Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998: Revisi sejarah picu kemarahan publik

Wait 5 sec.

Wulandari Wulandari/shutterstock● Pernyataan Fadli Zon terkait pemerkosaan 1998 bertentangan dengan temuan resmi dan menafikan trauma penyintas.● Muncul kecurigaan bahwa pemerintah berusaha mengatur narasi sejarah demi kepentingan politik.● Pakar menilai revisi sejarah nasional seharusnya membuka ruang kolaborasi untuk menciptakan sejarah yang inklusif dan akuntabel.Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon seputar pemerkosaan 1998 yang terjadi secara massal menuai protes publik, terutama dari penyintas pelanggaran HAM 1998.Fadli, yang dikenal sebagai aktivis pada masa Orde Baru, menganggap peristiwa tersebut sebagai rumor karena tidak memiliki bukti. Padahal, mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Marzuki Darusman, menegaskan bahwa laporan tersebut sudah diakui Presiden ke-3, yakni BJ Habibie, dan Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah pun membenarkan bahwa negara sudah mengakui terjadinya sejumlah pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998. Sebagian korban serta keluarga bahkan telah menerima layanan pemulihan.Pernyataan Fadli juga tak luput dari kritik para akademisi. Beberapa pakar menyayangkan penyangkalan pemerkosaan massal pada 1998 dan minimnya proses konsultasi publik di dalamnya. Penulisan sejarah seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk membuka pengusutan tragedi tersebut serta berdialog dengan para korban. Proses tak transparan, memancing kecurigaanDosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia, Masduki, mengatakan bahwa polemik pernyataan Fadli Zon berakar dari minimnya partisipasi publik yang bermakna dalam penulisan sejarah. Menurut dia, perumusan sejarah nasional harus didahului dari “belanja masalah” yang ada di masyarakat.“Ada problem meaningful participation yang tidak terjadi di Kementerian Kebudayaan. Ini adalah satu masalah dari proses pembuatan kebijakan yang sejatinya isunya sangat strategis,” ujar dia.Minimnya partisipasi akhirnya membuat publik bertanya-tanya saat polemik seperti penyangkalan pemerkosaan 1998 muncul di permukaan. Apalagi, kata Masduki, kecurigaan ini diperkuat dengan fakta bahwa Presiden Prabowo Subianto lekat dengan rezim Orde Baru. Pernyataan Fadli yang menginginkan penulisan sejarah dengan “tone (nada) positif” juga memperkeruh polemik.“Akan selalu muncul kecurigaan penulisan ulang sejarah dan beragam kebijakan lain sebagai upaya untuk meng-adjust atau menjaga establishment kekuasaan,” tegas Masduki.Menihilkan korban dan perjuangan perempuanMuhammad Ammar Hidayahtulloh, kandidat doktor dari the University of Queensland yang meneliti politik gender di era Reformasi, mengatakan bahwa penyangkalan pemerkosaan massal Mei 1998 menambah rentetan cara-cara pemerintahan Prabowo yang terus menggerus sistem politik yang demokratis. Hal ini, menurut Ammar, terlihat dalam proses penulisan ulang sejarah tanpa mekanisme yang transparan dan partisipatif, misalnya melalui konsultasi publik, khususnya korban. Alih-alih memperbarui, revisi sejarah Indonesia justru berisiko mengingkari fakta pelanggaran HAM masa lalu yang sudah tercatat dan terbukti.Penyangkalan pemerkosaan massal juga dianggap Ammar sebagai upaya pemerintah menafikan gerakan perempuan yang menjadi salah satu gerakan politik krusial era Reformasi. Ini terbukti dari pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai institusi pertama yang didirikan pasca-Orde Baru. Komisi ini lahir dari perjuangan perempuan yang menuntut negara untuk memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban. Dari perjuangan itulah, publik mulai memperbincangkan masalah kekerasan terhadap perempuan.Terbiasa menyangkal realitaMenurut Rizkiya Ayu Maulida, dosen ilmu komunikasi dari UPN Veteran Jakarta, pernyataan Fadli merupakan bagian dari upaya penyangkalan realita yang sebenarnya tertulis dalam laporan TGPF 1998. Dalam ilmu komunikasi, menurut Rizkiya, penyangkalan ini menunjukkan karakter pemerintah yang narsistik dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Karakter narsistik biasanya balik menyalahkan korbannya, saat korban menyampaikan keluhannya. Karakter narsistik pemerintah juga terlihat dalam kasus kematian akibat keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis. Alih-alih mengevaluasi, pemerintah justru mencari-cari kesalahan dengan mengatakan sang korban kemungkinan makan pakai tangan.Buat apa sejarah resmi?Peneliti sejarah dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Adrian Perkasa, mengatakan mencuatnya polemik terkait pemerkosaan 1998 berhulu dari proyek sejarah nasional versi pemerintah. Menurut Adrian, genre sejarah nasional (pemerintah) yang berkembang sejak abad ke-19 sudah tidak relevan lagi.Adrian mengatakan genre sejarah seperti ini berpotensi mempertentangkan fakta yang tak sesuai dengan pandangan pemerintah. Penyusunnya, yang terafiliasi dengan penguasa, berisiko melakukan sensor ataupun memiliki preferensi tertentu saat menyusun dokumen tersebut.“Objektivitas dalam penulisan sejarah adalah suatu hal yang mustahil. Apalagi dalam genre sejarah nasional, perspektif nasional pasti didominasi oleh pemerintah,” kata Adrian.Holy Rafika Dhona, dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang juga anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK) berpendapat senada dengan Adrian.“Ini adalah upaya pemusatan dalam narasi sejarah … Istilah sejarah yang ‘Indonesia-sentris’, yang dipakai oleh proyek ini sendiri mencerminkan pemusatan itu,” ujarnya.Selain genre yang usang, Adrian juga menganggap proyek revisi sejarah nasional terlalu terburu-buru—hanya sekitar enam bulan sejak pengumuman proyek pada Januari 2025. Apalagi, pemerintah belum menjabarkan apakah proyek ini didahului oleh riset sejarah, ataukah hanya berupa kompilasi karya-karya.Menurut Holy, urusan menulis sejarah sebenarnya bisa diserahkan pada akademisi juga sejarawan-sejarawan lokal. Dengan mengurusi penulisan sejarah, pemerintah mengabaikan upaya sejarawan untuk mengarusutamakan narasi sejarah lainnya, misalnya sejarah lingkungan, sejarah kebencanaan, atau sejarah kesehatan. Ini dianggap Holy lebih berguna bagi kebijakan publik. Alih-alih membuang-buang anggaran untuk merevisi sejarah dan memicu kontroversi, Adrian menyarankan pemerintah membuat proyek repositori (platform penyimpanan) berbagai tulisan sejarah di masa lalu. Proyek ini justru lebih bermanfaat untuk penelitian maupun pengajaran sejarah dari SD hinga perguruan tinggi.“Terdapat banyak sekali karya sejarah yang menarik dan tinggal disesuaikan dengan kebutuhan belajar mengajar sejarah di masing-masing tingkatan,” tutur dia.Klarifikasi Fadli ZonSetelah gaduh di publik, Fadli Zon angkat bicara melalui cuitannya pada 16 Juni 2025. Dia membantah anggapan bahwa dirinya menyangkal adanya kekerasan seksual. “Pernyataan saya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah "perkosaan massal,"yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat,” kata Fadli.Dia pun mengklarifikasi bahwa proyek revisi sejarah tidak menghilangkan narasi perempuan. Justru, Fadli mengatakan, “Dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.”