Kisah Para Pembeli Emas Menanti Keberuntungan di Emperan Jalan Ciracas

Wait 5 sec.

Ujang (53), jasa beli logam mulia dan dolar di pinggir jalan sekitar pertigaan Mal Cijantung, Jaktim, Selasa (3/6/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparanDi tengah riuh lalu lintas Jalan Raya Bogor, Ciracas, empat stand berjajar sederhana di pinggir jalan sebelum Flyover Pasar Rebo, Jakarta Timur, tak jauh dari Mal Cijantung. Meja-meja persegi panjang itu dilengkapi bilik menyerupai kotak suara saat pemilu, bertuliskan “Beli Emas, Perak, Dolar, dan Sausa”. Pemiliknya berada di balik bilik itu.Tak ada teriakan promosi. Tak ada selebaran. Mereka hanya duduk diam, menunggu pengendara yang berhenti—entah karena mendesak kebutuhan, atau sekadar ingin menukar benda lama yang tak lagi terpakai.“Kadang-kadang ada [yang menjual], kadang-kadang enggak,” kata Beni, pria yang saat itu menjaga salah satu stand.Beni tak sedang berdagang untuk dirinya sendiri. Ia hanya membantu menjaga lapak milik temannya yang sedang melayat. Seperti banyak orang lain di lokasi itu, pekerjaan ini bagi Beni hanya sambilan. Hasilnya tak menentu—kadang dapat, kadang pulang dengan tangan kosong.Namun, ada juga yang telah lama hidup dari usaha ini. Seperti Zainal, atau akrab dipanggil Ujang (63), pria asal Sumatra Barat yang sudah mengenal dunia logam mulia sejak duduk di bangku SMP.“Dulu bantu-bantu toko emas orang tua di kampung,” katanya sambil tersenyum.Ujang (53), jasa beli logam mulia dan dolar di pinggir jalan sekitar pertigaan Mal Cijantung, Jaktim, Selasa (3/6/2025). Foto: Thomas Bosco/kumparanIa merantau ke Jakarta pada 1996, sempat mengolah emas menjadi perhiasan di kawasan Muara Angke, lalu mencoba membuka toko emas sendiri. Tapi usahanya bangkrut sekitar tahun 2015. Dari situlah ia diajak teman untuk menjajal usaha membeli emas secara informal di pinggir jalan.“Kalau ini doang, enggak makan anak. Di rumah ada warung. Pagi-pagi bantuin istri beli gas, belanja. Kelar ya ke sini. Suka-suka pokoknya,” ujarnya santai.Ujang tak berharap banyak. Dalam sehari, paling besar ia bisa membawa pulang Rp 200 ribu. Tapi dalam seminggu, bisa juga tak mendapat apa-apa.“Kadang ada orang jual anting yang hilang sebelah, cincin yang patah, ya dijual aja. Daripada disimpan,” tuturnya.Saat kumparan mewawancarainya, dua pemuda datang membawa satu anting untuk dijual.“Bantu teman titip jual,” ujar salah satu dari mereka.Ujang sigap bekerja. Ia mengeluarkan tiga alat kecil: kaca pembesar untuk melihat kode logam, batu asah, dan cairan nitrit. Emas asli, katanya, akan meninggalkan bekas abadi setelah digosok dan ditetes cairan.Anting itu ia beli Rp 130 ribu, dan berencana menjual kembali seharga Rp 170 ribu. "Untung Rp 40 ribu cukup," katanya. Ia bisa menjualnya ke pengepul yang lewat atau langsung ke pelebur logam.Namun, ada batas yang ia pasang sendiri. Emas batangan tanpa surat tak akan ia sentuh.“Saya tuh ngambil barang lihat-lihat orang. Tapi umpamanya ada 15 gram, nggak ada surat-suratnya. Saya enggak ambil, daripada saya masalah. Duitnya dapat tapi tidur enggak nyenyak,” katanya pelan.Adapun soal jual beli dolar, ia mengatakan transaksi paling sering terjadi saat money changer tutup, biasanya di tanggal merah atau akhir pekan.“Kalau hari Minggu itu sering itu. 10 dolar, 20 dolar,” katanya.Karena menawarkan jasa membeli, Ujang mengatakan ia harus selalu memegang uang tunai. Bila sedang tidak punya, ia akan meminjam dulu dari sesama pembeli lainnya. Nanti, komisinya akan dibagi sesuai kesepakatan.Di balik meja-meja pinggir jalan itu, tak ada lampu toko atau etalase mewah, hanya bilik seadanya dan kesabaran menanti kesempatan datang—dari emas patah, dolar sisa, atau anting yang tak lagi berpasangan.