Pimpinan DPR Panggil Komisi II Bahas Putusan MK Terbaru

Wait 5 sec.

Gedung MK/DOK FOTO: Diah Ayu-VOIJAKARTA - Pimpinan DPR memanggil jajaran pimpinan Komisi II DPR untuk membahas soal putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Dalam putusannya, MK menyatakan pemilu nasional yang meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden akan diikuti oleh pemilu daerah. Pemilu daerah ini mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal 2,5 tahun sejak pelantikan presiden/wapres. "Ya tadi kami baru saja diundang oleh pimpinan DPR, Bapak Prof. Dr. sufmi Dasco Ahmad dan pimpinan yang lain, membicarakan terkait dengan respons DPR soal putusan Mahkamah Konstitusi terbaru yang memberikan gambaran kepada kita bahwa pemilu ke depan harus dilakukan dengan dua model pemilu," ujar Ketua Komisi III DPR Rifqinizamy Karsayuda, Senin, 30 Juni."Pertama, pemilu nasional yang isinya adalah melakukan pemilihan presiden-wakil presiden, pemilu anggota DPR dan DPD, serta pemilu lokal, pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati, wali kota serta pemilihan untuk DPRD provinsi, kabupaten, kota yang jeda waktunya minimal 2 tahun sampai 2,5 tahun," sambungnya.Rifqi menjelaskan DPR belum memberikan sikap resmi terkait putusan MK tersebut. Menurutnya, DPR perlu melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan MK yang dinilai kontradiktif.  "Yang saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif. Karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2019 melalui putusan nomor 55 tahun 2019, itu dalam pertimbangan hukumnya, bukan dalam amar putusannya, memberikan guidance kepada pembentuk undang-undang untuk memilih 1 dari 6 model keserentakan pemilu, yang 1 dari 6 model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada pemilu tahun 2024 yang lalu," jelas Rifqi. "Tetapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba dalam tanda kutip bukan memberikan peluang kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi undang-undang pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini. Karena itu, izinkan kami melakukan pendalaman dan penelaahan," lanjutnya.  Kedua, lanjut Rifqi, Komisi II DPR harus menormakan sejumlah ketentuan terkait dengan 2 model pemilu itu. Penormaan itu sendiri juga berpotensi memberi tafsir bahkan kemudian melanggar konstitusi. Salah satu contohnya adalah ketentuan terkait dengan pemilihan gubernur, bupati, wali kota, yang di dalam ketentuan Pasal 18 ayat 4 Undang-undang dasar negara Republik Indonesia disebutkan bahwa gubernur bupati wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi kabupaten kota dipilih secara demokratis. Tapi kemudian MK men-state dalam putusannya harus dipilih secara langsung melalui metode pemilu. "Sementara makna dari demokratis itu bisa direct demokrasi dan indirect demokrasi, karena itu DPR akan melihat lebih jauh original content atau risalah pada saat ketentuan pasal 18 ini dibentuk dulu pada saat amandemen konstitusi yang kedua, kalau tidak salah tahun 2000 yang lalu agar kita bisa melihat dari pembentuk undang-undang dasar pada tahun 2000 di amandemen konstitusi kedua, itu kenapa kok disebutkan kata demokratis, kenapa kok tidak disebutkan dipilih secara langsung dan seterusnya," papar Rifqi. Rifqi menegaskan sikap Parlemen terkait putusan MK terbaru akan disampaikan secara resmi oleh pimpinan DPR.