Beberapa dekade terakhir, kebebasan berekspresi dalam seni di Indonesia terus menghadapi tantangan serius, terutama ketika karya-karya tersebut mengangkat isu sosial dan politik. Bentuk sensor dan pembatasan sering kali menyasar ekspresi yang bersifat kritis. Ini kembali terlihat dalam kasus yang menimpa band punk Sukatani dari Purbalingga, Jawa Tengah.Di awal 2025, Sukatani menjadi perbincangan setelah merilis lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dalam album Gelap Gumpita. Lagu ini secara terbuka mengkritik dugaan praktik pungutan liar oleh aparat kepolisian, menggunakan lirik yang tajam dan provokatif—ciri khas musik punk yang memang dikenal lantang melawan ketidakadilan.Namun, gelombang kontroversi datang tak lama setelahnya. Pada 20 Februari 2025, melalui akun Instagram mereka, Sukatani mengunggah permintaan maaf terbuka kepada Kapolri dan institusi kepolisian. Mereka juga mengumumkan penarikan lagu tersebut dari seluruh platform distribusi, dengan klaim bahwa keputusan itu diambil secara sukarela—memunculkan kecurigaan di kalangan masyarakat.Tekanan terhadap ekspresi seni tak hanya terjadi di dunia musik. Lima hari sebelum insiden yang menimpa Sukatani, kelompok teater Payung Hitam mengalami kejadian serupa.Pementasan mereka yang dijadwalkan berlangsung di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung tiba-tiba dibatalkan tanpa penjelasan. Studio tempat mereka seharusnya tampil dikunci tanpa pemberitahuan, sementara baliho promosi acara dicopot tanpa jejak.Apakah kejadian-kejadian tersebut adalah tanda kebebasan berekspresi di Indonesia semakin terancam?Untuk membahas isu ini, dalam episode SuarAkademia terbaru kami berdiskusi dengan Eka Nugraha Putra, Research Fellow dari Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore.Eka menekankan bahwa kejadian yang terjadi belakangan bukan sekadar reaksi spontan atau emosional dari individu maupun lembaga tertentu. Lebih dari itu, “pembungkaman” seperti ini merupakan bagian dari mekanisme sistematis yang dirancang untuk meredam ekspresi kritis. Mekanisme ini bekerja melalui berbagai cara, mulai dari intimidasi, pembatasan akses informasi, hingga manipulasi kebijakan di tingkat institusional.Di era digital, cara-cara pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi memang mengalami perubahan, tetapi tujuannya tetap sama: mengendalikan wacana publik. Eka menggarisbawahi bagaimana media sosial, yang seharusnya menjadi ruang terbuka bagi diskusi dan pertukaran gagasan, justru sering dimanfaatkan sebagai alat kontrol dan pengawasan.Jika di masa lalu pembungkaman dilakukan secara langsung melalui sensor fisik dan represi aparat, kini pendekatannya lebih halus dan terselubung. Praktik ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti penerapan pasal-pasal hukum yang multitafsir, tekanan sosial yang membatasi kebebasan individu dalam berbicara, hingga keberadaan aparat siber yang berwenang mengawasi dan memberikan peringatan, meskipun landasan hukumnya tidak selalu jelas.Bagi Eka, kebebasan berekspresi bukan sekadar hak individu, tetapi juga elemen kunci dalam menjaga demokrasi yang sehat dan dinamis. Ia mengingatkan bahwa tanpa ruang yang cukup bagi ekspresi kritik dan perbedaan pendapat, Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi. Ketika kontrol atas wacana publik menjadi terlalu ketat, partisipasi warga dalam pengambilan keputusan politik pun dapat terhambat, yang pada akhirnya melemahkan sendi-sendi demokrasi itu sendiri.Simak episode lengkapnya hanya di SuarAkademia— ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.