Tubuh perempuan Muslim di Instagram jadi arena pergulatan kesalehan dan kecantikan

Wait 5 sec.

Seorang perempuan mengenakan hijab sedang merekam video dirinya. Tatiana Buzmakova/Shutterstock● Banyak Muslimah membangun citra diri yang memadukan kesalehan dan kecantikan.● Tubuh perempuan di media sosial seakan menjadi arena negosiasi (pergulatan) antara norma agama dan tekanan kecantikan modern.● Kesalehan hari ini tidak hanya dimaknai lewat ibadah atau pakaian tertutup, melainkan bagaimana tubuh dikurasi secara visual.Di era digital, Instagram bukan lagi sekadar ruang berbagi foto, tetapi juga menjadi panggung ekspresi identitas.Bagi perempuan Muslim, platform ini menjadi ladang baru untuk menampilkan—dan menegosiasikan—siapa mereka, baik sebagai individu religius maupun sebagai bagian dari budaya visual global yang mendewakan estetika dan kecantikan.Melalui unggahan foto, filter, dan caption religius, banyak Muslimah Indonesia membangun citra diri yang memadukan dua hal yang kerap dianggap bertentangan: kesalehan dan kecantikan.Di satu sisi foto, mereka tampil anggun dengan hijab. Di sisi lain, pose modis, pencahayaan estetik, dan make up lembut tak luput dari perhatian.Ini bukan sekadar upaya “terlihat cantik”, tetapi juga praktik visual piety, yaitu kesalehan yang divisualkan. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa menjadi taat dan trendi bukan hal yang saling meniadakan. Baca juga: Dari ekspresi hingga simbol identitas: Bagaimana media sosial mengubah persepsi publik tentang jilbab Tubuh perempuan Muslim di media sosial telah menjadi arena pembentukan ulang citra tubuh sekaligus negosiasi yang rumit antara norma agama, tekanan kecantikan modern, dan hasrat akan eksistensi.Kesalehan yang divisualkanInstagram telah mendorong perempuan Muslim berhijab untuk tampil estetik demi atensi. Platform ini menjadikan mereka tak sekadar pengguna, tetapi juga kurator identitas.Mereka memadukan estetika digital dengan standar kecantikan global lewat filter, pose modis, dan pencahayaan lembut. Namun, estetika ini tak serta-merta mengaburkan nilai-nilai religius. Justru sebaliknya, mereka memvisualkan simbol-simbol kesalehan melalui hijab, gestur yang sopan, busana tertutup, caption religius, dan latar foto berlatar masjid atau elemen spiritual lainnya.Representasi ini bukan sekadar pencitraan, tetapi bentuk strategi visual yang menyatukan nilai kesalehan dan estetika digital.Dalam konteks ini, kesalehan atau keimanan tak hanya diwujudkan dalam laku ibadah, tetapi juga bagian dari gaya visual yang bisa dikurasi agar sejalan dengan tren. Baca juga: Tidak hanya Iran, Indonesia juga masih 'memanfaatkan' moralitas untuk mengontrol tubuh perempuan Proses ini mencerminkan apa yang disebut sebagai aesthetic labor, yakni kerja estetik yang menuntut perempuan terus menyesuaikan diri secara visual dan moral.Tubuh mereka tidak lagi pasif, melainkan menjadi alat ekspresi identitas religius yang kontemporer. Tubuh perempuan dalam ruang visual pada akhirnya bukanlah entitas tetap, melainkan ruang artikulasi yang terus dibentuk dan berkelindan dengan teknologi, norma sosial, dan spiritualitas.Fenomena ‘jilboob’ dan tuntutan kesalehanRepresentasi religius di Instagram sering kali saling bertentangan. Di satu sisi, perempuan Muslim menampilkan hijab dan pose sopan sebagai ekspresi iman. Namun, di sisi lain, mereka juga memadukannya dengan filter, riasan, dan estetika visual yang mengikuti tren kecantikan global.Fenomena ini menjadikan hijab bukan sekadar simbol religius, tapi juga bagian dari fesyen yang bisa disesuaikan sesuka hati.Dari sini tampak bahwa kesalehan dan kecantikan bukanlah dua dunia yang saling menafikan. Keduanya justru saling meresap, serta mewujud dalam gaya visual yang seimbang antara spiritualitas dan estetika.Namun, harmoni antara iman dan estetika tak selalu diterima publik. Ada fenomena “jilboob” (perempuan berhijab dengan pakaian ketat) yang sering menuai kecaman sebagai pelanggaran norma kesopanan Islam.Alih-alih sekadar menudingnya sebagai bentuk kemerosotan moral, fenomena ini juga bisa dibaca sebagai ekspresi kompleks identitas perempuan Muslim urban yang bergulat dengan tuntutan agama, tekanan sosial, dan hasrat mengeksplorasi bentuk tubuh dalam ruang publik yang serba normatif.Dalam konteks ini, tubuh perempuan Muslim menjadi ruang negosiasi yang rumit.Di satu sisi, mereka berusaha menampilkan diri secara visual agar bisa eksis dan diakui. Di sisi lain, mereka juga harus mempertimbangkan batas-batas aurat, kesopanan, dan kehormatan yang ditentukan secara sosial dan religius. Baca juga: Jilbab dan Pancasila: kapan negara akan berhenti mengatur tubuh perempuan? Aurat tidak lagi hanya soal menutup bagian tubuh tertentu, tapi juga tentang bagaimana tubuh dibaca dan ditafsirkan oleh publik.Tubuh perempuan Muslim hari ini tidak sekadar objek moral, melainkan ruang pertemuan dinamis antara iman, estetika, dan teknologi yang terus saling membentuk.Kesalehan tak lagi sekadar ibadahInstagram telah menunjukkan fenomena menarik, bahwa kesalehan hari ini tidak hanya dimaknai lewat ibadah atau pakaian tertutup, melainkan juga lewat cara tubuh dikurasi secara visual.Iman menjadi bagian dari gaya hidup—bukan dalam arti superfisial, melainkan sebagai bentuk subjektivitas religius yang diwujudkan secara aktif.Dalam lanskap Instagram, tubuh perempuan Muslimah bukan entitas tetap. Ia terus “menjadi”, berubah, beradaptasi, dan ditafsirkan ulang.Hijab tak lagi hanya pelindung aurat, tetapi juga aksesori mode. Caption bukan cuma nasihat agama, tetapi juga alat membangun personal branding. Semuanya berjalan dalam logika visual yang kompleks.Hal ini menunjukkan bahwa kesalehan kini juga bersifat visual dan performatif. Bukan berarti kehilangan makna spiritual, tetapi justru menjadi cara baru dalam menyampaikan religiusitas lewat estetika.Iman yang estetikEkspresi perempuan Muslim di Instagram tidak serta-merta menghapus makna kesalehan. Mereka justru mereformulasinya dalam bahasa visual yang lebih kontekstual dan performatif.Di media sosial, tubuh perempuan Muslim bukan hanya objek yang ditampilkan, tetapi medium representasi diri yang kompleks untuk dapat menampilkan iman sesuai dengan algoritme dan audiens.Kesalehan tak lagi dinilai hanya dari seberapa tertutup tubuh, tapi dari cara mengomunikasikan nilai religius lewat gaya dan kurasi visual.Dalam dunia digital, cantik dan salehah bisa berjalan beriringan—menjelma bentuk iman yang estetis, tanpa meninggalkan nilai religiusitas, tapi justru menafsirkannya kembali secara kreatif. Tubuh pun menjadi ruang ekspresi dan refleksi di tengah tekanan budaya visual global.Moh. Faiz Maulana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.