Ketua PDMI Mohamad Saptadji menegaskan tenaga kesehatan harus terus meningkatkan kompetensinya. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Perkembangan Artificial Intelligence (AI) begitu pesat. Dunia kedokteran pun sudah mengadopsi kecanggihan kecerdasan buatan ini. Namun, menurut dr. Mohamad Saptadji yang juga Ketua Perhimpunan Digital Medis Indonesia (PDMI), meski menggunakan AI, keputusan akhir harus tetap pada dokter. AI hanya sebagai alat bantu untuk mempermudah pekerjaan dalam dunia kedokteran. “AI oke, tapi keputusan akhir tetap pada dokter,” tegasnya.***Berbagai tindakan mulai dari diagnosis hingga tindakan medis, kata Saptadji, sudah memanfaatkan kecanggihan AI. Antara lain dalam pengobatan kanker dengan terapi gen, robot untuk operasi bedah, diagnosis penyakit menggunakan citra medis, pemantauan kondisi pasien secara jarak jauh, dan pemberian obat-obatan dengan dosis yang tepat.Ada juga pendeteksian dini penyakit menular, pemantauan kesehatan ibu hamil dan janin, pemberian saran gaya hidup sehat berdasarkan data kesehatan pribadi, penyaringan massal untuk penyakit menular di masyarakat, dan pemberian edukasi kesehatan secara personalisasi. “Dalam praktiknya, AI memang sudah digunakan di dunia kedokteran kita, tapi untuk hasil akhir tetap harus mendapat approval dari dokter,” katanya.Menghadapi realitas ini, tidak ada kata lain selain setiap tenaga kesehatan harus meningkatkan kompetensinya. “Teknologi makin maju, dokter dan tenaga kesehatan juga harus memperbarui ilmunya agar tidak ketinggalan zaman,” ujarnya.Globalisasi yang terjadi juga menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan. Namun, kata Mohamad Saptadji , tidak perlu takut. “Teman-teman dokter dan tenaga medis tak perlu takut, justru harus keluar dari zona nyaman yang ada selama ini. Globalisasi itu keniscayaan di era sekarang, semua berusaha mencari yang terbaik. Kenapa kita takut dengan orang lain datang kalau kita sudah siap memberikan layanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto saat bertandang ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang Jakarta Pusat, belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.Tak ada salahnya memanfaatkan kecanggihan AI dalam dunia kesehatan, namun kata Ketua PDMI Mohamad Saptadji, keputusan akhir tetap pada dokter. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia kedokteran di Indonesia saat ini dibandingkan dengan negara-negara maju?Tenaga kesehatan di Indonesia, saya amati, amat cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dalam dunia kesehatan. Dibandingkan tenaga medis di negara lain, kita tidak terlalu ketinggalan. Yang perlu dicermati adalah bagaimana teman-teman menyikapi perkembangan teknologi itu, karena tidak semua teknologi baru bisa langsung diterima di sini.Apa tantangan terbesar bagi tenaga kesehatan dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi kesehatan ini?Yang paling utama adalah budaya. Tenaga kesehatan yang senior harus mengejar ketertinggalan mereka dan cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi terbaru. Untuk generasi yang sekarang, seperti Gen-Z dan milenial, mereka sudah sangat mahir menghadapi teknologi terbaru.Secara organisasi, apa yang dilakukan PDMI untuk membantu tenaga kesehatan beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang pesat?Momentumnya terjadi saat pandemi COVID-19 tempo hari. Saat itu, kita harus tetap melayani masyarakat namun tak bisa bertemu langsung. Akhirnya muncul konsep telekonsultasi, telemedicine, lalu muncul ide untuk membentuk perhimpunan yang isinya tak hanya dokter dan tenaga medis lainnya, tapi juga semua orang yang punya ketertarikan dengan dunia medis dan digital. Itulah yang melandasi kami membentuk PDMI. Kami membantu mempercepat literasi digital di kalangan tenaga kesehatan.Sejauh mana teknologi AI sudah diterapkan dalam dunia kedokteran di Indonesia? Apakah ada contoh spesifik penggunaannya?Kami sudah masuk ke fakultas kedokteran di beberapa kampus. Kami memberikan masukan kepada mahasiswa kedokteran mengenai AI, khususnya yang diaplikasikan dalam dunia kedokteran. Kami tekankan kepada mereka untuk mengadopsi AI secara bertanggung jawab dan beretika.Dalam praktiknya, AI memang sudah digunakan di dunia kedokteran kita, salah satunya untuk pencitraan dalam bidang radiologi. Dalam pembacaan hasil rontgen juga sudah menggunakan AI. Namun, untuk hasil akhir tetap harus mendapat approval dari spesialis radiologi.Bagaimana dalam bidang bedah, apakah penggunaan robot juga mengaplikasikan AI?Untuk robotic surgery, para dokter sebelum menerapkannya harus diberi pemahaman mengenai teknologi yang sophisticated ini.Apa yang harus dilakukan agar penggunaan AI tidak melanggar etika?Tak ada opsi lain, AI harus digunakan secara bertanggung jawab. Bahwa AI membantu dalam mendiagnosis itu sudah terjadi, namun keputusan tetap pada kita (dokter) sebagai pilotnya, jangan sepenuhnya bergantung pada AI. Jadi, AI akan berdampak positif jika digunakan secara bertanggung jawab, tetapi sebaliknya bisa menjadi negatif jika tidak digunakan dengan etika yang benar.Menghadapi globalisasi, ketika negara kesehatan asing bisa bekerja di Indonesia dan sebaliknya tenaga kesehatan Indonesia bisa berkarya di mancanegara, kata Ketua PDMI Mohamad Saptadji harus meberikan layanan yang terbaik. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Saat ini banyak orang yang sudah mencari sendiri informasi di dunia maya, sejauh mana keamanannya?Sekarang, nyaris semua informasi tentang kesehatan dan penyakit bisa ditemukan di dunia maya. Ketika pasien datang kepada kami, para dokter dan tenaga medis, itu hanya untuk meminta klarifikasi. Jadi, mereka sudah tahu, dan saat ke dokter hanya tinggal mencari pembenaran saja. Kadang dokter menyampaikannya kurang pas, akhirnya mereka membandingkan dengan dokter lain. Kami seperti dibenturkan dengan sejawat. Jadi, ke depan, tenaga kesehatan harus masuk ke ranah AI ini. Artinya, tenaga kesehatan harus selalu meningkatkan kompetensinya.Untuk regulasi dalam bidang kesehatan, apakah sudah mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi?Yang paling mendasar, belum lama ini Kementerian Kesehatan mewajibkan agar data pasien harus terdaftar semua sehingga bisa diakses secara online. Seiring dengan itu, kerahasiaan data pasien harus benar-benar dijaga. Belakangan, dari yang saya pernah baca, kebocoran data itu datangnya dari lingkungan internal sendiri yang tidak disiapkan secara matang. Mohon maaf, mungkin ini bisa menjadi otokritik bagi semua tenaga kesehatan agar lebih berhati-hati.Saat ini, kejahatan siber juga bisa terjadi dalam dunia kesehatan. Di sanalah PDMI hadir, kami mencoba membuat teman-teman yang bertugas lebih waspada terhadap kondisi seperti ini. Literasi harus terus dilakukan, lalu komunikasi antar tenaga kesehatan juga harus ditingkatkan.Selama ini, satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya bersaing. Apakah persaingan itu sudah dilakukan secara sehat dan etis?Setiap rumah sakit dan tenaga kesehatan dibatasi oleh aturan. Sekarang ini, yang saya amati, mereka sudah semakin baik dalam menjaga etika dalam berpromosi. Yang justru menjadi perhatian kami adalah derasnya promosi rumah sakit mancanegara, sehingga banyak orang Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri. Sementara itu, di Indonesia, kita masih sangat terbatas dalam menginformasikan layanan kesehatan.Kita prihatin, banyak orang kita yang berobat ke luar negeri, padahal rumah sakit dan tenaga kesehatan di sini juga mampu memberikan layanan yang baik. Ini bisa menjadi warning bagi kita semua agar selalu meningkatkan kompetensi dan layanan kesehatan di dalam negeri.Lalu, kendalanya apa?Kendala yang selama ini ada adalah soal komunikasi, baik antara dokter dan pasien maupun antara dokter dan teman-teman media. Belakangan, kami membentuk wadah komunikasi antara dokter dan insan media agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat lebih jelas.Apa benar biaya berobat di beberapa negara lebih murah daripada di Indonesia?Soal murah atau mahal itu relatif. Yang jelas, pihak rumah sakit yang mempromosikan layanan mereka memiliki strategi komunikasi yang bagus kepada pasien. Biaya mungkin hanya beda tipis, tapi perlu diingat bahwa pasien yang berobat ke luar negeri juga harus menanggung biaya transportasi dan akomodasi. Saat harus melakukan check-up, biaya transportasi dan akomodasi juga akan keluar lagi. Silakan hitung sendiri mana yang lebih murah jika mempertimbangkan semua faktor tersebut.Apa prediksi Anda tentang peran teknologi dalam membentuk dunia kedokteran 5–10 tahun mendatang?Saat ini, rumah sakit di daerah sudah dilengkapi dengan alat-alat yang canggih. Rasanya, kita akan mengejar ketinggalan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Yang penting, teman-teman dokter dan tenaga medis lainnya diberi kesempatan untuk meng-upgrade diri.Apakah AI bisa menggantikan peran dokter?Bukan menggantikan, tetapi melengkapi apa yang belum bisa didapat. AI membantu tugas dokter dalam mendiagnosis penyakit. Jika dilakukan secara manual, proses ini akan membutuhkan waktu yang relatif panjang. Namun, keputusan tetap berada di tangan dokter.Menghadapi transformasi teknologi yang pesat, teman-teman dokter sangat antusias melengkapi diri untuk menghadapi perkembangan ini, termasuk dalam pemanfaatan AI. Tidak ada pilihan lain, tenaga kesehatan harus beradaptasi.Bagaimana peran media cetak dan elektronik dalam membantu perkembangan dunia kedokteran?Kami berharap ada cross-check terlebih dahulu sebelum teman-teman media menyiarkan suatu berita. Masyarakat sangat percaya pada informasi yang disiarkan oleh media. Jika berita yang disampaikan tidak tepat, dampaknya bisa berbahaya.Apa saran Anda kepada mahasiswa kedokteran atau tenaga medis muda yang ingin menjadi bagian dari perubahan ini?Sering-seringlah berdiskusi dengan dosen agar mendapatkan benang merah dalam memahami persoalan yang dihadapi. Dosen bisa menjelaskan tantangan yang ada sehingga mahasiswa tidak ketinggalan informasi. PDMI juga membantu memberikan pemahaman kepada mahasiswa dalam menghadapi pesatnya perkembangan teknologi saat ini.Dengan adanya globalisasi, dokter dari negara lain juga bisa praktik di Indonesia dan sebaliknya. Apa yang harus dilakukan agar bisa bersaing?Teman-teman dokter dan tenaga medis tak perlu takut, justru harus keluar dari zona nyaman yang selama ini ada. Globalisasi adalah sebuah keniscayaan di era sekarang, di mana semua pihak berusaha mencari yang terbaik. Tidak perlu khawatir, tenaga kesehatan dari luar belum tentu lebih baik daripada yang ada di sini.Kenapa kita harus takut dengan kedatangan tenaga kesehatan asing, jika kita sudah siap memberikan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat? Jika kualitas layanan kita optimal, orang tidak akan berpindah ke dokter lain. Totalitas Mohamad Saptadji dalam Memberikan Layanan KesehatanMeski sibuk di berbagai organisasi kesehatan, Mohamad Saptadji, tetap menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat yang cukup. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Sebagai seorang dokter, dr. Mohamad Saptadji memang tak jauh dari aktivitas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selain menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Digital Medis Indonesia (PDMI), ia juga aktif di beberapa organisasi sosial dan profesi yang bermuara pada pemberian layanan kesehatan.Organisasi dokter tertua yang diikutinya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia juga terlibat di Yayasan Stroke Indonesia (YASTROKI), Komunitas Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia (KREKI), Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Perhimpunan Kedokteran Wisata Kesehatan Indonesia (Perkedwi), Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI), serta aktif di Perhimpunan Kedokteran Digital Terintegrasi Indonesia (PREDIGTI).Bagi Saptadji, hidup adalah tentang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. "Sebagai seorang dokter, saya tidak boleh egois. Saya harus memberikan sesuatu kepada masyarakat sesuai dengan latar belakang keilmuan dan pengalaman yang saya miliki. Saya banyak bergerak melalui organisasi profesi dan kemasyarakatan yang saya geluti," kata alumni Fakultas Kedokteran UKI, Jakarta (1981).Apakah tidak lelah mengikuti begitu banyak organisasi profesi?"Capeknya hanya saat ada kegiatan. Kita harus pandai-pandai membagi waktu, kapan harus beraktivitas dan kapan harus beristirahat," ujar dokter yang gemar berjalan kaki dan bermain bowling ini. Pentingnya Pertolongan PertamaPertolongan pertama pada kecelakaan kata Mohamad Saptadji amat menentukan, karena itu semua orang dari segala rentang usia harus belajar cara melakukan pertolongan pertama. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Pertolongan pertama pada kecelakaan sangatlah penting. Karena itu, Mohamad Saptadji menegaskan bahwa setiap orang seharusnya mengetahui cara memberikan pertolongan ketika keluarga, kolega, atau teman mengalami kecelakaan."Kami di Komunitas Relawan Emergensi Kesehatan Indonesia (KREKI) memberikan pelatihan kepada orang awam tentang cara menangani keadaan darurat di depan mata. Apa saja yang harus dilakukan," katanya.Ia juga menyarankan agar para wartawan mempelajari pertolongan pertama."Wartawan juga harus belajar agar bisa memberikan bantuan ketika dibutuhkan. Di menit-menit pertama, kita harus mampu memberikan bantuan hidup dasar. Setelah itu terpenuhi, penanganan selanjutnya bisa diserahkan kepada fasilitas kesehatan terdekat," terangnya.Menurut Saptadji, di sekitar kita sering terjadi kejadian yang memerlukan penanganan cepat dan tepat. "Misalnya, jika ada seseorang tersedak, bagaimana caranya agar saluran pernapasannya bisa terbuka dalam waktu singkat dengan cara yang benar? Kami memberikan pelatihan ini kepada orang awam," lanjut dokter yang pernah bertugas di sejumlah rumah sakit di Jakarta.Satu hal yang selalu ia tekankan adalah cara menangani korban kecelakaan kendaraan bermotor. "Jangan langsung mengangkat korban kecelakaan karena berisiko menyebabkan kecacatan. Itu yang kami ajarkan. Sedapat mungkin, jika kita tidak bisa membantu, minimal kita tidak membuat keadaan semakin parah," sarannya. Informasi Kesehatan di Media SosialMenurut Ketua PDMI Mohamad Saptadji banyak informasi kesehatan yang beredar di media sosial, cemati dan cek sebelum mengaplikasikan, karena belum tentu yang disampaikan itu benar. (Foto: Bambang Eros – VOI, DI: Raga Granada – VOI)Untuk penderita stroke, ada kurun waktu yang harus dimanfaatkan agar pasien bisa ditolong dengan baik. "Untuk kasus stroke, dalam waktu minimal 4,5 jam pasien harus sudah sampai di rumah sakit dan telah terdiagnosis dengan jelas. Pasien yang mengalami serangan jantung juga harus segera mendapatkan pertolongan medis," jelasnya.Saat ini, banyak informasi kesehatan beredar di media sosial. "Itulah tugas kami di organisasi untuk terus mengedukasi masyarakat, karena tidak semua informasi yang beredar di media sosial itu benar. Harus dicek terlebih dahulu ke petugas medis terdekat sebelum mengikuti informasi tersebut," tegas Saptadji.Menurutnya, setiap orang dari segala usia harus belajar pertolongan pertama."Jika seseorang bisa diberikan pertolongan dengan cepat, ini akan memudahkan tenaga medis dalam memberikan pelayanan kesehatan. Itu berarti harapan untuk selamat semakin besar," katanya.Ia juga senang melihat banyak koleganya yang kini menjadi influencer di bidang kesehatan. "Ketika seorang dokter menyampaikan informasi kesehatan dengan cara sederhana dan mudah dipahami, masyarakat lebih cepat menerimanya. Ini sangat membantu," ujar Mohamad Saptadji .