Grup punk Sukatani dalam single Alas Wirasaba. (ANTARA/Handout/aa)JAKARTA – Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) menyebut penarikan lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar” dapat menghambat kreativitas musisi. Sementara pengamat musik Mudya Mustamin menuturkan kritik terhadap penguasa adalah hal yang lumrah dalam musik punk.Duo punk asal Purbalingga Sukatani mendadak menjadi pusat atensi dalam sepekan ke belakang. Penyebabnya adalah kemunculan video pemohonan maaf atas lagu "Bayar Bayar Bayar" yang liriknya sarat kritik untuk anggota polisi nakal.Selain mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri, Sukatani juga memutuskan menarik peredaran lagu mereka."Melalui pernyataan ini, saya telah mencabut dan menarik lagu ciptaan kami yang berjudul 'Bayar Bayar Bayar.' Dengan ini saya mengimbau kepada semua pengguna akun media sosial yang telah memiliki lagu kami agar menghapus dan menarik semua video yang menggunakan lagu kami," kata salah satu personel Sukatani dengan nama panggung Alectroguy pada video permintaan maaf yang diunggah Kamis (20/2/2025).Tangkapan layar video permohonan maaf Band Sukatani. (Dok. X/@XtremeMerch)Unggahan video permintaan maaf, ditambah penarikan lagu “Bayar Bayar Bayar” memunculkan spekulasi bahwa mereka mendapat tekanan dari aparat. Apalagi, dalam video permintaan maaf tersebut, duo Sukatani membuka identitas mereka, dengan memperkenalkan diri sebagai Novi Citra Indriyati alias Twister Angel (vokal) dan Muhammad Syifa Al Lutfi alis Alectroguy (gitar). Selain itu, mereka juga membuka topeng yang biasa digunakan selama manggung.Menu Utama Musik PunkDi tengah viralnya video permintaan maaf tersebut, duo electro-punk Sukatani banjir dukungan. Tidak hanya dari masyarakat luas, tapi juga dari para musisi. Muncul gerakan #KamiBersamaSukatani di media sosial sebagai bentuk dukungan kepada mereka.Lagu “Bayar Bayar Bayar” karya Sukatani juga justru semakin populer, dan malah berkumandang sepanjang aksi demontrasi bertajuk Indonesia Gelap beberapa waktu lalu.Pengamat musik Mudya Mustamin berujar, kritik terhadap pemerintah atau penguasan adalah hal yang biasa ditemukan di banyak band yang mengusung musik punk seperti Sukatani.“Terlepas dari kehebohan kasus pembredelannya, lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ sebenarnya adalah hal yang lumrah jika konteksnya di ranah punk,” kata Mudya melalui pesan singkat kepada VOI.“Kalau melihat sejarahnya, punk sangat identik dengan pesan-pesan anti kemapanan, termasuk kritikan terhadap pemerintah atau penguasa. Dan Sukatani banyak terpengaruh attitude punk di penampilan serta suguhan musiknya,” sambungnya.Mudya menambahkan, kritik terhadap penguasa merupakan salah satu menu utama dalam musik punk. Karenanya, sangat banyak lagu dari genre musik punk maupun rock dan metal yang berisikan protes atas kondisi sosial-politik yang dinilai tidak wajar.“Dan jika berbicara dalam konteks musik, bisa dibilang punk juga bagian dari turunan rock, dan ikut mempengaruhi perkembangan musik metal. Demikian pula dalam urusan lirik,” ujar Mudya.Di Indonesia, kata Mudya, duo Sukatani sebenarnya bukan yang pertama kali mengeluarkan lagu yang berisi kritik terhadap pemerintah. Ia mencontohkan bagaimana penyanyi senior Iwan Fals kerap mengkritik pemerintah lewat lagu.“Itu yang berhasil tembus ke ranah mainstream. Di ranah punk ‘bawah tanah’ (underground). Ada lebih banyak lagi pengusung punk, dengan segala macam turunannya termasuk Sukatani, yang meneriakkan lirik-lirik protes nan keras,” ia menambahkan.Kritik Sosial di Dunia InternasionalDukungan untuk Sukatani juga dilontarkan Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) melalui akun Instagram resmi mereka. Kelompok yang dipimpin pentolan Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, ini menolak “penghambatan kebebasan berekspresi kepada band Sukatani yang tidak berdasar hukum”. Menurut FESMI, apa yang dialami duo Sukatani dapat menghambat kreativitas musisi. “Peristiwa tersebut bisa menimbulkan ketakutan bagi musisi dalam menciptakan karya, yang selanjutnya akan menimbulkan selfcensorship (sensor diri) yang tidak perlu dan bisa menghambat kreativitas,” demikian bunyi pernyataan FESMI.“Oleh karena itu, Kapolri dan jajaran di bawahnya harus menjamin peristiwa ini menjadi hal yang terakhir, sesuai dengan pernyataan Kapolri.”FESMI juga menyebut penarikan lagu Bayar Bayar Bayar, yang diduga terjadi di luar kehendak pemilik hak cipta, adalah sebuah pelanggaran sehingga menuntut agar hak tersebut dipulihkan dan dikembalikan seperti semula.Menggunakan musik sebagai alat untuk menyalurkan kritik sosial sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia internasional, sejumlah grup musik memiliki karya lagu yang bertemakan kritik sosial, bahkan mengkritik pemerintah sendiri.Grup punk rock asal Amerika Serikat (Green Day) saat menggelar konser di Pantai Carnaval, Ancol, Jakarta, Sabtu (15/2/2025). (Instagram/@greenday)Band metal asal Amerika Serikat (AS) Rage Against the Machine menciptakan lagu “Killing in the Name” yang menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan rasisme. Liriknya menyoroti ketidakadilan sosial dan kritik terhadap polisi setempat.Grup musik lainnya yang juga merilis lagu berisi kritik adalah The Cranberries dengan lagu “Zombie”. Lagu ini ditulis sebagai respons atas konflik yang pernah melanda Irlandia Utara.“Zombie” menyoroti dampak perang dan kekerasan terhadap masyarakat sekitar. Liriknya menggambarkan rasa sakit dan kehilangan akibat kebijakan pemerintah yang gagal.Sementara itu, lagu “American Idiot” milik Green Day disebut sebagai salah satu yang paling vulgar dalam mengkritik pemerintah. Lagu yang dirilis pada 2004 itu secara terbuka mengkritik budaya politik AS, terutama selama era George W. Bush.Sampai saat ini, lagu American Idiot tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan politik, tapi juga menjadi salah satu karya paling ikonik dari band yang digawangi Billie Joe Armstrong, Mike Dirnt, dan Tre Cool.