Ilustrasi sakit jantung (Foto: Freepik/Freepik)JAKARTA – Aktivitas fisik seperti olahraga maupun hubungan suami istri memang bisa memicu detak jantung menjadi lebih cepat. Namun, kondisi ini baru perlu diwaspadai bila jantung tiba-tiba berdetak kencang tanpa adanya aktivitas fisik apa pun.Hal ini diungkapkan langsung oleh dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), Ph.D., dokter spesialis jantung dan pembuluh darah sekaligus Konsultan Aritmia dari Heartology Cardiovascular Hospital."Kita melakukan aktivitas fisik, entah berhubungan suami istri itu menaikkan adrenalin. Panik dan emosi menaikkan adrenalin, tapi itu mekanisme alamiah. Ketika beraktivitas, kalau denyut jantung kita enggak bertambah, justru bermasalah," jelas dr. Sunu, saat ditemui di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta pada Sabtu, 2 Agustus 2025.Menurutnya, saat berhubungan seksual, naiknya detak jantung adalah hal wajar karena tubuh sedang membutuhkan lebih banyak oksigen. Namun yang menjadi masalah adalah ketika detak jantung naik secara tiba-tiba dan tanpa penyebab yang jelas."Ketika berhubungan seksual, denyut jantung naik itu malah enggak bermasalah. Yang paling masalah itu kalau tidak ada kenaikan kebutuhan, tapi jantung tiba-tiba cepat sendiri," tambah dr. Sunu.Ia menjelaskan bahwa detak jantung yang terlalu cepat, atau disebut takikardia, bisa dipicu oleh berbagai faktor. Dalam kasus tertentu, bisa saja kondisi ini menyebabkan kematian mendadak jika tidak ditangani dengan baik."Adapun aktivitas fisik, olahraga atau hubungan seksual jadi pemicu itu bisa. Orang bisa meninggal dunia karena denyut jantung yang cepat. Tapi diawali dengan pemicu," katanya.Tetapi, masalah tersebut bisa berasal dari struktur jantung itu sendiri."Dia punya dimensi atau volume otot jantung terlalu besar. Dia punya pakat (riwayat), seseorang saat check-up itu monitoring dengan outer tadi," ungkap dr. Sunu.Hal yang perlu diwaspadai adalah denyut jantung yang naik saat tubuh sedang tidak melakukan aktivitas apa pun."Sederhananya, kita beraktivitas denyut jantung naik itu wajar. Tapi lagi tiduran nonton TV, tiba-tiba duk duk duk, nah itu contohnya. Ada juga denyut tambahan atau ekstra yang muncul, darah jadi tak terpompa," jelasnya.Dr. Sunu menekankan pentingnya untuk membedakan antara kondisi normal dan yang berpotensi membahayakan."Jadi pembedanya, kalau aktivitas umumnya naik. Tapi kita tidak ada aktivitas apa-apa, tiba-tiba denyut jantung cepat, tak teratur, terus hilang, nah itu harus diwaspadai," tegasnya.Tak hanya itu, kondisi jantung koroner juga sering kali baru menimbulkan gejala saat tubuh aktif."Jantung koroner gejalanya muncul saat aktivitas, karena penyempitan pembuluh, sehingga oksigennya enggak cukup. Irama jantung itu semaunya, enggak bisa diprediksi," imbuhnya.Kesadaran akan pentingnya deteksi dini dan pencegahan penyakit jantung ini menjadi bagian penting dari CARES 2025 (Cardiac & Vascular Excellence Scientific Update), sebuah konferensi ilmiah tahunan yang diselenggarakan oleh Heartology Cardiovascular Hospital.Acara ini mempertemukan ratusan dokter spesialis jantung, bedah toraks, hingga dokter umum dari seluruh Indonesia dalam simposium dan workshop interaktif. Tujuannya adalah menyamakan persepsi dan meningkatkan kemampuan praktis dalam menangani kasus kardiovaskular."Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan penyakit jantung saat ini adalah kesenjangan antara teori dan praktik klinis. Melalui CARES 2025, kami mencoba menjembatani itu dengan memberikan ruang bagi peserta untuk menyampaikan dan mendiskusikan kasus riil dari pengalaman mereka di lapangan," ujar Ketua Panitia CARES 2025, dr. Adrianus Kosasih, Sp.JP(K).Dengan lebih dari 300 peserta simposium dan 165 peserta workshop, acara ini menjadi bukti nyata bahwa penanganan penyakit jantung memerlukan kerja sama lintas bidang. Kolaborasi, edukasi, dan kesadaran bersama menjadi kunci untuk mencegah lebih banyak nyawa melayang akibat gangguan irama jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.