Dari penahanan ijazah hingga diskriminasi usia: Sulitnya mengimplementasikan aturan ketenagakerjaan yang progresif

Wait 5 sec.

Ilustrasi dua perempuan sedang memegang ijazah. Oky Ivan/Shutterstock● Beberapa perusahaan di sejumlah daerah Indonesia masih melakukan praktik penahanan ijazah bagi karyawan barunya.● Belum ada aturan nasional yang mengatur penahanan ijazah, tapi beberapa peraturan daerah sudah melarang praktik ini, meskipun implementasinya belum cukup efektif.● Aturan ketenagakerjaan yang progresif di tingkat daerah perlu didorong menjadi kebijakan dengan skala nasional. Beberapa minggu yang lalu, sempat ramai berita tentang penahanan ijazah pekerja oleh sebuah perusahaan yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Praktik semacam ini jelas merugikan pekerja, tetapi tampaknya masih dianggap lumrah terjadi, salah satu alasannya adalah karena Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak memiliki pasal yang secara eksplisit melarang hal ini dilakukan oleh pemberi kerja. Yang menarik, Provinsi Jawa Timur justru memiliki peraturan daerah (Perda) yang secara tegas melarang penahanan ijazah. Pasal 42 Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha dilarang menahan atau menyimpan dokumen asli milik pekerja—seperti KTP, SIM, akta kelahiran, kartu keluarga, paspor, ijazah, hingga sertifikat—untuk alasan apapun, termasuk sebagai jaminan.Hal ini menunjukkan bahwa beberapa daerah memiliki aturan terkait ketenagakerjaan yang lebih progresif ketimbang aturan di tingkat nasional. Sayangnya, meskipun bagus di atas kertas, implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api. Deretan aturan daerah progresifTidak hanya aturan terkait larangan penahanan ijazah, Jawa Timur baru-baru ini juga memiliki kebijakan larangan diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan. Kebijakan berbentuk surat edaran yang dikeluarkan oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa ini melarang praktik diskriminasi dalam proses perekrutan tenaga kerja, isu krusial yang juga belum diatur secara eksplisit dalam regulasi nasional.Penulusuran yang dilakukan penulis menemukan bahwa sejumlah daerah di Indonesia memang memiliki aturan ketenagakerjaan yang lebih berpihak pada pekerja, dibandingkan dengan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku secara nasional. Bukan hanya perihal larangan penahanan ijazah dan diskriminasi usia, tetapi juga isu lain, seperti perlindungan pekerja rumah tangga dan pelatihan pekerja yang lebih inklusif. Peraturan Daerah tentang perlindungan rumah tangga bisa kita temukan misalnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang sejak 2010 memiliki Peraturan Gubernur tentang Pekerja Rumah Tangga. Aturan ini mengatur klasifikasi dan jenis pekerjaan perumahtanggaan, hingga hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerjanya.Kota Yogyakarta juga memiliki Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 48 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga yang mengatur hak dan kewajiban serta pengawasan hubungan kerja pekerja rumah tangga. Ilustrasi seorang laki-laki sedang mewawancarai karyawan baru. TimeImage Production/Shutterstock Sementara, di Kabupaten Malang, ada Peraturan Bupati Malang Nomor 4 Tahun 2018 yang mengatur soal peningkatan kompetensi perempuan pekerja rumah tangga. Aturan ini membuka peluang pelatihan kerja yang lebih inklusif terhadap pekerja rumah tangga.Jika dibandingkan dengan rancangan undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga yang sampai sekarang juga masih mandek di DPR, regulasi-regulasi di tingkat daerah ini jelas bisa dikatakan jauh lebih maju. Implementasi yang bermasalahNamun, adanya peraturan belum tentu menjamin perlindungan. Faktanya, kasus penahanan ijazah di Surabaya masih terjadi meski sudah dilarang. Pemerintah baru merespons ketika kasus tersebut viral di media sosial (medsos).Hal serupa terjadi dalam di Yogyakarta. Meski sudah ada peraturan daerah tentang perlindungan pekerja rumah tangga, kasus-kasus pelanggaran hak pekerja rumah tangga masih terjadi.Ini menunjukkan, keberadaan Pergub DIY dan Perwalkot Kota Yogyakarta tentang Pekerja Rumah Tangga tidak cukup mampu untuk melindungi pekerja rumah tangga yang berada di daerahnya.Masalah ini tidak lepas dari posisi peraturan daerah dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, di mana peraturan daerah berada di bawah undang-undang dan regulasi nasional lainnya.Dengan kata lain, kekuatan hukum Perda tidak sekuat undang-undang atau peraturan pemerintah. Selain itu, pengawas ketenagakerjaan, yang salah satu tugasnya adalah menegakkan aturan ketenagakerjaan, juga cenderung memprioritaskan penerapan aturan nasional. Akibatnya, regulasi daerah kerap luput dari pengawasan yang ketat. Perda progresif patut jadi rujukan nasionalDi luar keterbatasannya, keberadaan kebijakan ketenagakerjaan yang progresif di tingkat daerah tetap patut diapresiasi. Fenomena ini menunjukkan inisiatif daerah dalam menjawab isu-isu ketenagakerjaan di daerahnya.Namun, tanpa implementasi yang baik, peraturan daerah yang progresif ini tentunya hanya akan menjadi kebijakan populis yang tidak benar-benar memberi manfaat bagi perlindungan pekerja. Pemerintah pusat seharusnya bisa menangkap keberadaan kebijakan di tingkat daerah ini sebagai parameter untuk memetakan isu-isu ketenagakerjaan yang krusial dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat, lantas menjadikannya sebagai referensi untuk menyusun regulasi nasional. Seorang laki-laki pencari kerja sedang duduk sambil memegang map dan ponselnya. Mzynasx/Shutterstock Langkah awal sebenarnya sudah mulai terlihat. Bulan Mei ini, Kementerian Ketenagakerjaan akhirnya menerbitkan surat edaran tentang larangan penahanan ijazah.Kementerian Ketenagakerjaan juga baru saja mengeluarkan Surat Edaran tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja, yang salah satunya menyebut bahwa persyaratan usia dalam proses rekrutmen tenaga kerja hanya dapat dilakukan jika ada kepentingan khusus.Meskipun kedua kebijakan ini masih sebatas Surat Edaran yang tidak mengikat karena hanya bersifat himbauan, ini termasuk langkah maju yang perlu didukung bersama. Hal ini menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk mulai meregulasi isu-isu krusial ketenagakerjaan dengan lebih progresif di tingkat nasional. Momentum ini seharusnya dilanjutkan dengan membuat regulasi yang lebih kuat, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri ketenagakerjaan di tingkat nasional.Ke depannya, aturannya diharapkan tidak hanya mencakup larangan penahanan ijazah, namun juga isu lain, seperti larangan diskriminasi usia dalam lowongan pekerja, perlindungan pekerja rumah tangga, serta pelatihan ketenagakerjaan yang lebih inklusif. Dengan begitu, ibarat gayung bersambut, kebijakan ketenagakerjaaan yang progresif di tingkat daerah akan menjadi inspirasi yang bahkan bisa diadopsi dan diimplementasikan secara nasional.Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.