Kepala Pusat Krisis Kemenkes, Budi Sylvana menghadiri dialog bersama Menlu RI dan Tim Evakuasi WNI dari Wuhan di Kemenlu RI. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanMantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Budi Sylvana, divonis 3 tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19. Pengadaan tersebut bersumber dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2020.Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Syofia Marlianti, menyatakan Budi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang merugikan negara hingga Rp 319,6 miliar."Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun," ucap Hakim Syofia saat membacakan amar putusannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6).Selain pidana badan, Budi juga dihukum pidana denda sebesar Rp 100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.Vonis tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Sebelumnya, Budi dituntut pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider kurungan 3 bulan.Atas perbuatannya, Budi dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Ilustrasi KPK. Foto: Hedi/kumparanMajelis Hakim juga membacakan vonis untuk dua terdakwa lainnya. Mereka adalah Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.Dalam kasus itu, Satrio divonis pidana 11,5 tahun penjara. Selain itu, ia juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Tak hanya itu, Satrio juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 59,9 miliar subsider 3 tahun penjara.Sementara itu, untuk Ahmad Taufik, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Ia juga dikenakan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 224,1 miliar subsider 4 tahun penjara.Majelis Hakim menyatakan Satrio dan Ahmad Taufik terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap merawat pasien di rumah sakit darurat penyakit virus corona (COVID-19), di Jakarta, Indonesia, 17 Juni 2021. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/ReutersDalam kasus tersebut, ketiga terdakwa diduga merugikan negara mencapai Rp 319,6 miliar. Ketiganya didakwa turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum berupa negosiasi harga APD sejumlah 170 ribu pasang seluruhnya tanpa menggunakan surat pesanan.Kemudian, para terdakwa juga melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak lima juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp 10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran.Lalu, ketiga terdakwa juga disebut ikut serta menerima pembayaran terhadap 1,01 juta set APD merek BOHO senilai Rp 711,2 miliar untuk PT PPM dan PT EKI.Padahal, kata jaksa, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah serta tidak memiliki izin penyalur alat kesehatan (IPAK).Tak hanya itu, jaksa juga mengatakan PT EKI dan PT PPM tidak menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada kesepakatan negosiasi APD.Hal itu melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan.