Beragama dengan Prinsip Maslahat untuk Kehidupan Sosial yang Harmonis

Wait 5 sec.

Ketua Dewan Syura ABI, Ustadz Husein Shahab, M.A., dalam paparannya bertajuk “Ajaran dan Nilai Beragama Maslahat serta Relevansinya dalam Kehidupan Sosial yang Majemuk”, menegaskan pentingnya memahami Islam sebagai agama yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia, baik secara individu maupun kolektif. Beliau menyebut bahwa perspektif ini sangat penting dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia.Diskusi ini juga menghadirkan Wahyuddin Halim, Ph.D., dosen Studi Agama di UIN Alauddin Makassar, yang menyampaikan materi berjudul “Beragama Maslahat: Taat Ritual, Saleh Sosial.” Sementara itu, Dr. KH. Abdul Jamil Wahab dari Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN, memaparkan temuannya dalam presentasi bertajuk “Indeks Kesalehan Sosial: Mengungkap Fakta Beragama Maslahat di Indonesia.”Islam sebagai Agama KemaslahatanDalam pemaparannya, Ustadz Husein menjelaskan bahwa misi utama Islam adalah membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana tercantum dalam surah Al-Ahzab ayat 43 dan surah Ibrahim. “Agama bukan hanya untuk akhirat, tapi juga untuk mewujudkan kehidupan dunia yang lebih baik,” ujarnya.Beliau mengutip surah An-Nahl ayat 97 yang menjanjikan ‘hayatan thayyibatan’, kehidupan yang baik bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Selain itu, surah Al-Jumu’ah ayat 2 menekankan pentingnya literasi dan kebijaksanaan, sementara surah Al-Anbiya ayat 107 menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).“Ini menunjukkan bahwa agama harus menghadirkan manfaat nyata, tidak hanya untuk umat Islam, tetapi bagi seluruh masyarakat,” tegasnya.Tantangan dalam Masyarakat MajemukMenanggapi konteks sosial Indonesia yang plural, Ustadz Husein menekankan perlunya pendekatan keagamaan yang inklusif. Dengan mengutip surah Al-Hujurat ayat 13, Ustadz Husein menyatakan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaannya, bukan oleh latar belakang etnis atau suku.Menurutnya, perbedaan antara khitab syariat individual dan kolektif perlu lebih dipahami. “Diskursus Fikih selama ini lebih banyak membahas aspek ibadah personal, sementara aspek sosial seperti hak asasi manusia, keadilan, lingkungan, dan pluralisme masih kurang diperhatikan,” jelasnya.Maqasid Syariah dan Tantangan KontemporerDalam menghadapi dinamika zaman, Ustadz Husein menyoroti pentingnya pendekatan Maqasid Syariah (tujuan syariat) dan Maslahat Mursalah (kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks agama). Beliau merujuk pada pandangan Imam Al-Syatibi yang menyatakan bahwa syariat bertujuan untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.Sebagai contoh, Ustadz Husein menyebutkan vaksinasi dan wajib belajar sebagai bentuk implementasi maslahat kontemporer. “Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran atau hadis, keduanya penting demi kemaslahatan umat,” katanya.Kaidah Fikih sebagai Panduan SosialUstadz Husein juga memaparkan sejumlah Kaidah Fikih (Ushul Fiqh) yang dapat dijadikan dasar dalam menerapkan prinsip maslahat dalam kehidupan sosial, antara lain:* La darar wa la dirar (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain)* Daf’ul mafsadah muqaddam ‘ala jalbil mashlahah (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat)* Al-mantiqah al-faragh (pengelolaan kekayaan negara untuk kemaslahatan rakyat)“Kaidah-kaidah ini seharusnya digali lebih dalam agar agama tidak hanya menjadi ritual, tetapi solusi bagi problem sosial,” tambahnya.Menuju Keagamaan yang Relevan dan SolutifMeski nilai-nilai Islam menjunjung tinggi kemaslahatan, Ustadz Husein mengakui adanya tantangan berupa perbedaan penafsiran dan kepentingan. Beliau menekankan perlunya reinterpretasi teks-teks agama yang bersifat kolektif, seperti surah Al-Anfal ayat 60 yang berbicara tentang kemandirian bangsa.Beliau juga menyerukan kolaborasi antarulama, ilmuwan sosial, dan akademisi dalam merumuskan kebijakan keagamaan yang relevan. “Kita butuh kiai yang bukan hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga memahami realitas sosial yang terus berubah,” ujarnya.Sebagai penutup, diskusi ini menegaskan bahwa prinsip maslahat harus menjadi fondasi utama dalam praktik beragama, terutama di tengah keragaman masyarakat Indonesia. Dengan pendekatan yang inklusif dan berbasis solusi, Islam dapat menjadi kekuatan pendorong bagi terciptanya kehidupan sosial yang harmonis dan berkeadilan.“Agama adalah rahmat, bukan beban. Mari kita jadikan maslahat sebagai semangat utama dalam setiap langkah keberagamaan kita,” pungkas Ustadz Husein.Dengan berlangsungnya diskusi ini, diharapkan nilai-nilai maslahat dalam teks-teks agama tidak hanya berhenti pada tataran wacana, tetapi juga terimplementasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[IT/r]