Soal Stigma Mobil LCGC yang Kerap Berulah Menurut Pengamat Otomotif

Wait 5 sec.

Aksi pengemudi Toyota Calya dengan nomor polisi B 2829 UIL yang berkendara secara ugal. Foto: Instagram/@forfunchannMobil Low Cost Green Car atau LCGC menjadi jawaban jitu untuk masyarakat yang menginginkan kendaraan roda empat baru dengan harga terjangkau. Namun, sebagian tingkah oknum pengemudi atau pemiliknya jadi sorotan hingga fenomena khusus.Contoh saja, baru-baru ini ada kasus pengemudi kendaraan terkait yang dengan sengaja menerobos gerbang tol untuk tidak membayar tarif. Menariknya, mobil yang sama juga menjadi pelaku tabrak lari di jalan tol.Aksinya itu mengundang banyak warganet berkomentar dengan mengaitkan golongan mobil LCGC sebagai kendaraan yang kerap dianggap ugal-ugalan, abai hukum, hingga gemar mengakali aturan lalu lintas.Bahkan tak sedikit yang secara impulsif menilai kalau mobilnya LCGC, kelakuannya sudah pasti begitu. Tapi apakah korelasi itu tepat? Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Pasaribu coba memberi pandangan.Mobil Brio kecelakaan di Jalan P2 Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Rabu (17/5/2023). Foto: Dok. IstimewaKepada kumparan, dirinya justru memilih untuk melihat hal tersebut dari lensa yang lebih luas. Menurut Yannes anggapan tersebut lebih banyak bertumpu pada kerentanan struktural ketimbang sekadar jenis kendaraan. "Dari sudut pandang ekonomi dan sosiologi, mobil LCGC memang dirancang untuk menjangkau kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah, yang umumnya memiliki keterbatasan finansial," buka Yannes dihubungi Selasa, (24/6/2025).Ketika keterbatasan ekonomi bertemu dengan minimnya literasi hukum dan edukasi berlalu lintas, maka katanya, timbul perilaku berkendara yang permisif. "Kondisi ekonomi ini sering kali berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan secara tidak langsung mempengaruhi tingkat literasi hukum," tambah Yannes.Kecelakaan Toyota Calya dan Soluna di Jalan Achmad Adna Wijaya, Kota Bogor, Kamis (5/6), sekitar pukul 05.45 WIB. Foto: IstimewaMaka jangan heran jika muncul fenomena pengemudi mobil kecil yang nekat menerobos tol, menunggak pajak kendaraan, atau berkendara sembarangan demi menekan biaya pengeluaran harian. Meski fenomena ini juga bisa ditemukan pada semua jenis kendaraan.Tetapi menurut Yannes, tindakan seperti itu tak bisa semata-mata dianggap sebagai kenakalan individu, tapi juga merupakan bentuk apa yang dia sebut sebagai 'efisiensi paksa' akibat kondisi atau tekanan ekonomi. “Dalam kasus yang disorot, tekanan ekonomi dapat mendorong perilaku menghindari biaya, seperti tidak membayar pajak kendaraan atau menghindari tarif tol sebagai bentuk efisiensi paksa,” terangnya.Di sinilah ruang yang jarang dibicarakan, motif pelanggaran bukan sekadar soal bandel, melainkan tentang bertahan hidup dalam sistem yang belum cukup berpihak. Namun, ia menolak menyederhanakan fenomena ini menjadi sekadar urusan mobil murah atau LCGC hingga soal perilaku personal semata.Pelanggaran lalu lintas di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (3/11/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparanMotif pelanggaran ini menurut saya lebih sebagai irisan antara tekanan ekonomi, kurangnya pendidikan hukum yang membangun mentalitas berkendara permisif dengan kelemahan sistem pengawasan,”Artinya, jika regulasi dan sistem pengendalian hukum tidak diperbaiki, maka perilaku serupa bisa muncul dari pengguna kendaraan jenis apa pun, terlepas dari harga atau segmennya. Tidak peduli itu LCGC atau bukan. Oleh karena itu, Yannes mengusulkan pendekatan multidimensi yang menyentuh akar permasalahan. “Tampaknya ini bukan semata masalah stigma kendaraan murah, melainkan soal kerentanan struktural dan mentalitas individual yang perlu ditangani melalui kombinasi kebijakan teknologi, edukasi, dan reformasi hukum yang lebih progresif dan menyeluruh,” tandasnya.Jadi, mungkin sudah saatnya publik meninjau ulang pandangan hitam-putih soal LCGC dan penggunanya. Sebab masalah di jalanan bukanlah tentang seberapa besar mesin mobil, melainkan seberapa besar kesadaran kita menjalani peran sebagai pengemudi yang taat hukum, apa pun merek atau segmennya.Kontribusi segmen mobil LCGC dorong pertumbuhan industri otomotif nasionalToyota Calya di GIIAS 2021 Foto: Muhammad Ikbal/kumparanPadahal sisi lainnya, keberadaan mobil LCGC memberikan perbedaan cukup signifikan terhadap peta penjualan otomotif di Indonesia. Sejak kemunculan perdana pada tahun 2013 silam, pasar berekasi dengan begitu baik.Hingga kini, segmen mobil terjangkau itu seperti tak pernah kehilangan taji di pasar otomotif nasional. Sudah lebih dari 10 tahun, kelas LCGC cukup konsisten sebagai salah satu kontributor pangsa pasar terbesar.Kala itu dimulai dari Toyota Agya dan Daihatsu Ayla sebagai pionir, lalu lambat laun muncul variasi model baru, hingga pada akhirnya format pilihannya lebih sederhana dan sedikit seperti sekarang ini seperti Honda Brio Satya hingga Toyota Calya dan Daihatsu Sigra.Mobil Daihatsu Ayla yang tabrak lari dua sepeda motor di Sleman. Foto: Satlantas Polresta SlemanTiga tahun awal berjalan dimulai dari 4,16 persen dan terus meningkat hingga 16,43 persen dari total pasar rata-rata satu juta unit per tahun. LCGC mampu menyumbang porsi 20 persenan sejak tahun 2016 dan terus bertahan hingga 2019, tepat sebelum pasar otomotif nasional anjlok drastis akibat pandemi Covid-19.Setelahnya, perolehan distribusinya mulai merangkak naik kembali. Pada 2021, LCGC berhasil mendulang angka penjualan wholesales (dari pabrik ke diler) sebanyak 146.520 unit alias mengambil 16,51 persen pangsa pasar dari total 887.202 unit.Kemudian dari tahun 2021 hingga 2024, market share segmen LCGC perlahan tapi pasti kembali bergairah. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), hingga Januari-Mei 2025 totalnya sudah 56.301 unit.Meski hasil itu turun 24,3 persen dari periode serupa selama tahun 2024 yang angkanya bisa mencapai 74.391 unit. Namun, secara keseluruhan sumbangsih pangsa pasarnya masih di sekitaran 20 persen alias 18 persen dari total 316.981 unit.