Kontradiksi Narasi Efisiensi: Sebuah Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Prabowo

Wait 5 sec.

Presiden yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menghadiri perayaan HUT Ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak AGerakan efisiensi Presiden Prabowo sebenarnya meniru kebijakan refocusing anggaran di masa pandemi COVID-19. Prinsipnya peninjauan ulang dan pengalihan alokasi anggaran dari kegiatan yang dianggap kurang prioritas ke program-program mendesak dan relevan saat ini. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada situasi dan orientasi kepentingan. Bila refocusing masa COVID-19 lebih diorientasikan pada kepentingan penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi nasional, efisiensi kali ini diperuntukkan pada kepentingan pembiayaan program strategis unggulan yang dijanjikan saat kampanye. Kemuliaan tujuannya mungkin dapat dikatakan sama karena demi kepentingan masyarakat. Namun mengapa reaksi penerimaan masyarakat berbeda antara soal refocusing COVID-19 dan efisiensi saat ini? Mengapa kebijakan efisiensi ini menuai polemik dan memunculkan kegaduhan-kegaduhan seperti yang ramai soal kelangkaan gas LPG, rencana kenaikan UKT, #KaburAjaDulu, peringatan darurat Indonesia gelap, hingga sindiran lucu di media sosial. Bahkan, gerakan efisiensi untuk kepentingan rakyat ini pun memicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir. Demonstrasi ini, menurut penilaian Ray Rangkuti dalam pemberitaan Tribunnews, adalah sebuah rekor di mana presiden yang dipilih secara langsung langsung didemo mahasiswa dalam masa 100 hari kerjanya. Inilah fenomena yang perlu diungkap secara komprehensif.Narasi VS TindakanVisualisasi narasi vs tindakan. Gambar diambil dari sumber Shutterstock Awalnya publik antusias dengan narasi bocor-bocor saat kampanye soal desain program strategis seperti memberi makan bergizi gratis (MBG), pemeriksaan kesehatan gratis serta rencana renovasi sekolah dan membangun lebih banyak rumah sakit. Program-program itu bagaikan obat mujarab atas masalah pengelolaan anggaran yang tidak tepat sasaran dan menguap begitu saja untuk segelintir orang. Oleh karenanya, gerakan penghematan anggaran diterima sebagai langkah konsolidasi spektakuler.Mayoritas publik puas dengan langkah ambisius yang tampak menguntungkan tersebut bagi kepentingan realisasi seluruh program strategis. Ini terbukti dengan hasil survei Litbang Kompas yang dirilis Senin (20/1) lalu, yang menyebutkan tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden di atas 80% (tepatnya 80,9%). Tentu capaian ini masih dini karena baru 100 hari kerja, tetapi positif bagi perjalanan sebuah rezim baru yang sangat membutuhkan dukungan publik dan dukungan politik para elite di parlemen.Namun, belakangan ini kontradiksi meluas dalam berbagai forum diskusi publik, dan menjadi headline di aneka pemberitaan media masa cetak dan elektronik. Bahkan menjadi trending topic di berbagai platform media sosial. Berbagai polemik mencuat atas narasi penghematan demi program andalan itu. Bahasan yang menggema keras mengatakan efisiensi itu mengorbankan kepentingan strategis lain yang diprediksi akan membebani hidup masyarakat. Sejumlah pihak menaksir pengalihan anggaran besar-besaran demi program unggulan tertentu, akan berdampak negatif terhadap pelayanan publik. Apalagi ini diikuti dengan kebijakan strategis sektoral yang ditengarai mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.Visualisasi kontroversi. Gambar diambil dari sumber Shutterstock.Akibat kontroversi efisiensi itu, muncul aneka penilaian terhadap rezim baru ini. Kelompok masyarakat sipil-madani dan akademisi mulai membanjiri kritik atas narasi penghematan dengan membandingkan perilaku para pejabat. Mereka yang selama ini netral dan pasif mulai bergerak dengan ikut mengalirkan penilaian inkonsistensi terhadap rezim ini. Kekesalan tak terbendung pun terjadi lantaran perbedaan narasi dan perilaku pemerintah yang dikhawatirkan semakin memberatkan kondisi masyarakat. Berikut perbedaan narasi yang saya rangkum untuk mengingatkan kembali pikiran kalian:Pertama, narasi keberlanjutan. Publik menilai pemerintah dilema terhadap program strategis dari dua rezim,yakni Program Jokowi dan Program Prabowo. Bicara keberlanjutan, namun anggaran yang tersedia sangat terbatas. Oleh karenanya, pilihan efisiensi terpaksa dilakukan demi melanjutkan program strategis lama dan merealisasikan program strategis baru.Kedua, narasi efisiensi diuji dengan kabinet gemuk. Ini yang tampak mengganggu rasionalitas publik. Terutama penggunaan dalih tentang negara kita besar sehingga butuh tim yang besar. Jelas, ini kontradiktif ketika ada efisiensi tetapi di saat bersamaan struktur organisasi pemerintah justru diperluas. Padahal secara konseptual manajemen dan organisasi, agar efisiensi terwujud, solusi yang ditawarkan sebagai langkah pertamanya adalah dengan merampingkan struktur. Lantas, dengan struktur kabinet yang gemuk, di mana efisiensinya?Ketiga, narasi efisiensi berpotensi mengancam pembangunan daerah dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Ini mempersoalkan kehendak penghematan Presiden Prabowo yang harus sampai di level daerah. Seolah lupa bahwa kebijakan desentralisasi itu hakikatnya mewujudkan efisiensi pengelolaan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Seharusnya efisiensi dilakukan di level pemerintah pusat, sementara di level pemerintah daerah dilimpahkan anggaran yang memadai agar dapat akselerasi pembangunan lokal sehingga mampu menggerakkan ekonomi wilayah, bukan sebaliknya.Di luar ketiga hal yang saya sebutkan itu, tentu masih banyak kontradiksi yang diparodikan masyarakat gegara kebijakan efisiensi anggaran Presiden Kedepalan Indonesia ini. Semisalnya yang lain, ada satire anak makan bergizi gratis, namun orang tuanya kelaparan karena di-PHK karena efisiensi; Pejabat bertambah gemuk, rakyat bertambah ramping dan lain sebagainya. Alhasil berbagai kalangan berlomba-lomba mengekspresikan penilaian mereka masing-masing atas kontradiksi gaya kepemimpinan Presiden Prabowo.Persepsi Kepemimpinan PrabowoVisualisasi perbedaan persepsi. Gambar diambil dari sumber Shutterstock.Dari berbagai kontradiksi ini tentang kepemimpinan Prabowo kini dan ke depan, terdapat dua persepsi umum yang dapat diulas. Ini terefleksi dari gagasan David Hume (1711-1776), seorang filsuf asal Inggris yang hidup di zaman pencerahan dan menonjol sebagai seorang empirisis penting. Pemikirannya menetapkan bahwa setiap persepsi selalu berangkat dari hal yang saling terkait, yakni kesan dan gagasan. Kesan digunakan untuk pengindraan langsung atas realitas, sedangkan gagasan merupakan ingatan akan kesan. Kesan merupakan penyebab langsung dari gagasan yang tersimpan dalam pikiran. Dari gagasan Hume di atas, tulisan ini dapat mengidentifikasi persepsi umum terhadap kepemimpinan Prabowo dalam beberapa poin, sebagai berikut:Pertama, ada bayang-bayang Jokowi, sehingga pilihan gaya lebih akomodatif dan kompromistis. Ini kemudian mengingatkan bahwa Prabowo sulit menemukan ritme sendiri dalam kepemimpinan pemerintahan.Kedua, ada dua kepentingan besar yang harus disukseskan, yakni keberlanjutan untuk program strategis rezim Jokowi dan untuk program strategis rezim Prabowo. Mau tak mau, pilihan kabinet yang gemuk dengan komposisi sebagian kursi diisi orang dekat Jokowi terjadi, kendati kompetensi dan moralitas pilihan diragukan publik.Ketiga, anggaran terbatas, sementara program strategis melimpah. Pilihan tindakan adalah mengumpulkan anggaran sesegera mungkin. Akhirnya efisiensi anggaran menjadi opsi realistis demi menjalankan semua program.Keempat, euforia kekuasaan pemerintahan mutlak di tangan Presiden sehingga memaksakan seluruh penyelenggaraan pemerintahan tersentralisasi di pusat dan lupa ada entitas pemerintahan daerah. Akibatnya, kabinet diperkuat, parlemen dikuasai koalisi pendukung pemerintah, mayoritas kepala daerah berasal dari koalisi pendukung pemerintah dan rencana koalisi permanen dari pusat sampai daerah.Kelima, ada kebutuhan stabilitas politik untuk kenyamanan penyelenggaraan pemerintahan. Lantas, tindakan strategisnya adalah mengajak kelompok masyarakat madani, kelompok pro-demokrasi masuk dalam lingkaran kekuasaan. Alhasil suara sebagian pengkritik berubah menjadi nada dan irama pujian, sehingga terjebak dalam watak Competitive Authoritarianism. Inilah gambaran singkat watak pemerintahan sekarang. Tentu, ini masih awal dalam rezim saat ini sehingga hal yang dipersepsikan kontradiktif dapat diterima dan menjadi bahan perbaikan pemerintah. Akan tetapi, dengan kondisi anggaran yang terbatas, pemerintah perlu mengkalkulasi dan mengevaluasi program unggulan agar fokus dan dapat terealisasi dengan baik. Yang jelas, harapan dan dukungan tetap ada dari masyarakat, asalkan pemerintahnya tidak tutup kuping terhadap teriakan rakyat tentang mereka yang di istana tengah bermanis-manis di mulut, namun pahit dalam tindakannya.