Mendorong Reformasi Peradilan untuk Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Reformasi peradilan masih menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Padahal, di tengah target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dipatok pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, reformasi peradilan bisa menjadi salah satu faktor penting.Sebab, sistem peradilan yang cepat, murah, dan sederhana bukan hanya meningkatkan efisiensi penyelesaian sengketa, tetapi juga mendorong lebih banyak pihak untuk memanfaatkan jalur hukum saat berinvestasi atau melakukan kegiatan ekonomi yang lain.Menurut pemerhati Hukum Indonesia, Sebastian Pompe, efisiensi peradilan berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, mengingat hubungan antara hukum dan ekonomi sangat menentukan iklim investasi dan perkembangan bisnis di suatu negara.Hukum dan ekonomi sebagai disiplin ilmu telah berkembang sejak tahun 1960-an dan 1970-an, terutama melalui kajian para ekonom. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh inovasi industri, tetapi juga memerlukan institusi hukum yang kuat dan efisien.“Jadi, dasarnya hukum dan ekonomi adalah bahwa perkembangan ekonomi bukan hanya dihasilkan oleh inovasi industri, tetapi juga membutuhkan institusi dan undang-undang untuk menghasilkan kembangan itu,” ungkap Pompe.Salah satu aspek penting yang dibahas adalah efisiensi dalam sistem hukum yang berkaitan dengan biaya transaksi. Pompe menjelaskan, biaya transaksi mencakup berbagai faktor seperti waktu penyelesaian perkara, biaya pengacara, serta kecepatan putusan pengadilan.Dia merujuk pada berbagai studi yang menunjukkan bahwa negara dengan sistem peradilan yang efisien mengalami pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan negara dengan sistem peradilan yang lamban. Studi dari Bank Dunia, misalnya, menunjukkan bahwa negara dengan pengadilan yang lebih cepat dan efisien mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sekitar 1,4 hingga 1,8 persen.Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (Ist) “Efisiensi dalam undang-undang dan ekonomi dinamakan transaction cost, the cost of a transaction. Jadi, kalau ada yang beli mobil dari saya dan kita ada perselisihan, kita ke pengadilan, jaga waktu berapa lama, ongkosnya berapa, lawyer gimana, jurusnya bagaimana, ada cost-cost itu. The delays, yang merupakan cost juga, that's the transaction cost,” imbuhnya.Pompe mencontohkan, di Amerika Serikat, reformasi efisiensi peradilan antara tahun 1993 hingga 2013 menyebabkan lonjakan jumlah kasus penegakan hukum dari 1,7 juta menjadi 4,6 juta. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah biaya transaksi di pengadilan, semakin tinggi pula akses masyarakat terhadap keadilan dan daya saing ekonomi suatu negara.Dia juga menyoroti bagaimana transaksi sederhana, seperti utang tanpa jaminan, tidak terselesaikan melalui jalur peradilan sebagaimana mestinya. Padahal, di banyak negara lain, perkara utang tanpa jaminan memiliki definisi yang lebih jelas dan ditangani dengan sistem yang lebih terstruktur.Dia mengungkapkan, di negara-negara seperti Austria, Estonia, Jerman, Polandia, dan Portugal, perkara sederhana mencakup mayoritas kasus perdata yang masuk ke pengadilan. “Di Austria, 83 persen dari perkara perdata adalah perkara sederhana. Di Jerman, jumlah perkara sederhana bahkan lebih banyak dibandingkan Amerika Serikat, mencapai lima juta kasus per tahun,” tambah Pompe.Namun, situasi ini sangat berbeda di Indonesia di mana jumlah perkara sederhana yang masuk ke pengadilan sangat minim, padahal transaksi seperti utang kartu kredit, tagihan listrik, dan telekomunikasi seharusnya bisa masuk dalam kategori tersebut. “Di Indonesia, kasus-kasus ini benar-benar tidak masuk pengadilan,” tuturnya.Jalur Informal Lebih Jadi Pilihan Dibanding PengadilanPompe menjelaskan bahwa di banyak negara, perusahaan-perusahaan besar yang memiliki ratusan ribu pelanggan dapat mengajukan klaim massal ke pengadilan dengan sistem yang efisien. Setiap dua minggu, perusahaan-perusahaan ini mengajukan 10.000 hingga 20.000 perkara utang dalam satu berkas digital ke pengadilan, lalu pengadilan mendistribusikannya secara internal dan mengirimkan putusan.Sementara itu, di Indonesia, perkara-perkara tersebut cenderung tidak masuk ke pengadilan dan diselesaikan melalui jalur informal atau terserap oleh mekanisme lain, seperti melalui polisi, tukang pukul, atau hubungan keluarga. Akibatnya, banyak perusahaan ragu untuk memberikan kredit karena lemahnya kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa.Dia menyatakan, dampak dari sistem peradilan yang tidak efisien ini terlihat jelas dalam akses kredit di Indonesia. Dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki 33.000 kasus eksekusi hipotek per tahun, di Indonesia hanya ada 605 kasus. “Apakah 605 itu banyak atau sedikit? Jika dibandingkan dengan ukuran ekonomi Indonesia, itu sangat kecil,” tukas Pompe.Konsekuensinya, kata dia, bank di Indonesia enggan memberikan pinjaman karena sulitnya eksekusi hukum atas kredit bermasalah. Akibatnya, tingkat suku bunga di Indonesia menjadi lebih tinggi karena bank harus memperhitungkan risiko gagal bayar dalam perhitungan bunga.Dia mencontohkan bagaimana kecepatan eksekusi hipotek berpengaruh terhadap kebijakan perbankan dalam memberikan pinjaman. Di negara-negara dengan sistem eksekusi hipotek yang lambat, bank cenderung memberikan pinjaman dengan jumlah kecil dan bunga tinggi karena tingginya risiko gagal bayar. Sebaliknya, di negara dengan sistem eksekusi yang cepat, bank dapat memberikan pinjaman hingga 90-95 persen dari nilai properti dengan bunga yang lebih rendah.“Di Malaysia, karena sistem eksekusi hipotek lebih efisien, bunga pinjaman lebih rendah. Sebaliknya, di Indonesia, sulitnya eksekusi membuat bunga lebih tinggi. Di Indonesia, lebih sulit mendapatkan hipotek dibandingkan di Malaysia, Filipina, China, atau Singapura. Kapasitas pinjaman di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara tersebut,” terangnya.Pompe menegaskan bahwa reformasi dalam sistem peradilan sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, peradilan yang efisien bukan hanya soal hukum, tetapi juga merupakan faktor fundamental dalam pembangunan ekonomi.“Indonesia harus memiliki ratusan ribu perkara sederhana yang masuk ke pengadilan, karena kasus-kasus itu pasti ada. Jika sistem peradilan lebih efisien, maka kepercayaan terhadap kredit akan meningkat dan perekonomian dapat berkembang lebih pesat,” tutupnya.Rencana Strategis MA untuk Melanjutkan Reformasi PeradilanJuru bicara Mahkamah Agung, Prof Yanto menerangkan bahwa reformasi peradilan tidak bisa berjalan tanpa arah dan rencana yang jelas. Karena itu, MA telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029 sebagai pijakan utama dalam melanjutkan reformasi peradilan yang berkelanjutan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.Renstra ini, disusun tidak hanya sebagai dokumen formal, tetapi juga sebagai kompas moral dan operasional lembaga peradilan dalam menghadapi berbagai tantangan di era modern. Fokus utamanya meliputi peningkatan kualitas layanan peradilan, penguatan integritas aparatur, serta pemanfaatan teknologi informasi secara maksimal.Kantor Mahkamah Agung RI (Antara) “Ketiganya merupakan pilar penting dalam membangun lembaga peradilan yang tidak hanya profesional, tetapi juga berdaya saing dan terpercaya. Peningkatan kualitas layanan juga menjadi prioritas utama. Hal ini menyangkut bagaimana pengadilan mampu memberikan pelayanan hukum yang cepat, sederhana, dan terjangkau bagi masyarakat,” ujarnya.Karena itu, MA mendorong seluruh satuan kerja peradilan untuk memperkuat fungsi pelayanan publik, mempercepat waktu penyelesaian perkara, serta memastikan transparansi dalam setiap proses hukum. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kepuasan masyarakat pencari keadilan dan memperkecil jarak antara institusi peradilan dengan rakyat.Di sisi lain, penguatan integritas menjadi kunci dari perubahan. MA terus menegakkan prinsip “zero tolerance” terhadap praktik penyimpangan dan pelanggaran kode etik. Aparatur peradilan dituntut tidak hanya cerdas dalam hukum, tetapi juga jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya. Tanpa integritas, semua reformasi hanya akan menjadi formalitas tanpa makna. “Renstra juga mengarahkan penguatan sistem pengawasan internal yang lebih efektif untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan dan menjaga kredibilitas lembaga,” tambah Yanto.Dia menegaskan, melalui Renstra 2025–2029, MA menunjukkan bahwa komitmen terhadap perbaikan tidak pernah surut. Justru semakin dikuatkan, dipertajam, dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab demi tegaknya keadilan. “Ke depan, semua insan peradilan dituntut untuk menjadi agen perubahan yang mampu membawa lembaga peradilan menuju arah yang lebih baik, bersih, dan profesional demi keadilan yang merata dan bermartabat,” katanya.