● Isu air bersih belum menjadi perhatian utama dalam pendidikan, media, dan kebijakan publik.● Pendidikan tentang air di Indonesia masih didominasi aspek teknis dan teoritis.● Krisis air menuntut pendekatan lintas sektor dan lintas kurikulum agar pengelolaan air lebih adil dan berkelanjutan.Air adalah kebutuhan pokok manusia, tapi sayangnya masih jarang menjadi topik serius dalam berbagai percakapan di ruang pendidikan, media, atau kebijakan publik.Kita lebih sering membicarakan soal minyak, listrik, atau internet, ketimbang krisis air bersih yang mengintai di banyak daerah.Di bangku sekolah, pembahasan soal air juga cenderung berhenti dalam bentuk rumus kimia (H₂O) atau siklus hidrologi—mengalir dari langit ke bumi dan kembali lagi. Kita jarang membahas persoalan air yang lebih dalam, seperti distribusi air minum yang belum merata, saluran drainase tersumbat sampah, hingga sungai yang berubah jadi tempat pembuangan limbah. Semua ini, salah satunya terjadi karena masih minimnya edukasi dan pemahaman masyarakat soal pengelolaan air.Bukan ilmu populerMasih sedikit sekolah atau kampus di Indonesia yang menjadikan isu air—baik mengenai sumber daya, tata kelola, atau sistem distribusi—sebagai topik utama dalam pendidikan. Program studi yang secara khusus membahas air, seperti Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air (ITB), Teknik Sumber Daya Air (UGM), Rekayasa Sumber Daya Air (Unhan RI), dan Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu (ITERA), jumlahnya masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jurusan Teknik Sipil yang selalu ada di hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia.Kurikulum pendidikan tinggi juga cenderung menekankan aspek teknis struktural, sementara pendekatan integratif yang mengaitkan air dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, hingga lingkungan hidup belum banyak dikembangkan.Sebagai gambaran, dalam kurikulum umum Teknik Sipil Universitas Diponegoro, atau Teknik Sipil Universitas Brawijaya misalnya, air biasanya hanya dibahas dalam konteks teknis seperti rekayasa hidraulika dan hidrologi, bukan sebagai bagian dari sistem kehidupan atau tata kelola lingkungan yang lebih luas. Kurikulum kurang lengkapSebagian besar siswa di Indonesia umumnya mengenal air dari pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di tingkat sekolah dasar dan menengah. Meskipun pelajaran IPA mencakup berbagai topik, pembahasan tentang air sering kali juga terbatas pada aspek fisik dan kimiawi, seperti siklus air atau sifat-sifat air, tanpa menggali lebih dalam mengenai isu-isu seperti tata kelola air, akses terhadap air bersih, atau dampak lingkungan dari penggunaan air.Data dari survei PISA 2018 menunjukkan bahwa skor sains siswa Indonesia menduduki peringkat ke-70 dari 78 negara, dengan skor rata-rata 396. Hal ini mencerminkan tantangan dalam pemahaman konsep-konsep ilmiah, termasuk yang berkaitan dengan air. Selain itu, meskipun banyak siswa (90%) memilih jurusan IPA di jenjang SMA, pendekatan pembelajaran masih cenderung fokus pada aspek teoretis dan kurang mengaitkan materi dengan konteks kehidupan sehari-hari, termasuk isu-isu air yang krusial.Kondisi ini menunjukkan perlunya integrasi isu-isu air yang lebih luas dalam kurikulum pendidikan, agar siswa tidak hanya memahami aspek ilmiah, tetapi juga menyadari pentingnya pengelolaan air yang berkelanjutan dalam kehidupan mereka.Pembelajaran global dan lokalDi beberapa negara, pendidikan tentang air telah diintegrasikan secara menyeluruh dalam kurikulum dan menjadi bagian penting dari pembentukan kesadaran lingkungan warganya. Di Australia, misalnya, program seperti Waterwatch Australia memungkinkan siswa dari berbagai jenjang untuk belajar tentang air bukan hanya dari sisi ilmiah, tetapi juga dari perspektif sosial, ekologis, hingga kebijakan. Siswa diajak memahami pentingnya konservasi, distribusi air yang adil, serta dampaknya terhadap ekosistem dan perubahan iklim. Finlandia juga menerapkan pendekatan serupa melalui phenomenon-based learning (pembelajaran berbasis fenomena), di mana air dipelajari secara lintas mata pelajaran—dari sains, geografi, ekonomi, hingga etika—sehingga siswa bisa memahami hubungan air dengan kehidupan dan masyarakat secara holistik.Belanda, dengan sejarah panjangnya dalam persoalan pengendalian air, menjadikan isu ini sebagai bagian dari identitas nasional dan pendidikan sejak usia dini. Mereka mengajarkan rekayasa air, adaptasi iklim, serta keterlibatan masyarakat dalam kebijakan tata kelola air melalui kurikulum, museum, dan program magang.Sementara itu, di Indonesia, pengetahuan lokal tentang air—seperti sistem irigasi tradisional, sumur resapan, atau budaya gotong royong dalam membangun saluran air justru mulai terlupakan. Padahal inilah yang membentuk daya tahan masyarakat terhadap perubahan iklim, misalnya sistem irigasi subak di Bali yang memungkinkan distribusi air yang adil dan berkelanjutan di antara petani, serta adaptasi terhadap perubahan iklim melalui manajemen air yang kolektif dan berbasis komunitas.Mengapa penting belajar air?Krisis air bukan ancaman masa depan—ia sudah terjadi sekarang. Bappenas memperkirakan Indonesia akan mengalami kelangkaan air parah pada 2045, , jika tidak ada perubahan dalam cara kita mengelola sumber daya air.Di beberapa kota, konflik antar warga karena berebut air sudah mulai muncul. Di desa-desa, petani mulai kesulitan mendapat air irigasi, terutama di musim kemarau yang semakin panjang. Di Kabupaten Mojokerto misalnya, sepanjang musim kemarau tahun ini, tiga desa mengalami kekeringan parah yang berdampak pada sedikitnya 8.320 jiwa.Fakta ini menegaskan bahwa persoalan air bersih bukan lagi sekadar wacana lingkungan, melainkan krisis nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari jutaan orang, terutama di wilayah pedesaan yang minim infrastruktur air.Artinya, kita perlu menjadikan air sebagai isu lintas sektor dan lintas kurikulum. Tidak hanya dibahas di fakultas teknik, tapi juga di sekolah dasar, di kelas ekonomi, hukum, dan bahkan seni. Sebab, setiap keputusan tentang pembangunan, konsumsi, hingga desain kota mempengaruhi siklus air.Di level awal, kita bisa mulai dari hal-hal seperti belajar memilah air hujan dan air limbah, menghemat penggunaan air di rumah, atau mengenal kembali sistem pengairan tradisional. Kemudian di level berikutnya, kita bisa mendesak agar sekolah dan universitas memasukkan pendidikan air dalam kurikulum wajib sekaligus menjadikan air sebagai topik pembicaraan reguler, bukan sekadar respons saat bencana datang.Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T., M.T., saat ini bekerja sebagai dosen pada Program Studi Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu di Institut Teknologi Sumatera, ITERA. Saya pernah menerima dana hibah internal dari Institut Teknologi Sumatera untuk melakukan pengabdian masyarakat. Selain itu, saya juga aktif dalam berbagai kegiatan riset yang berkaitan dengan Sumberdaya air, kebencanaan, hujan, dan edukasi lingkungan. Tidak ada konflik kepentingan yang terkait dengan tulisan ini.