Mau anak melek digital? Orang tua harus melek lebih dulu

Wait 5 sec.

● Orang tua perlu membekali diri dengan literasi digital yang memadai sebelum mendampingi anak.● Strategi pengasuhan digital harus disesuaikan dengan karakter tiap anak dan keluarga.● Fokus utama ada pada pendampingan aktif agar anak mampu menggunakan media digital secara kritis dan aman.Media digital kini sudah menjadi bagian dari keseharian anak-anak, bahkan sejak mereka belum genap berusia satu tahun. Lewat perantara berbagai gawai, seperti smartphone, tablet, atau smartTV, anak-anak bisa melakukan berbagai aktivitas, seperti mendengarkan musik, melihat video, membaca, menggambar, dan juga bermain gim di dunia digital.Kedekatan anak dengan dunia digital kerap digambarkan secara terpolarisasi atau hitam putih oleh media maupun kalangan akademis. Narasi ini biasanya berkutat pada dua sisi: dampak positif dan dampak negatif dari interaksi anak dengan dunia digital, misalnya, risiko kesehatan, perilaku anak, perkembangan sosial-emosional anak, dan juga perkembangan spiritual anak. Pola pikir semacam ini menyebabkan orang tua mudah terperosok dalam debat yang tak berujung soal pengaruh teknologi digital terhadap perkembangan anak.Dalam situasi seperti itu, orang tua pada akhirnya cenderung membatasi anak dalam berinteraksi dengan internet dan gawai digital. Namun, tanpa disadari, mereka sendiri juga menggunakan internet secara berlebihan. Padahal, anak biasanya mencontoh kebiasaan orang tua. Jadi, alih-alih terjebak dalam perdebatan soal baik buruk internet dan gawai, orang tua sebaiknya fokus menunjukkan perilaku yang baik dan juga membekali diri sendiri dengan literasi digital. Orang tua sebagai agen utamaPerkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan yang terdiri dari beberapa lapisan: microsystem (lingkungan terdekat dengan anak), mesosystem (interaksi antarlingkungan yang ada di microsystem), exosystem (merujuk pada struktur sosial formal dan informal, seperti kebijakan pemerintah lokal, atau kebijakan sekolah), macrosystem (mengarah pada norma sosial dan ideologi budaya), dan chronosystem (merujuk pada perubahan lingkungan sepanjang hidup anak-anak, seperti perceraian orang tua, pindah sekolah).Anak-anak tumbuh dan belajar terutama lewat interaksi aktif—baik dengan orang lain, objek, dan simbol-simbol yang mereka temui dari lingkungan terdekatnya, secara teratur, dan dalam periode waktu yang panjang. Lingkungan rumah, terutama pada masa anak-anak, sebelum mereka memasuki usia remaja, menjadi ruang utama mereka berinteraksi, termasuk dengan dunia digital. Maka, peran orang tua sangat penting dalam proses ini. Namun untuk bisa mendampingi, orang tua harus terlebih dahulu memahami dunia digital itu sendiri.Kerangka kompetensi yang digunakan oleh European Union (EU) bisa menjadi salah satu acuan untuk mengevaluasi kemampuan digital orang tua secara mandiri. Sayangnya, acuan dari EU hanya tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa dari negara-negara EU. Sementara tes mandiri di Indonesia yang resmi dan bisa diakses umum belum tersedia.Namun, Kementerian Komunikasi dan Digital Komdigi secara rutin melakukan survei tingkat digital literasi kepada masyarakat Indonesia dengan empat pilar pengukuran kompetensi digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Selain itu, orang tua juga bisa secara mandiri mencari informasi dan belajar dari komunitas-komunitas pegiat literasi digital, seperti salah satunya [Tular Nalar].Beda orang tua, beda caraRiset di Filipina pada 2024 membuktikan bahwa orang tua dengan tingkat literasi digital yang tinggi relatif lebih percaya diri dalam mengajarkan anak mereka. Pemahaman tentang risiko, keamanan, dan potensi digital bisa diberikan oleh orang tua kepada anak melalui proses komunikasi di dalam keluarga. Proses komunikasi yang terjadi di dalam setiap keluarga juga tentunya berbeda. Tiap keluarga adalah miniculture (budaya mini) yang memiliki nilai dan kebiasaannya masing-masing.Oleh karena itu, dalam memberikan kemampuan literasi digital, cara yang dilakukan oleh setiap orang tua kepada anaknya juga tidak bisa disamakan. Misalnya, keluarga dengan gaya pengasuhan yang mengutamakan kepatuhan akan cenderung memberikan arahan dan batasan pada anaknya terkait penggunaan gawai dan keamanan digital. Namun, ada juga keluarga yang mengutamakan interaksi antaranggota keluarga sehingga mengajarkan literasi digital dengan diskusi dan eksplorasi.Orang tua yang hadir dan intervensiIntervensi orang tua terhadap interaksi anak dan digital media disebut sebagai parental mediation (mediasi orangtua). Parental mediation ini mencakup enam sampai tujuh strategi yang bisa dipilih orang tua untuk mendukung aktivitas digital anak yang sehat. Salah satu strategi yang dianggap ideal adalah strategi aktif, yaitu ketika orang tua betul-betul mendampingi anak dalam mengakses dunia digital, termasuk melatih anak untuk mampu mengevaluasi konten yang dikonsumsi, misalnya ketika anak bermain game online. Orang tua mendampingi dan menjelaskan fitur-fitur dalam game, mengevaluasi percakapan online yang terjadi, dan memberikan pemahaman terkait risiko jika bergabung dalam forum percakapan tersebut.Namun tentu saja, tidak semua orang tua bisa menerapkan strategi ini karena belum tentu semua orang tua memiliki level digital literasi yang cukup untuk melakukannya. Faktor lain yang bisa menjadi penentu dari sisi orang tua adalah usia, tingkat pendidikan dan ekonomi, gaya komunikasi, gaya pengasuhan, akses dan keterlibatan orang tua ke anak. Terkadang, ayah dan ibu pun memiliki cara yang berbeda. Belum lagi, apabila dilihat dari sisi anak. Setiap anak pun memiliki kemampuan dan ketertarikan yang berbeda. Secara khusus untuk strategi mediasi ini, orang tua juga harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain usia anak dan juga ketertarikan anak atas konten tertentu. Misalnya, anak yang gemar bermain game perlu mendapatkan pendekatan yang berbeda dengan yang gemar menggunakan gawainya untuk menggambar, karena dua aktivitas ini memiliki risiko yang berbeda.Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada satu pendekatan yang bisa diaplikasikan secara general ke semua keluarga dan semua anak. Orang tua perlu selalu beradaptasi dengan kebutuhan anak. Tidak ada pula step-by-step yang pasti dalam hal ini, karena dunia digital berkembang dengan cepat dan kebutuhan anak juga berkembang sesuai usia mereka. Inti dari digital literasi mencakup salah satunya adalah kompetensi untuk menggunakan gawai digital secara kritis dan percaya diri. Maka orang tua pun tidak boleh berhenti belajar dan membekali diri dengan kompetensi digital, sembari memahami kebutuhan anak. Sebab, anak tidak bisa belajar sendiri, mereka butuh didampingi.Birgitta Bestari Puspita menerima dana untuk studi doktoral dari Australian Research Council - Centre of Excellence for the Digital Child Scholarship dan Higher Degree by Research Scholarship (ECUHDRS).