Delegasi Pengusaha Indonesia Harap Konferensi ILC ke-133 Hasilkan Regulasi Global Pekerja Adaptif-Realistis

Wait 5 sec.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) (DOK APINDO) JAKARTA - Sebagai salah satu delegasi tripartit Indonesia yang hadir dalam Konferensi Ketenagakerjaan Internasional (ILC) ke-113 di Palais des Nations, Jenewa, Swiss, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengungkap harapannya atas hasil ILC yang mulai digelar sejak beberapa waktu lalu. Dalam sidang plenary ILC ke-113, Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam menyampaikan bahwa kondisi global saat ini masih menantang, mulai dari ketidakpastian perdagangan hingga tekanan nilai tukar dan naiknya biaya produksi dalam negeri. Sehingga, hal ini berdampak pada sektor padat karya yang terpaksa mengurangi tenaga kerja. Oleh sebab itu, Bob berharap konferensi bisa menghasilkan regulasi global yang adaptif dan realistis. “Prinsip decent work di platform harus dirancang hati-hati agar tidak menghambat fleksibilitas dan inovasi, dua elemen kunci penciptaan lapangan kerja di era digital. Dunia usaha berharap ILO menghasilkan instrumen yang melindungi tenaga kerja tanpa memaksakan model kerja konvensional,” ungkap Bob dalam keterangannya, Minggu, 29 Juni. Tahun ini, Komite Penetapan Standar ILO memulai pembahasan perdana mengenai "pekerjaan layak di ekonomi berbasis platform”. Seluruh pihak tripartit, dijelaskan Bob, sepakat akan pentingnya perlindungan menyeluruh—baik bagi pekerja maupun keberlanjutan ekosistem platform, termasuk UMKM. "Karena itu, disepakati pendekatan berbasis prinsip agar instrumen yang dihasilkan fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara," urai dia. Dalam pembahasan tersebut, Komite memerlukan dua hari penuh untuk menentukan jenis instrumen yang akan digunakan. Mayoritas negara Eropa, Amerika Latin, dan Afrika mendukung Konvensi yang mengikat karena menyesuaikan dengan sistem ketenagakerjaan di negaranya. Sementara, negara dengan populasi pekerja platform terbesar seperti Tiongkok, AS, India, Swiss, dan Jepang mendorong Rekomendasi yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks nasional di mana mayoritas pekerja platform di dunia adalah berusaha sendiri serta pentingnya menjaga kestabilan agar tidak mematikan UMKM yang sangat bergantung pada ekonomi digital. Meskipun akhirnya diputuskan bahwa instrumen yang akan disusun berbentuk konvensi, pembahasan substansi baru mencakup sekitar 15 peraen dan belum menghasilkan kesepakatan akhir. "Ini menunjukkan kompleksitas isu dan perlunya kehati-hatian agar instrumen tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital serta tetap menghormati sistem hukum dan ketenagakerjaan di tiap negara," jelasnya. Selama dua minggu pembahasan, disepakati bahwa definisi pekerja platform mencakup penyedia layanan dalam platform baik sebagai pekerja dalam hubungan kerja, mereka yang berusaha sendiri, maupun kategori khusus lainnya, tergantung konteks nasional negara masing-masing. Tidak ada asumsi otomatis bahwa semua pekerja platform harus dianggap sebagai pekerja dalam hubungan kerja. Instrumen yang dirumuskan juga wajib menghormati sistem hukum ketenagakerjaan dan hukum bisnis di masing-masing negara.  Ruang lingkup platform yang dibahas juga luas. Tidak hanya yang berbasis lokasi seperti transportasi dan pengantaran, tetapi juga platform digital berbasis online seperti telehealth, pariwisata digital, edutech, freelancer, hingga pekerjaan kreatif.