Petugas darurat bekerja di lokasi kejadian setelah serangan rudal dari Iran ke Israel, di Ramat Gan, Israel, Kamis (19/6/2025). Foto: Ammar Awad/REUTERSHarga Minyak mentah Brent sebagai acuan global tercatat naik sekitar 20 persen sepanjang Juni dan berpotensi mencetak lonjakan bulanan terbesar sejak 2020. Ini seiring meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran.Meskipun situasi masih relatif terkendali, lonjakan harga ini tetap menjadi sorotan, terutama setelah tiga tahun lalu invasi Rusia ke Ukraina memicu lonjakan harga energi yang berkontribusi pada inflasi global dan mendorong kenaikan suku bunga secara agresif.Mengutip Reuters, Harga minyak saat ini mengalami kenaikan bertahap, bukan lonjakan tajam. Hal ini karena investor merasa tenang selama belum ada gangguan nyata terhadap pasokan minyak. Namun, pasar tetap perlu waspada.Selisih harga kontrak berjangka Brent untuk bulan depan dengan kontrak enam bulan ke depan sempat mencapai level tertinggi dalam enam bulan. Ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah. Selisih ini tetap tinggi hingga Jumat lalu.Dengan Brent diperdagangkan di kisaran USD 77 per barel, memang masih jauh di bawah puncaknya pada 2022 sebesar USD 139. Namun sudah mendekati titik yang dianggap menyakitkan bagi perekonomian.“Kalau harga minyak menembus USD 80-100 dan bertahan di sana, itu bisa membahayakan ekonomi global,” ujar CIO ABN AMRO Solutions, Christophe Boucher. “Saat ini kita masih sedikit di bawah ambang itu," tambahnya.Perhatian juga tertuju pada sektor pelayaran yang sering dianggap sebagai indikator utama energi. Sekitar 20 persen konsumsi minyak global melewati Selat Hormuz yang terletak antara Oman dan Iran. Jika jalur ini terganggu, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel.Pengalihan rute pelayaran juga bisa memperparah gangguan pasokan, apalagi jika peningkatan produksi dari OPEC+ tidak dapat menjangkau pasar internasional. Menurut Direktur Hedge Fund Svelland Capital, Nadia Martin Wiggen, ia tengah memantau tarif pengiriman secara ketat.“Sejauh ini, tarif pengiriman menunjukkan bahwa China yang memiliki kapasitas kilang cadangan terbesar di dunia itu belum melakukan panic buying karena kekhawatiran pasokan,” ujarnya.“Begitu China mulai membeli dalam jumlah besar, tarif pengiriman akan naik, dan harga energi global akan ikut terdongkrak," tambah Nadia.Ilustrasi minyak Iran Foto: Reuters/Raheb Homavandi/File PhotoPertumbuhan Ekonomi Dipengaruhi MinyakKenaikan harga minyak menimbulkan kekhawatiran karena bisa memicu inflasi jangka pendek, dan menekan pertumbuhan ekonomi akibat turunnya konsumsi.Ekonom menyebut harga minyak yang tinggi ibarat pajak tambahan, terutama bagi negara pengimpor energi seperti Jepang dan kawasan Eropa. Mengingat sulitnya mencari substitusi minyak dalam jangka pendek.Kepala Ekonom Lombard Odier, Samy Chaar, menyatakan harga minyak yang stabil di atas USD 100 bisa memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 1 persen, dan menaikkan inflasi global sebesar 1 persen. Kekhawatiran ini meningkat setelah Israel melancarkan serangan ke Iran sepekan lalu. Obligasi sebagai aset safe haven sempat menguat, tetapi kembali melemah karena investor mulai khawatir terhadap dampak inflasi dari harga minyak yang tinggi.Di zona euro, indikator ekspektasi inflasi pasar jangka menengah (5y5y forward) naik ke level tertinggi dalam hampir satu bulan terakhir.“Di Amerika Serikat, harga minyak USD 75 yang bertahan bisa meningkatkan proyeksi CPI kami sekitar setengah persen hingga akhir tahun, dari 3 persen menjadi 3,5 persen,” kata Kepala Ekonom RBC, Frances Donald.Negara-negara seperti Turki, India, Pakistan, Maroko, dan sebagian besar Eropa Timur yang sangat tergantung pada impor minyak diperkirakan akan paling terdampak. Sebaliknya, negara-negara pengekspor seperti negara Teluk, Nigeria, Angola, Venezuela, serta sebagian Brasil, Kolombia, dan Meksiko akan mendapatkan tambahan pemasukan.Ada pergeseran menarik pada pergerakan dolar. Selama beberapa tahun terakhir, dolar biasanya naik bersamaan dengan kenaikan harga minyak. Namun kali ini, penguatan dolar terlihat terbatas, hanya naik 0,7 persen secara mingguan.Analis memperkirakan tren pelemahan dolar akan berlanjut, mengingat risiko konflik di Timur Tengah dianggap masih terbatas serta sentimen negatif terhadap ekonomi AS dan kredibilitas pemerintahan Donald Trump dalam bidang perdagangan dan diplomasi.Dolar juga melemah sekitar 9 persen sepanjang tahun ini terhadap mata uang utama lainnya. Meski begitu, pelemahan dolar justru memberikan sedikit kelegaan bagi negara pengimpor minyak, mengingat minyak dihargai dalam dolar.“Bagi negara pengimpor minyak, pelemahan dolar memberikan sedikit perlindungan, mengurangi dampak dari lonjakan harga minyak dan tekanan ekonomi yang lebih luas,” kata UniCredit.Pasar Saham Terpantau Masih AmanSelama belum terjadi gangguan nyata terhadap pasokan minyak, pasar saham global cenderung tenang dan tetap dekat dengan level tertinggi sepanjang masa.“Investor memilih untuk melihat ke depan sampai ada alasan yang jelas bahwa konflik ini akan meluas menjadi konflik regional yang besar,” ujar Osman Ali, Co-Head Quantitative Investment Strategies di Goldman Sachs Asset Management.Pasar saham di negara Teluk sempat merosot setelah kabar awal serangan, tetapi kemudian stabil berkat kenaikan harga minyak. Saham sektor energi di AS dan Eropa, khususnya perusahaan minyak dan gas, mengalami kinerja yang baik, begitu pula saham industri pertahanan.Sementara itu, saham Israel menjadi yang paling unggul dalam seminggu terakhir dengan kenaikan sebesar 6 persen.Di sisi lain, saham perusahaan konsumen minyak seperti maskapai penerbangan menjadi kelompok yang paling terpukul.