Ilustrasi - Warga memeriksa meteran listrik di Rusunawa Puday, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (27/5/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/Spt.JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam prihatin atas keputusan Pemerintah yang membatalkan rencana pemberian diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk periode Juni–Juli 2025 bagi pelanggan rumah tangga kecil di bawah 1.300 VA. Mufti Anam menilai alasan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang membatalkan pemberian diskon lantaran ada keterlambatan dalam proses penganggaran, semakin menunjukkan pemerintah hanya memberi harapan palsu kepada masyarakat."Hari ini rakyat lagi-lagi dibuat kecewa. Setelah sebelumnya Pemerintah melalui Menko Perekonomian menjanjikan akan memberikan diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan rumah tangga kecil di bawah 1.300 VA, kini janji itu dibatalkan sepihak oleh Menteri Keuangan," ujar Mufti Anam, Kamis, 5 Juni. "Ini bukan hanya soal teknis anggaran, ini soal moral publik, rakyat merasa benar-benar di-prank," sambungnya.Seperti diberitakan, awalnya Pemerintah berencana untuk memberikan insentif diskon tarif listrik sebesar 50 persen kepada sekitar 79,3 Juta Rumah Tangga (Pelanggan ≤1300 VA). Pemberlakuan diskon listrik yang skemanya sama dengan program diskon listrik pada Januari-Februari 2025 lalu ini sedianya dimulai pada awal Juni 2025 sampai dengan akhir Juli 2025 , yaitu pada 5 Juni sampai dengan 31 Juli 2025.Belakangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membatalkan kebijakan pemberian diskon tarif listrik tersebut. Sri Mulyani beralasan, diskon listrik ini tak bisa dijalankan lantaran proses penganggarannya jauh lebih lambat."Sudah diumumkan, sudah ramai di media, rakyat sudah senang, berharap sedikit lebih ringan hidupnya. Tiba-tiba dibatalkan begitu saja dengan alasan fiskal? Ini bukan manajemen negara yang empatik, ini pencabutan harapan rakyat secara massal," tegas Mufti Anam.Lebih menyakitkan lagi, lanjut Mufti, kebijakan ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, pemerintah juga memberlakukan diskon tarif listrik pada periode Januari-Februari 2025 lalu. Namun, masyarakat justru terkejut dengan tagihan listrik yang melonjak di bulan berikutnya. Mufti sempat menyoroti hal tersebut."Masyarakat merasa tarif listrik diam-diam dinaikkan 30–50 persen, lalu setelah kami tanyakan di rapat kerja bersama PLN minggu lalu, dijustifikasi seolah-olah karena konsumsi Lebaran. Tapi sampai hari ini setelah Lebaran, masyarakat merasa tagihan tetap tinggi. Lalu sekarang, janji diskon pun dibatalkan," jelasnya.Menurut Mufti Anam, pembatalan sepihak diskon listrik ini adalah tamparan terhadap semangat Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. "Padahal Presiden sudah memiliki semangat yang baik untuk mengurangi beban rakyat lewat berbagai program-program insentif bagi masyarakat,” sebut Mufti.“Tapi arahan presiden justru tidak diindahkan oleh menterinya yang membatalkan diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan rumah tangga kecil di bawah 1.300 VA," lanjut dia.Mufti pun menilai, kebijakan pembatalan diskon listrik ini tidak mencerminkan keadilan sosial dan keberpihakan terhadap wong cilik. Apalagi situasi ekonomi saat ini sedang sulit, khususnya masyarakat kelas menengah dan bawah.“Kebijakan diskon listrik tak hanya membantu masyarakat kelas bawah, tapi juga kelompok kelas menengah kategori bawah yang saat ini tengah mengalami tantangan ekonomi, namun jarang sekali mendapat perhatian dari Pemerintah,” kata Mufti.Belum lagi saat ini juga marak pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana tak sedikit pula kelas menengah bawah yang ikut terdampak. Maka langkah Pemerintah yang berganti-ganti stimulus dinilai Mufti mematahkan harapan masyarakat.“Kebijakan ini tidak mencerminkan keadilan sosial dan keberpihakan terhadap wong cilik. Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian, telah gagal menjaga konsistensi kebijakan pro-rakyat,” tuturnya."Wajar jika kemudian publik bertanya-tanya bagaimana komitmen Pemerintah sebetulnya, kenapa tarik-ulur untuk membantu mengurangi beban rakyat?” tambahnya.Mufti menggarisbawahi bagaimana setiap kebijakan pro-rakyat seharusnya dirancang dengan perhitungan yang matang, termasuk kesiapan anggaran dan pelaksanaan teknisnya. Karena ketika janji atau program tidak terealisasi, yang paling terdampak adalah rakyat kecil yang menggantungkan harapan mereka pada bantuan Pemerintah."Seharusnya jika memang belum firm, Pemerintah tidak perlu membuat janji-janji manis buat rakyat. Jangan buat janji manis lalu dibatalkan dan memupus semangat rakyat,” ungkap Mufti.Mufti pun mengingatkan pemerintah agar jangan menjadikan rakyat sebagai bahan uji coba kebijakan populis. Menurutnya, Pemerintah jangan dulu mengumumkan ke publik jika kebijakan yang direncanakan memang belum disepakati secara fiskal."Negara ini bukan ruang eksperimen politik komunikasi. Rakyat bukan konten viral untuk dibikin senang lalu kecewa. Pemerintah jangan PHP (pemberi harapan palsu, red) rakyat," kata Mufti.Sebagai ganti batalnya program diskon listrik, Pemerintah kemudian mengalokasikan anggaran ke dalam skema Bantuan Subsidi Upah (BSU). BSU ini akan diberikan kepada 17,3 juta pekerja dengan gaji kurang dari Rp 3,5 juta dan 288.000 guru honorer dengan total anggaran Rp 10,72 triliun.Adapun penerima BSU masing-masing akan mendapat bantuan sebesar Rp 300.000 per bulan pada Juni dan Juli 2025 atau dengan total Rp600.000. Meski begitu, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk masyarakat mendapatkan bantuan ini, termasuk memiliki BPJS Ketenagakerjaan.Menurut Mufti, kebijakan ini belum tentu efisien mengingat banyak pekerja dengan penghasilan kecil yang tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan karena beberapa alasan.“Pekerja di perusahaan kecil banyak yang tidak didaftarkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Belum tentu mereka juga memiliki slip gaji yang bisa membuktikan penghasilan mereka kurang dari Rp 3,5 juta. Untuk mendapat bantuan saja, birokrasi bikin sulit rakyat,” ucapnya.Karena itu, Mufti lebih sepakat jika bantuan bagi masyarakat diberikan melalui potongan tarif listik. Sebab cakupannya akan jauh lebih luas dalam membantu masyarakat dan minim sistem birokrasi.“Diskon tarif listrik sejatinya menyasar langsung kebutuhan dasar masyarakat, khususnya kelompok menengah bawah yang saat ini sedang menghadapi tekanan ekonomi,” terang Mufti.Ketika kebijakan ini dibatalkan dan dialihkan menjadi subsidi upah, kata Mufti, muncul kekhawatiran sebagian besar masyarakat yang justru membutuhkan tidak akan mendapatkan manfaat sepadan.“Karena banyak warga yang bekerja di sektor informal, buruh harian, atau tidak memiliki penghasilan tetap, sehingga tidak secara otomatis masuk dalam cakupan penerima subsidi upah. Sementara kalau diskon tarif listrik, mereka akan ikut menerima manfaat program bantuan,” pungkasnya.