Apa jadinya kalau Indonesia mendirikan kesultanan lagi?

Wait 5 sec.

Abdi Dalam Kraton Jogjakarta bersiap untuk melaksanakan Labuhan Parangkusumo atau peringatan penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja, pada 11 Februari 2024. Agung Widiyanto/Shutterstock● Pemerintah menunjukkan indikasi ingin menghidupkan kembali kesultanan di Indonesia.● Menabalkan raja/sultan baru tidak lepas dari motif politik dan ekonomi.● Membangkitkan kesultanan berpotensi menimbulkan konflik dan perebutan klaim tentang siapa yang paling berhak menjadi raja/sultan.Pasca-Reformasi, muncul fenomena menarik kelahiran kesultanan-kesultanan baru di Nusantara, mulai dari Aceh sampai Papua.Berdasarkan data dari Forum Silaturahmi Kesultanan Nusantara, saat ini terdapat sekitar 200-an kerajaan dan kesultanan yang tersebar di seluruh Nusantara.Semangat mendirikan kesultanan dan mengangkat sultan-sultan baru semakin meningkat pada era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo (2014–2024). Jokowi bahkan pernah mengadakan pertemuan dengan para raja dan sultan yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) di Istana Bogor pada 2018.Di era Presiden Prabowo Subianto ini, wacana tersebut tampaknya terus berlanjut. Pada 24 Desember 2024, Kementerian Kebudayaan menggelar audiensi dengan para raja/sultan yang tergabung dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN).Wacana ini layak diwaspadai. Pasalnya, membangkitkan kesultanan bukan hanya soal pelestarian budaya. Di era modern ini, potensi konflik akan rentan terjadi. Apalagi jika bangkitnya kesultanan ini lebih kepada motif politik belaka.Kesultanan yang ‘hidup lagi’Di Indonesia, mayoritas kesultanan sebenarnya sudah dihapuskan oleh Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tapi kini, muncul kembali sejumlah kesultanan baru. Abdi Dalam Keraton Jogjakarta bersiap untuk melaksanakan Labuhan Parangkusumo, peringatan penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja, pada 11 Februari 2024. Agung Widiyanto/Shutterstock Kerajaan Bintan, misalnya, yang lenyap pada abad ke-14 lalu digantikan oleh Kesultanan Melaka di Semenanjung Malaya, kini dihidupkan kembali oleh mereka yang mengaku keturunan dari Kesultanan Bintan.Pada 2012, sekelompok individu yang mengklaim sebagai keturunan Kerajaan Bentan memberikan mandat kepada mantan Bupati Kepulauan Riau, Huzrin Hood, sebagai sultan dari kesultanan baru bernama Kesultanan Bintan Darul Masyhur. Bentan kemudian dihidupkan kembali sebagai “ibu kerajaan Melayu” yang disebut-sebut melahirkan dinasti Melayu di berbagai wilayah.Kasus serupa juga terjadi pada Kesultanan Siak. Sultan Tengku Nazir bin Tengku Zainurrashid dilantik sebagai Sultan Siak Sri Indrapura XIII pada tahun 2022. Padahal, Kesultanan Siak sendiri telah bubar pada tahun 1946 ketika Sultan Siak XII, Syarif Kasim II, menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Selain Siak di Riau, Kesultanan Jambi yang dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1907 dihidupkan kembali melalui penabalan Sayyid Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Baraghbah sebagai Sri Paduka Sultan Jambi Darul Haq ke-22 pada tahun 2022.Kebangkitan kesultanan juga terjadi di Sumatra Utara, dengan munculnya kembali Kesultanan Bilah, Kesultanan Kualuh-Leidong, Kesultanan Negeri Kotapinang, dan Kesultanan Asahan.Di Riau, muncul kembali Kerajaan Rantau Kampar (Gunung Sahilan), Kerajaan IV Koto Kampar, dan Kesultanan Pelalawan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumatra, tetapi juga di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.Motif politikPada dasarnya, upaya menghidupkan kesultanan di Indonesia bisa jadi bagian dari upaya perlindungan budaya. Dasar hukumnya tertuang dalam Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemandangan Keraton Kasunanan di pagi hari. Istana ini terletak di kota Solo atau Surakarta. Renhue/Shutterstock Meski demikian, kita juga harus mengakui bahwa upaya melahirkan kesultanan baru dan menabalkan raja/sultan baru tidak terlepas dari motif politik dan ekonomi, selain faktor sosial budaya.Pada era Jokowi, upaya membangun kohesi nasional sering melibatkan tokoh-tokoh adat dan tradisional. Dengan tampil sebagai “sultan”, individu atau kelompok tertentu berupaya mendekatkan diri kepada pemerintah pusat demi meraih pengaruh politik dan ekonomi.Di tengah arus globalisasi, kebangkitan kesultanan sering kali dikaitkan dengan upaya melindungi identitas lokal dan memperjuangkan otonomi daerah. Hal ini menjadi bagian dari strategi politik untuk menegosiasikan kekuasaan dengan pemerintah pusat.Gelar sultan atau pemimpin tradisional juga sering kali memberikan legitimasi sosial yang kuat di mata masyarakat. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dukungan politik dalam pemilu, baik di tingkat lokal maupun nasional.Dengan status sebagai sultan atau raja, tokoh-tokoh ini mendapatkan akses lebih mudah ke pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan jaringan internasional untuk pengembangan daerah.Potensi konflikAda sejumlah permasalahan jika kesultanan dan sultan-sultan baru benar-benar dibangkitkan. Konflik dan saling klaim mengenai siapa yang paling berhak menjadi raja atau sultan sudah pasti tak terhindarkan.Sebagai contoh, dalam penabalan Sultan Siak XIII saja, terjadi konflik perebutan kekuasaan yang bahkan berujung pada proses hukum di pengadilan.Untuk meminimalisasi konflik dalam proses pencarian sultan-sultan baru, pewaris sah harus ditabalkan melalui kajian sejarah dan penelusuran silsilah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.Faktanya, di beberapa daerah, individu yang dilantik menjadi sultan atau raja tidak memiliki ikatan kekerabatan dengan kesultanan. Sering kali, silsilah dibuat secara manipulatif sehingga memicu konflik yang bisa menjadi bom waktu di kemudian hari.Sebuah kerajaan atau kesultanan Islam umumnya memiliki elemen-elemen penting agar dapat dianggap sebagai entitas berdaulat. Syarat-syarat tersebut meliputi adanya sultan/raja, rakyat, istana, peradilan, kedaulatan (legitimasi), struktur pemerintahan, dan wilayah. Istana Surosowan di Provinsi Banten. Istana ini dibangun pada tahun 1526 oleh pendiri Kesultanan Banten. Ronal Rikardo Siagian/Shutterstock Namun, mayoritas kesultanan baru di Nusantara tidak lagi memiliki istana dan cenderung membangun istana baru, seperti Istana Kesultanan Bintan dan Istana Kerajaan Pelalawan di Riau.Lebih baik mendirikan paguyubanKetimbang mendirikan kesultanan baru yang rawan konflik, pilihan yang lebih logis adalah mendirikan organisasi paguyuban yang menghimpun zuriat atau keluarga kesultanan.Potensi konflik dalam pendirian organisasi zuriat lebih kecil dibandingkan dengan penabalan sultan baru. Organisasi ini dapat berfungsi memperkuat silaturahmi, alih-alih menjadi alat untuk kepentingan politik dan ekonomi.Dengan adanya organisasi zuriat atau keluarga kesultanan, pemerintah daerah dapat memiliki mitra strategis dalam perlindungan budaya dan peningkatan kesadaran sejarah di daerah.Banyak daerah di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan kerajaan atau kesultanan. Mendirikan organisasi zuriat kesultanan dapat menjadi cara untuk meningkatkan pariwisata lokal melalui festival budaya, museum sejarah, dan acara tradisional.Hal ini memberikan dampak ekonomi positif bagi daerah dan masyarakat setempat. Pemerintah daerah nantinya dapat memberikan dukungan finansial melalui anggaran daerah, program kebudayaan pemerintah, atau hibah internasional untuk pelestarian budaya.Dedi Arman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.