Deflasi Bukan Kabar Baik, Ekonom Ungkap jadi Alarm bagi Ekonomi

Wait 5 sec.

Ilustrasi (Foto: Dok. ANTARA)JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi menilai deflasi sebesar 0,37 persen pada Mei 2025 bukan sekadar penurunan harga biasa."Angka ini menyimpan pesan mendalam tentang lemahnya permintaan masyarakat. Meski inflasi tahunan masih tercatat 1,6 persen dan inflasi tahun berjalan berada di angka 1,19 persen, data ini menunjukkan konsumsi rumah tangga tidak bergerak agresif," jelasnya dalam keterangannya, Selasa, 3 Juni.Syafruddin menyampaikan, meski harga-harga menurun dan pasokan tetap stabil, masyarakat masih enggan untuk berbelanja.Hal ini menunjukkan adanya tekanan psikologis yang lebih besar dibanding dorongan harga murah."Konsumen diam bukan karena mereka tak butuh, melainkan karena mereka tak yakin. Mereka meragukan kestabilan pendapatan, khawatir kehilangan pekerjaan, dan merasa belum aman secara finansial. Dalam kondisi seperti ini, menurunnya harga tidak serta-merta menjadi pemicu konsumsi. Justru, deflasi menjadi cerminan ketidakpercayaan publik terhadap kondisi ekonomi saat ini," ujarnya.Dia menyampaikan, daya beli masyarakat tidak hanya ditentukan oleh besaran pendapatan, tetapi juga oleh ekspektasi terhadap masa depan.Selain itu, ia menambahkan, jika masyarakat merasa pendapatannya stabil atau bahkan meningkat, mereka akan lebih berani untuk belanja dan sebaliknya, jika mereka merasa masa depan tidak pasti, mereka akan memilih menyimpan uangnya."Inilah yang membuat deflasi menjadi sinyal yang harus ditafsirkan dengan cermat oleh pembuat kebijakan," tegasnya.Menurutnya, ketika konsumsi melemah, sektor produksi pun ikut terpengaruh dan produsen akan mengurangi output, menunda perekrutan tenaga kerja, dan menahan ekspansi."Akibatnya, ekonomi bergerak lebih lambat. Rantai ini saling berkaitan: konsumsi memicu produksi, produksi menciptakan pendapatan, pendapatan kembali mendorong konsumsi. Ketika salah satu terhenti, keseluruhan siklus melemah," jelasnya.Di sisi lain, Syafruddin menyampaikan pemerintah perlu mempercepat realisasi belanja negara, terutama yang berdampak langsung kepada masyarakat dan program bantuan sosial, subsidi energi, dan proyek padat karya harus dijalankan secara agresif.Dia bilang, setiap rupiah yang dibelanjakan di sektor riil akan menciptakan permintaan, membuka lapangan kerja, dan memperkuat daya beli, dengan cara ini, pemerintah dapat memutus mata rantai stagnasi yang dipicu oleh deflasi.Syafruddin menyampaikan, yang paling mendesak saat ini adalah membangun kembali kepercayaan publik sehingga Pemerintah dan otoritas moneter perlu menyampaikan arah kebijakan secara jelas dan konsisten."Publik perlu diyakinkan bahwa negara hadir dan tanggap terhadap kondisi yang ada. Kepercayaan itulah yang akan menjadi bahan bakar utama untuk memulihkan konsumsi dan investasi," ucapnya.Deflasi bukanlah tanda keberhasilan dalam menekan harga, melainkan alarm tentang melemahnya aktivitas ekonomi.Menurut dia, ini adalah pesan bahwa mesin konsumsi sedang berhenti bekerja dan masyarakat memilih untuk menunggu."Dalam kondisi ini, diamnya konsumen lebih berisik daripada suara inflasi. Pemerintah dan pelaku usaha harus bersama-sama menjawab pesan ini dengan tindakan nyata dan terukur," ujarnya.Syafruddin menyampaikan Pemerintah harus menggerakkan belanja, memperkuat jaring pengaman sosial, dan membangun kembali kepercayaan publik, jika pesan ini diabaikan, kita berisiko masuk ke dalam fase stagnasi yang lebih dalam."Bila pesan ini dibaca dengan cermat dan ditanggapi dengan cepat, maka deflasi bisa menjadi momentum untuk mengarahkan ekonomi ke jalur pemulihan. Saatnya bertindak," pungkasnya.