● Negara sudah mengembalikan hutan adat kepada masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, tapi perambahan hutan terlanjur menghancurkan ekosistem.● Perempuan harus memikul beban ganda: mengambil alih beban ekonomi keluarga sekaligus mengerjakan tugas domestik.● Diperlukan keadilan ekologis dan gender melalui rehabilitasi lingkungan hingga reformasi struktur adat yang lebih inklusif.Pada 2016 silam, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengembalikan 2.600 hektare hutan adat kepada masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Hutan adat tersebut sebelumnya diklaim oleh perusahaan bubur kertas, PT Toba Pulp Lestari (TPL).Kemenangan ini adalah buah dari perjuangan panjang masyarakat adat yang tak lelah merebut kembali hak mereka, terutama sejak ekskavator PT TPL menghancurkan 540 hektare hutan kemenyan mereka pada 2009. Namun, kemenangan itu ternyata tak lantas memulihkan kehidupan masyarakat. Hutan yang dikembalikan negara sudah rusak, sehingga masyarakat tidak bisa lagi bergantung kepada rimba seperti dahulu.Riset yang saya lakukan pada 2019 di desa Pandumaan-Sipituhuta menunjukkan, penjarahan yang sebelumnya dilakukan PT TPL telah menghancurkan area hutan yang menjadi daerah tangkapan air. Akibatnya, wilayah di sekitar sungai yang menjadi tempat warga tinggal dan bertani, kini rawan banjir dan erosi. Ekosistem yang rusak juga membuat produksi haminjon—kemenyan andalan masyarakat—menurun hingga 30%. Secara mutu, kemenyan yang dihasilkan pun tak lagi sebagus dulu, getahnya sekarang menjadi lebih kering. Akibatnya, harga jual kemenyan juga turun dari Rp250.000 menjadi Rp150.000 per kilogram.Beban ganda perempuanKetika hutan kemenyan (yang biasa digarap oleh suami dan anggota keluarga laki-laki) rusak, banyak keluarga kehilangan sumber penghasilan utama. Perempuan pada akhirnya harus mengambil alih beban ekonomi keluarga dengan bersawah dan berladang, sambil tetap mengerjakan tugas domestik, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak.Riset yang saya lakukan menunjukkan, perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta rata-rata bekerja 15 jam setiap hari: sembilan jam di ladang dan enam jam untuk urusan rumah tangga. Sementara laki-laki memiliki lebih banyak waktu luang—baik untuk istirahat atau kegiatan komunitas. Memang, setelah konflik agraria selesai, peran laki-laki dalam pekerjaan rumah seperti merawat anak mulai terlihat. Namun, beban kerja perempuan tetap lebih besar.Terlebih, kerusakan ekosistem akibat ekspansi perusahaan berdampak langsung ke wilayah kerja perempuan—ladang kopi dan sawah. Hutan kemenyan yang dulunya menjadi penyangga air, kini tak lagi mampu menahan limpasan air, sehingga sawah lebih sering terendam, pinggiran sungai terkikis. Akibatnya, siklus tanam kopi dan beras, yang digarap oleh perempuan terganggu, sehingga hasil panen mereka pun menurun dan risiko gagal panen semakin besar.“Sekarang saya harus bekerja lebih keras. Tapi saya kerja keras ini apa hasilnya? Detik perusahaan itu merusak hutan, saat itu pula mereka mencuri masa depan kami.” - Deborah, 43 tahunUntuk meringankan beban, para perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta kini memperdalam praktik marsiadapari—sistem kerja gotong royong di mana mereka bergantian membantu bertani di lahan satu sama lain. Tradisi ini tidak hanya menjadi solusi atas kerja berlebih, tetapi juga memperkuat solidaritas antarperempuan.“Misalnya saya bantu teman panen kacang hari Selasa, lalu Rabu-nya dia bantu saya bersihkan sawah.” Ironisnya, meskipun memiliki peran besar, perempuan tetap terpinggirkan. Mereka tak mendapat kompensasi yang setimpal atas kerja-kerja tersebut. Hukum adat Toba, misalnya, belum mengakui hak milik perempuan atas tanah secara utuh. Di banyak kasus, perempuan harus menikah untuk mendapatkan dan menggarap tanah warisan keluarganya. Bila bercerai, ladang yang mereka rawat bertahun-tahun pun bisa hilang.Pemulihan yang menyeluruhPerjuangan perempuan Pandumaan–Sipituhuta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria tak cukup hanya dengan mengembalikan tanah saja. Keadilan ekologis dan gender harus ditegakkan beriringan.Dalam hal ini, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil perlu memastikan bahwa rehabilitasi lingkungan betul-betul dilakukan setelah lahan dikembalikan. Dan yang terpenting, upaya pemulihan terutama harus menjangkau wilayah kerja perempuan.Perlu diingat bahwa konflik agraria telah mengubah tatanan sosial dan lingkungan masyarakat terdampak. Oleh karenanya, upaya pemulihan harus memperhatikan dinamika tersebut, berpihak kepada keadilan gender dan inklusif terutama bagi perempuan adat.Pengakuan terhadap perempuan juga penting. Kerja perempuan—baik yang produktif maupun reproduktif—harus dihargai secara sosial dan diberi imbalan yang layak. Kini, meski peran perempuan Pandumaan–Sipituhuta sudah mulai diakui, mereka tetap bekerja paling keras—tanpa upah yang sepadan.Jika ini terus dibiarkan, perjuangan masyarakat adat hanya akan jadi seperti “jam rusak yang tak kunjung diperbaiki"—waktu terus berjalan, tapi arah perubahannya tak pernah berpihak kepada mereka.Perdana Roswaldy menerima dana dari Arryman Fellowship, Departemen Sosiologi dan Kellog's Dispute Resolution and Research Center di Northwestern University, dan Land Deals and Politics Initiative.