Kisah Wabah Ulat Bulu di London 1782: Dituduh Bawa Penyakit, Bikin Panik Warga

Wait 5 sec.

Ilustrasi ulat bulu. Foto: Faisal Rahman/kumparanLondon, Inggris, yang tengah pulih dari kerusuhan berdarah dan dikepung bayang-bayang Revolusi Amerika pada awal 1780-an, tiba-tiba dihadapkan dengan ancaman baru yang tak terduga: Ulat bulu.Ulat dari ngengat ekor cokelat (Euproctis chrysorrhoea) tiba-tiba membanjiri pohon-pohon dan semak-semak di seluruh kota. Dalam waktu singkat, dedaunan di taman dan pedesaan sekitar terselubung jaring putih tebal yang dibangun para larva serangga sebagai tempat berlindung.Mereka sebenarnya bukan makhluk asing di Inggris. Hewan ini biasanya aktif antara Juli hingga Agustus, dengan ngengat betina akan bertelur 150–250 butir di pohon atau tanaman seperti hawthorn, plum, ceri, mawar, hingga blackberry.Ulat yang baru menetas mulai memakan daun sambil menenun jaring, yang kelak jadi ‘kantong tidur’ untuk berhibernasi di musim dingin. Begitu musim semi tiba, mereka bangun dan makan lagi, membuat jaring baru sambil melucuti dedaunan habis-habisan.Meski terlihat menjijikkan dan bisa menyebabkan iritasi kulit, serangga mungil ini secara ilmiah tidak berbahaya. Namun, pada masa ketika ilmu pengetahuan belum tersebar merata, keberadaan mereka memicu kekacauan, ketakutan, dan bahkan teori konspirasi.Kehadiran mereka kebetulan bertepatan dengan merebaknya wabah influenza di kalangan masyarakat miskin di pinggiran kota —wilayah yang juga paling terdampak oleh infestasi ulat. Media saat itu, alih-alih meredakan keresahan, justru menebarkan sensasi. Koran-koran memperingatkan bahwa ulat ini mungkin membawa penyakit atau menjadi pertanda kelaparan besar.Ilustrasi padam listrik di London, Inggris. Foto: Reuters / Toby MelvilleDi tengah keresahan itu, muncullah Gustavus Katterfelto, seorang pesulap sekaligus 'ilmuwan eksentrik' yang memanfaatkan kepanikan publik. Ia mengadakan pertunjukan proyeksi gambar ulat, menyebut mereka pembawa wabah, dan menjual 'obat pelindung' dari bahaya yang ia karang sendiri. Katterfelto menjadi fenomena tersendiri — simbol dari persimpangan antara hiburan, pseudosains, dan manipulasi massa.Namun tidak semua pihak tinggal diam. Entomolog seperti William Curtis dan tokoh ilmiah terkemuka Sir Joseph Banks menerbitkan pamflet ilmiah yang menjelaskan bahwa ulat-ulat ini hanyalah hama tanaman biasa. Mereka berusaha mengedukasi publik bahwa tidak ada hubungan antara ulat dan penyakit, meski suara mereka sering tenggelam di tengah hiruk-pikuk sensasi.Sejarawan Johan Lidwell-Durnin dari University of Exeter menekankan, meski para ilmuwan berusaha membongkar kebohongan, sebagian warga tetap percaya fenomena aneh seperti serbuan ulat pasti punya makna gaib. Maklum, di era itu, peristiwa alam masih sering dianggap tanda campur tangan kekuatan tak terlihat.“Serangga ini muncul mendadak, jadi ancaman menakutkan, dan perdebatan publik pun ramai soal apa pesan yang dibawa untuk masa depan. Sains hanya menyediakan satu cara untuk membaca tanda-tanda yang tertulis di atas pepohonan kota metropolitan,” tulis Lidwell-Durnin, mengutip IFL Science.Pada akhirnya, tidak ada wabah besar, tidak ada kelaparan. Katterfelto menjadi bahan olok-olok, dan para ilmuwan mulai mendapatkan ruang yang lebih besar dalam membentuk opini publik.Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa di balik kejadian kecil, tersembunyi pelajaran besar tentang ketidakseimbangan informasi, ketakutan massa, dan bagaimana ilmu pengetahuan harus bersaing dengan narasi yang lebih menarik —sebuah fenomena yang tidak asing lagi di era media sosial masa kini.