Ilustrasi kilang minyak Foto: Reuters/Todd KorolPemerintah memperkirakan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) pada tahun 2026 akan berada di kisaran USD 60 hingga USD 80 per barel.Proyeksi tersebut disampaikan berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Antar Kementerian/Lembaga (K/L) bersama Bank Indonesia (BI) pada 6 Mei 2025 lalu.Plt. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkap perkembangan harga minyak mentah dunia saat ini mengalami tren penurunan dibandingkan asumsi APBN.Hingga Mei 2025, rata-rata ICP tercatat sebesar USD 70,05 per barel. Angka ini lebih rendah dari target dalam APBN 2025 yang dipatok sebesar USD 82 per barel.“Untuk tahun 2026 diproyeksikan harga minyak mentah Indonesia, ini berdasarkan rapat awal adalah sebesar 60-80 USD per barel,” ujar Tri dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR, di Senayan, Jakarta, Senin (30/6).Menurut dia, ada sejumlah faktor yang memengaruhi tren pelemahan harga minyak global saat ini. Beberapa di antaranya adalah ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, serta potensi penundaan atau kenaikan tarif dagang Amerika Serikat yang berdampak pada pasar global.Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno di Hotel Raffles Jakarta, Selasa (10/12/2024). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparanBerdasarkan paparannya, proyeksi ini merujuk pada data dari US Energy Information Administration (EIA) dan hasil polling Reuters. Dalam laporan tersebut, harga minyak mentah Brent diperkirakan rata-rata USD 64,6 per barel. Sedangkan West Texas Intermediate (WTI) diprediksi USD 60,80 per barel.Secara rinci, data dari US-DOE atau Departemen Energi Amerika Serikat memperkirakan harga WTI berada pada USD 62,33 dan Brent USD 65,97 per barel. Sementara prediksi dari Reuters sedikit lebih tinggi, yakni WTI USD 64,12 dan Brent USD 67,71 per barel.Selain itu, potensi oversupply akibat meningkatnya stok minyak dunia juga menjadi perhatian.Namun, di sisi lain, peluang adanya kesepakatan lanjutan dari OPEC+ untuk memperpanjang pemangkasan produksi secara sukarela juga bisa menjadi faktor penyeimbang harga.