Ilustrasi UU Pemilu yang harus segera direvisi setelah Putusan MK memisahkan pemilu nasional dan daerah. (dok KPU)JAKARTA – Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati meminta DPR segera melakukan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu untuk mengantisipasi berbagai persoalan teknis setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).Sebelumnya, MK dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, serta presiden dan wakil presiden. Adapun pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah.Melalui putusan tersebut, MK juga memberikan opsi agar jeda waktu dari pemilu nasional dan daerah didesain kisaran 2 hingga 2,5 tahun. Dengan demikian, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah yang semula akan digelar pada 2029 kemungkinan akan mundur menjadi 2031.Putusan itu akan menimbulkan beragam persoalan teknis. Salah satunya adalah terkait siapa yang mengisi jabatan kepala daerah atau anggota DPRD setelah tahun 2029. Khusus untuk DPRD, tidak mungkin pemerinta mengganti semua anggotanya dengan pelaksana tugas,” ujar Neni, Minggu 6 Juli 2025.“Memang dilematis. Satu-satunya solusi memang perlu adanya perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. DEEP juga mendorong DPR harus mencari cara paling tepat dalam menghadirkan pemilu nasional dan daerah,” sambungnya.Menurut dia, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 seharusnya menjadi rujukan revisi UU Pemilu agar bisa mengakomodir keberagaman kondisi sosial politik di berbagai daerah, menjamin keterwakilan kelompok marjinal, serta memastikan bahwa pemilu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan ruang pendidikan politik.“Pembahasan revisi UU harus dilakukan secara inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yakni penyelenggara pemilu, partai politik, masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan pemilih muda, serta komunitas adat dan disabilitas. Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis bukti, Indonesia dapat menghasilkan sistem pemilu yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermakna secara demokratis,” tutup Neni.