping

Wait 5 sec.

Ilustrasi benang. Foto: ShutterstockAsosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) buka suara soal langkah pemerintah menolak pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk benang filamen sintetis tertentu asal China.Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Syauqi mengaku siap buka data pasokan benang filamen produksi dalam negeri maupun yang diimpor. Dia juga menyoroti rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) perihal pengenaan BMAD benang filamen sintetis tertentu asal China ini."Berdasarkan data yang kami ambil dari BPS, kenaikan impor secara volume naik selama 6 tahun terakhir hingga 200 persen. Selain itu, rekomendasi KADI juga dapat membuktikan adanya praktik dumping yang dilakukan lebih dari 38 perusahaan dari China yang marjin dumpingnya bervariatif mulai dari 42-5 persen,” kata Farhan dalam keterangannya, Sabtu (21/6).Menurut dia, dengan adanya praktik dumping ini, sejumlah perusahaan terancam batal melakukan investasi untuk menyokong kebutuhan benang filamen polyester.Dia juga membeberkan ada 2 produsen benang polyester yang tutup sejak 2022 yaitu PT Sulindafin dan PT Polychem Indonesia. Penyebabnya adalah tidak bersaingnya produsen-produsen ini dengan barang-barang impor dari China."Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan hanya mendengarkan dari sisi industri hilir nya saja. Mereka menutup mata adanya investasi petrokimia dan mengabaikan arahan Presiden Prabowo terkait pembangunan kilang-kilang petrokimia seperti Paraxylene dan Asam Tereftalat sebagai bahan baku dari benang polyester. Investasi ini terancam batal akibat penolakan tanpa dasar atas rekomendasi KADI," ujar Farhan.Farhan kemudian minta pemerintah buka data pemberian kuota impor benang filamen polyester ini ke publik. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan pemerintah memutuskan menghentikan proses lebih lanjut rekomendasi KADI mengenai pengenaan BMAD atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.Pertimbangannya adalah kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh ditambah dengan masukan dari para pemangku kepentingan terkait."Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas,” kata Budi dalam keterangannya, Minggu (21/6).Keputusan ini juga merupakan hasil dari koordinasi lintas kementerian, meliputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Perindustrian yang memberikan masukan agar pengenaan BMAD ditinjau kembali.Dia juga memastikan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan perwakilan industri turut menyampaikan pandangan yang menjadi pertimbangan keputusan ini.Budi mengatakan kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebab dia melihat sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri.Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso di Kantor Kemendag, Jakarta, Rabu (4/6/2025). Foto: Widya Islamiati/kumparanBudi menuturkan penyelidikan atas dugaan praktik dumping produk tersebut dilakukan oleh KADI sejak 12 September 2023, atas permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia. (APSYFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk dan PT Indorama Synthetics Tbk.Produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu dengan klasifikasi HS 5402.33.10; 5402.33.90; 5402.46.10; dan 5402.46.90 dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2022. Produk ini terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY).Kemudian pertimbangan lainnya adalah sektor hulu industri TPT yang saat ini dinilai telah dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023 yang merupakan trade remedies.Selain itu, lanjut Budi, BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022. Sehingga jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir."Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri," jelas Budi.