P3M Tolak Raperda DKI tentang Kawasan Tanpa Rokok, Ini Alasannya

Wait 5 sec.

Pemerintah Daerah Jakarta dan DPRD Jakarta sedang membaas Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok. (Antara)JAKARTA - Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M) dengan tegas menolak Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (RAPERDA-KTR) DKI Jakarta 2025 yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan di tingkat DPRD DKI Jakarta. Tim Kajian dan Advokasi kebijakan P3M menyatakan, Raperda KTR ini memuat pasal-pasal yang sangat berpotensi merugikan berbagai sektor ekonomi, mengancam mata pencaharian jutaan warga Jakarta dan membatasi hak-hak konsumen secara tidak proporsional. Setelah melakukan kajian komprehensif terhadap Draft Raperda KTR yang diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta, Tim Kajian dan Advokasi Kebijakan P3M mengidentifikasi setidaknya empat belas (14) pasal bermasalah yang sangat merugikan bagi masyarakat, pengusaha kecil, dan berbagai sektor ekonomi terkait. "Raperda KTR DKI Jakarta ini dibuat tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi secara menyeluruh. Sejumlah pasal di dalamnya berpotensi mematikan usaha skala kecil dan menengah yang sudah terpukul oleh berbagai krisis ekonomi selama beberapa tahun terakhir," ungkap Sarmidi Husna (Direktur Eksekutif P3M). Pasal-pasal yang Dianggap BermasalahDari 14 pasal bermasalah dalam Raperda KTR, Tim kajian dan advokasi kebijakan P3M menyorot setidaknya enam (6) pasal Raperda KTR yang sangat berpotensi merugikan berbagai pihak, sebagai berikut:Definisi Rokok yang Sangat Luas (Pasal 1 Ayat 6) Raperda mendefinisikan rokok secara sangat luas mencakup semua produk alternatif seperti rokok elektronik, vape, dan produk tembakau yang dipanaskan tanpa diferensiasi risiko. Ini menghambat upaya harm reduction dan merugikan konsumen yang berusaha beralih dari rokok konvensional. Menurut Sarmidi Husna (Direktur Ekesekutif P3M), definisi ini mengabaikan penelitian ilmiah tentang spektrum risiko produk nikotin, menyamaratakan produk yang memiliki potensi risiko lebih rendah dengan rokok konvensional.Larangan Total Iklan, Promosi, dan Sponsor (Pasal 17 Ayat 5). Pasal ini melarang secara total iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh wilayah DKI Jakarta dengan denda Rp50.000.000, tanpa pengecualian untuk event atau festival yang selama ini banyak mendapatkan dukungan dari industri rokok. Sarmidi menambahkan, larangan ini akan melumpuhkan industri kreatif dan event organizer yang selama ini terbantu oleh dana CSR dan sponsorship perusahaan rokok, terutama di tengah masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi.Larangan Penjualan dalam Radius 200 Meter (Pasal 17 Ayat 4). Mengingat kepadatan sekolah dan tempat bermain anak di Jakarta, larangan ini pada praktiknya akan mencakup sebagian besar area komersial di kota, terutama di wilayah padat penduduk. Di Jakarta yang padat, hampir tidak ada lokasi usaha yang berada lebih dari 200 meter dari sekolah atau tempat bermain anak. Ini akan mematikan usaha ribuan pedagang kecil yang mengandalkan penjualan rokok sebagai salah satu produk utama.Larangan Memajang Produk Rokok (Pasal 17 Ayat 6). Larangan memperlihatkan atau memajang produk rokok secara jelas di tempat penjualan disertai denda Rp10.000.000 sangat memberatkan penjual eceran. Bagaimana mungkin kami menjual produk yang tidak boleh ditampilkan? Ini seperti meminta kami berjualan dalam kegelapan. Pembeli perlu melihat produk yang ingin dibeli.Kawasan Tanpa Rokok yang Sangat Ekstensif (Pasal 4). Kawasan Tanpa Rokok diperluas hingga mencakup ruang publik terpadu dan tempat tertentu yang menyelenggarakan izin keramaian, termasuk taman kota, Monas, RPTRA, bahkan pantai di Ancol. Hampir tidak ada lagi ruang publik di Jakarta yang dapat diakses oleh perokok. Ini bukan regulasi yang proporsional, melainkan pengucilan sistematis terhadap 30% populasi dewasa yang merokok.Kewajiban Membentuk Satgas Pengawasan Internal (Pasal 16 Ayat 1 huruf e). Setiap pengelola KTR diwajibkan membentuk satuan tugas internal pengawasan dan penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok dengan denda Rp50.000.000 jika tidak dilaksanakan. Kewajiban ini menciptakan beban operasional dan administratif tambahan yang sangat memberatkan UMKM. Bagaimana mungkin warung kopi atau kafe kecil mampu membentuk satgas khusus dengan sumber daya terbatas?Wewenang PPNS yang Sangat Luas (Pasal 22). PPNS diberikan kewenangan yang sangat luas, termasuk melakukan penyitaan barang bukti dan langsung menjatuhkan sanksi administratif denda tanpa proses pengadilan. Kewenangan berlebihan ini membuka celah penyalahgunaan wewenang dan praktik pungutan liar. Seharusnya pengenaan sanksi melalui proses hukum yang adil.Tidak Ada Pengecualian untuk Event dan Festival (Pasal 17 Ayat 5) Larangan menyeluruh terhadap sponsor rokok tanpa pengecualian untuk event atau festival berdampak serius pada industri kreatif dan budaya. Dukungan perusahaan rokok selama ini menjadi tulang punggung bagi banyak festival musik, seni, dan budaya. Larangan tanpa solusi alternatif akan mematikan ekosistem industri kreatif.Tidak Ada Masa Transisi (Pasal 26) Raperda langsung berlaku pada tanggal diundangkan tanpa masa transisi bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan diri. Perubahan regulasi drastis tanpa masa transisi sangat tidak realistis dan mencerminkan ketidakpahaman pembuat kebijakan terhadap realitas bisnis. Pelaku usaha butuh waktu untuk menyesuaikan ruang usaha, display toko, dan strategi pemasaran.Sanksi Kerja Sosial Tanpa Aturan Jelas (Pasal 17 Ayat 7) Ketidakjelasan bentuk kerja sosial yang dapat dilaksanakan langsung di tempat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Sanksi kerja sosial tanpa aturan jelas merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Ini bisa merendahkan martabat pelanggar di depan umum dan berpotensi menimbulkan konflik.Tumpang Tindih Pengawasan Antar Instansi (Pasal 20). Pengawasan oleh berbagai PD/UKPD berdasarkan tugas pokok dan fungsinya berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan interpretasi yang berbeda. Multi-interpretasi dan tumpang tindih kewenangan akan menciptakan kebingungan di lapangan dan meningkatkan potensi pungutan liar dari berbagai instansi.Tidak Ada Perlindungan bagi Petani dan Pekerja Industri Tembakau. Raperda KTR sama sekali tidak menyebutkan langkah mitigasi atau perlindungan bagi petani tembakau dan pekerja industri yang terdampak. Puluhan ribu petani tembakau dan jutaan pekerja di industri rokok akan menghadapi ancaman mata pencaharian akibat regulasi ini. Tanpa program transisi ekonomi atau alternatif mata pencaharian, kebijakan ini hanya akan menciptakan masalah sosial baru.Partisipasi Masyarakat yang Berpotensi Vigilante (Pasal 21). Mendorong masyarakat untuk menegur perokok berpotensi menimbulkan konflik sosial dan perselisihan antar warga. Legalisasi teguran oleh masyarakat tanpa pelatihan dan panduan yang tepat berpotensi memicu konflik horizontal. Fungsi penertiban seharusnya dilakukan oleh petugas berwenang, bukan didelegasikan kepada warga.Persyaratan Tempat Khusus Merokok yang Tidak Realistis (Pasal 5 Ayat 5). Persyaratan tempat khusus merokok yang harus berupa ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang, dan jauh dari pintu keluar masuk hampir mustahil dipenuhi di kawasan padat Jakarta. Di pusat kota dengan kepadatan bangunan tinggi, persyaratan ini praktis tidak mungkin dipenuhi oleh mayoritas usaha. Usaha di mal, gedung bertingkat, atau area padat tidak memiliki akses ke ruang terbuka. Berdampak pada Ekonomi Rakyat KecilKoordinator Tim Kajian dan Advokasi Kebijakan P3M, Badrus Samsul Fata, menambahkan: "DKI Jakarta adalah barometer ekonomi nasional. Regulasi berlebihan dan tidak proporsional seperti Raperda KTR ini akan menciptakan efek domino negatif terhadap berbagai sektor ekonomi, dari retail hingga pariwisata, dari UKM hingga industri kreatif. Di tengah upaya pemulihan ekonomi, kebijakan semacam ini kontraproduktif dan berpotensi negatif sebagai  berikut:Menurunkan pendapatan hingga 30% bagi pedagang eceran dan UMKM yang mengandalkan penjualan rokok dan produk turunan.Mengurangi pendapatan iklan media massa dan semua sektor tekait hingga 25%.Menurunkan okupansi tingkat hunian hingga 15% karena ketidaksesuaian dengan standar akomodasi internasional.Mengurangi jumlah event dan festival di Jakarta hingga 40%. P3M menyerukan kepada pihak terakit agar pembahasan Raperda ini dikaji ulang demi kepentingan rakyat. "Kami mendesak pemerintah dan DPRD DKI Jakarta untuk membatalkan pembahasan Raperda ini dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih seimbang. Kami siap untuk terlibat dalam dialog konstruktif untuk menciptakan regulasi yang melindungi kesehatan publik sambil tetap menghormati hak ekonomi warga," tegas Sarmidi Husna, Direktur Eksekutif P3M.