Ahli Pidana dan Jaksa Beberkan soal Temuan Baru dan Daur Ulang di Sidang Hasto

Wait 5 sec.

Arsip. Staf Kesekretariatan DPP PDIP, Kusnadi jasi saksi dalam sidang dugaan suap PAW DPR RI dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Kamis 8 Mei. (Rizky A-VOI)JAKARTA - Ahli hukum sekaligus dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menjelaskan mengenai konteks temuan baru dalam suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Penjelasan itu disampaikan Fatah saat memberikan pendapatnya dalam persidangan kasus dugaan suap pergantian Antar-Waktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto. Bermula saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertanyakan mengenai temuan adanya dugaan keterlibatan pihak baru dalam perkara yang sudah selesai disidangkan atau inkrah. "Jadi kita misalkan ada 4 pelaku tindak pidana suap, pemberi dan penerima yang sudah disidangkan di pengadilan dan putusannya sudah inkrah. Nah dalam prosesnya, dalam proses perkembangan penyidikan, ditemukan fakta baru sehingga ternyata ditemukan ada tersangka baru," tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 5 Juni. "Jadi ada fakta hukum baru yang ditemukan oleh penyidik yang belum terungkap pada saat di persidangan perkara yang terdahulu. Nah dalam konteks hukum pidana, apakah hal ini dimungkinkan gitu?" imbuhnya. Menjawab pertanyaan tersebut, Fatah menyebit pemeriksaan perkara pidana dapat berdiri sendiri. Sehingga, dalam prosesnya dimungkinkan ditemukan fakta baru pada pengembangan perkara. "Jadi ketika ditemukan fakta-fakta baru dan lain sebagainya, maka pemeriksaan itu bisa dilakukan kembali untuk orang yang belum pernah diproses, karena kalau misalnya dia sudah pernah diproses nanti kan kita bicara pasal nebis in idem," ucap Fatah. Kemudian, dikatakan perihal itu bisa dilakukan bila ditemukan alat bukti yang dapat menghubungan keterlibatan pihak baru tersebut dengan kasus yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. "Tapi sepanjang orang tersebut belum pernah, dan ditemukan fakta untuk menghubungkan orang tersebut dengan proses yang sudah diputus di persidangan itu nanti diserahkan kepada majelis hakim yang berwenang untuk menilai, apakah pemeriksaan alat bukti tadi, karena pemeriksaan alat bukti dalam konteks ini pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli dan selanjutnya itu melekat kepada proses pemeriksaan sidang yang berjalan tadi," sebutnya.. Jaksa kemudian turut meminta pendapat Fatah mengenai daur ulang perkara yang sudah diputus. Khususnya, soal saksi yang sama dalam sidang pembuktian kasus baru dapat dikatakan sebuah proses daur ulang pengadilan. "Kita tentunya dalam proses persidangan terkait dengan tersangka baru yang menjadi terdakwa dalam perkara yang sama. Tentu kan akan mempunyai kewajiban bagi kami untuk menghadirkan alat bukti yang sama juga, kan seperti itu. Keterangan saksi, alat bukti petunjuk, surat, seperti itu. Apakah persidangan itu bisa dikatakan seperti daur ulang gitu dalam tanda kutip?" tanya jaksa KPK. Fatah pun memberikan pendapatnya. Dia menganalogikan tiga orang yang dijerat pidana tetap harus diproses hukum meski persidangan salah satu pelaku sudah lebih dulu inkrah. "Ketika ada 3 orang melakukan perbuatan pidana yang sama maka untuk ketiga orang tersebut ketika di split pun, alat bukti, saksi, dan lain sebagainya, dapat diterapkan, digunakan yang sama terhadap ketiga-tiganya. Hanya perbedaan saja ketika ada waktu yang berbeda. Misalkan satunya sudah inkrah atau tidak, itu kan, yang kemudian, itu kan tetap kemudian akan diproses hukum," ujarnya. Fatah kemudian mencontohkan perbuatan pidana dengan pelaku anak dan satu orang pelaku dewasa. Proses hukum pelaku dewasa harus tetap lanjut meski putusan terhadap pelaku anak sudah lebih dulu diputus karena adanya batasan waktu penahanan. "Saya ada contoh ini selalu saya sampaikan di kelas juga, sebagai contoh misalkan ada orang dewasa melakukan spitting dengan anak. Dia melakukan penyertaan dengan anak, dua-duanya ditahan, sedangkan anak ada batas waktu penahanan. Ketika anak ada batas waktu penahanan, mau nggak mau dia sidang akan lebih duluan, padahal bisa jadi anak tersebut bukan pelaku utamanya," kata Fatah. "Dia sidang lebih duluan, putusannya inkrah lebih dulu daripada putusan pelaku dewasanya yang utama karena dia punya batas waktu penahanan yang lebih lama. Tapi tidak mengikat putusan anak tadi, tetap pelaku utama tadi tetap harus diperiksa secara obyektif di dalam proses pemeriksaan sidang di pengadilan," sambungnya. Dalam perkara dugaan suap, Hasto didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019-2020. Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.  Selain itu, Hasto turut didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK. Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.