Ilustrasi Kejaksaan Agung (foto: rizky/voi.id)JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ali Syafaat, menilai revisi UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan belum diperlukan. Saat ini tak ada alasan mendesak untuk melakukan perubahan beleid."Perubahan terhadap UU Kejaksaan belum memiliki urgensi. Begitu pula RUU Polri dan RUU TNI. Jika ada penambahan Kewenangan pasti akan ada konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan," kata Ali dalam diskusi publik “Quo Vadis Penambahan Kewenangan Penegakan Hukum dan Urgensi Pengawasan Publik", Sabtu, 22 Februari di Tebet, Jakarta Selatan.Ali menilai saat ini yang lebih penting adalah menguatkan lembaga pengawasan penegak hukum. Lagi pula, perubahan perundangan ini dinilai justru berbahaya untuk demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air."Perubahan terhadap UU ini yang disebut sebagai autocratic legalisme, berbahaya bagi demokrasi dan HAM juga negara hukum," tegasnya."Kalau revisi itu terus dipaksaakan justru akan menganggu dan mengancam kebebasan sipil. Kalau terus dipaksakan, jutsru kita jadi curiga ada apa ini terus di paksakan, apa ada kepentingan kekusaan," sambung dia.Sementara itu, Anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023 Bhatara Ibnu Reza menyoroti pemberian kewenangan yang sangat luas bagi Korps Adhyaksa. Menurutnya, penambahan kewenangan itu sangat berbahaya dalam konteks penegakan hukum dan demokrasi."Kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dapat mengancam HAM, hingga fungsi intelijen yang berbahaya dan berpotensi untuk disalahgunakan secara sewenang-wenang," jelas Ibnu.Ibnu berpandangan fungsi intelijen di Kejaksaan harusnya bekerja di ruang rahasia. Tak boleh, misalkan, Kasie Intel memanggil orang di luar konteks tanpa adanya alasan dan bukti permulaan yang cukup karena rentan penyelewengan seperti dalam kasus pemerasan yang dilakukan jaksa kepada guru-guru di Indragiri Hilir."Komisi turun lapangan dan melakukan pemantauan, dari hasil pemantauan tesebut terbukti bahwa yang terlibat dalam pemerasan tersebut adalah jaksa di Kejaksaan Negeri tersebut," ujarnya."Ini berbahaya dan mudah dilakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik atau kepentingan lainnya diluar tugas dan fungsi Kejaksaan," kata Ibnu.Bukan hanya penambahan kewenangan, sejumlah hal lain dalam revisi UU Kejaksaan juga disoroti. Misalnya yang berkaitan dengan hak imunitas yang rentan dimanfaatkan jaksa nakal, kata Awan Purwadi selaku praktisi hukum."Padahal UU Kejaksaan tahun 2021 telah memberi kewenangan yang berlebihan pada Jaksa dan potensial disalahgunakan seperti masalah hak imunitas Jaksa," ujar Awan.Berbagai kondisi ini membuat Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, meningatkan penambahan kewenangan bagi jaksa harusnya dibarengi penguatan pengawasan. Kalau tidak, pelanggaran HAM hingga kode etik yang sudah banyak terjadi bisa makin bertambah jika revisi Undang-Undang Kejaksaan dilakukan."Kejaksaan banyak diadukan berkaitan dengan pelanggan kode etik dan penetapan, penahanan sewenang-wenang. Perubahan UU Kejaksaan harus mempertimbangkan mekanisme check and balances agar tidak berujung pada penyalahgunaan kekuasaan," pungkas Gina.