Kini Kejaksaan Agung meneken nota kesepahaman penyadapan dengan empat operator telekomunikasi. (Foto Freepik.com)Langkah Kejaksaan Agung meneken nota kesepahaman penyadapan dengan empat operator telekomunikasi menyalakan lampu merah. Di atas kertas, kesepakatan ini demi penegakan hukum. Namun dalam praktik, ia bisa menjadi pintu pengawasan massal yang merampas privasi warga. Jaksa Agung ST Burhanuddin berkata, ini untuk efektivitas penyidikan perkara besar. “Kami ingin memastikan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel,” katanya kepada media. Pernyataan itu meyakinkan. Kita tentu setuju. Tapi di balik meja MoU, bahaya lebih besar mengintai. Perjanjian ini lahir tanpa dasar hukum yang kokoh. Undang-Undang Khusus Penyadapan belum ada. Regulasi teknis masih kabur. Bahkan Kemenkomdigi mengingatkan, “MoU ini harus sesuai aturan yang berlaku,” ujar Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Wayan Toni Supriyanto seperti dimuat di media. Inilah pangkal masalah. Penyadapan bukan sekadar soal alat. Ini tentang hak privasi. Koalisi Masyarakat Sipil menyebut langkah Kejaksaan Agung melanggar Konstitusi. “Ini ancaman serius terhadap hak konstitusional warga,” tegas ICJR dalam rilis resminya. UU No.19 Tahun 2016 tentang ITE memang memberi wewenang penyadapan bagi penegak hukum. Namun syaratnya ketat. Harus ada perintah pengadilan. Prosesnya proporsional. Ada pengawasan independen. Tanpa UU khusus, semua prosedur bisa abu-abu. Siapa yang menjamin kewenangan ini tidak melampaui batas? Apa mekanisme kontrol publik? Sampai hari ini, belum ada jawaban. Anggota Komisi III DPR RI juga mengingatkan MoU ini “harus diawasi ketat” agar tak menabrak privasi warga. Tapi kata “pengawasan ketat” ini harus dicermati betul. Memang, dan kita setuju, penyadapan bisa membantu membongkar korupsi, narkotika, atau terorisme. Tapi pengalaman negara lain memberi pelajaran pahit. Di Amerika Serikat, program PRISM dan XKeyscore menyadap komunikasi warga secara luas, atas nama keamanan nasional. Inggris pun memiliki Undang-Undang Investigatory Powers yang dijuluki Snoopers’ Charter karena membuka celah pengawasan massal.Data komunikasi bukan sekadar angka. Ia potongan hidup manusia. Pesan cinta. Rahasia dagang. Percakapan keluarga. MoU ini memberi ruang intersepsi tanpa pagar yang kuat. Jika tak ada regulasi ketat, tak ada lembaga independen, warga tak punya perlindungan. Padahal pemerintah sejak 2019 gencar berkampanye soal perlindungan data pribadi. UU PDP sudah disahkan pada 2022. Presiden berkali-kali menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan data. Namun MoU itu seolah membuka pintu bagi praktik yang rawan melanggar privasi jutaan orang. Anggota DPR dan organisasi sipil sudah memberi peringatan. Ketua Komnas HAM juga pernah menyampaikan hal serupa. Komisioner M. Choirul Anam, saat memberi rekomendasi atas materi RUU Penyadapan pada 2019, menegaskan tiga prinsip utama penyadapan. Pertama, tidak boleh ada diskriminasi antar penyelenggara dalam penegakan hukum. Kedua, tata kelolanya harus jelas. Penyidik wajib langsung meminta izin pengadilan. Ketiga, syarat penyadapan harus tegas. Cukup dengan identitas dan substansi informasi yang dicari. Ia menekankan pentingnya pengaturan khusus bagi penegak hukum sebelum melakukan penyadapan. Tapi yang mencemaskan, publik seolah dibius narasi penegakan hukum. Seakan semua sah asal tujuannya memburu penjahat. Padahal, demokrasi tidak berdiri hanya di atas keberhasilan membongkar kasus. Demokrasi hidup karena kebebasan dan penghormatan hak dasar manusia. Sampai kapan ruang privat terus dikikis perlahan? Sampai kapan kita rela menyerahkan kebebasan pada belas kasihan pejabat? Tanpa Undang-Undang Khusus Penyadapan, semua ini ibarat cek kosong. Kekuasaan akan selalu mencari celah untuk menekan lebih banyak.MoU penyadapan bukan sekadar prosedur administratif. Tanpa pagar hukum, tanpa transparansi, tanpa pengawasan independen, ini hanya memberi lampu hijau pada penyalahgunaan wewenang. Barangkali, suatu hari rekaman percakapan kita muncul di meja penyidik. Obrolan pribadi bisa dipelintir jadi alat tekan. Privasi kita berubah menjadi barang dagangan. Dan saat itu terjadi, kita baru sadar. MoU yang tampak teknis ini sebenarnya gerbang menuju negara pengintip. Negara yang menepuk dada sambil merekam setiap detak jantung warganya. Di titik itu, bisa jadi tak ada lagi tempat aman selain keberanian menolak diam. Rasanya ini perlunya UU tentang Penyadapan disegerakan.