Ilustrasi skema gaji tunggal bisa membuat kinerja ASN menurun. (Ist)JAKARTA – Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti menilai skema penggajian tunggal atau single salary berpotensi membuat aparatur sipil negara (ASN) malas-malasan sekaligus menyuburkan fenomena “PGPS” alias “Pintar Goblok Pendapatan Sama”.“ASN di Indonesia terbiasa menerima pendapatan tambahan dari berbagai tunjangan berbasis kinerja. Kalau semuanya digabung jadi satu, bisa jadi ASN yang rajin dan aktif justru kehilangan semangat karena pendapatannya tidak lagi mencerminkan usaha. Ini yang disebut dengan PGPS. Artinya, baik rajin maupun malas, pendapatannya tetap sama,” terangnya, Minggu 6 Juli 2025.Sebelumnya, pemerintah berencana memberlakukan skema penggajian tunggal atau single salary untuk ASN pada 2025. Skema ini sudah diuji coba di sejumlah kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam skema ini, gaji pokok dan seluruh tunjangan ASN digabung menjadi satu paket hingga mencapai Rp11 juta per bulan.Menurut Esther, skema gaji tunggal juga berpotensi meningkatkan beban fiskal negara. Sebab, saat gaji ditetapkan dalam jumlah besar dan bersifat tetap, maka belanja pegawai sebagai komponen pengeluaran rutin pemerintah otomatis akan meningkat.“Artinya, apakah ASN itu bekerja atau tidak, pemerintah tetap mengeluarkan jumlah yang sama. Ke depan, pasti juga akan ada tuntutan kenaikan gaji seiring inflasi. Ini bisa memperberat tekanan fiskal,” imbuhnya.Dia menyarankan, bila skema gaji tunggal diterapkan, pemerintah sebaiknya menyiapkan key performance indicator atau KPI sebagai parameter yang jelas untuk mengukur kinerja ASN. Dengan demikian, jika KPI seorang ASN tidak tercapai, pemerintah harus memberikan sanksi tegas seperti penurunan golongan atau pengurangan hak.“Hal yang sama juga diterapkan di banyak negara maju. Gaji tinggi memang bisa membuat ASN lebih tenang tapi juga bisa menimbulkan pemborosan anggaran. Maka, solusinya kembali ke pengukuran kinerja. Kalau ASN menerima gaji besar, maka capaian kinerjanya juga harus jelas. Kalau tidak tercapai, ya, harus turun tingkat,” tutup Esther.