Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (kiri) didampingi istrinya Franciska Wihardja (kanan) menyapa pendukungnya saat keluar dari Rutan Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTODrama kelam penegakan hukum yang sarat rekayasa politik itu kini terhenti. Seorang anak bangsa yang lebih dari sembilan bulan dirampas paksa kemerdekaannya, dijatuhkan harga dirinya, dan dicemarkan nama baiknya atas tuduhan korupsi yang tak pernah ia lakukan, kini kembali menghirup udara bebas. Bukan sebagai penerima pengampunan, tetapi sebagai pribadi yang sejak awal tak pantas dituduh, apalagi dipenjara. Anak bangsa itu adalah Tom Lembong, tokoh yang telah mengabdi sepenuh hati bagi republik yang begitu ia cintai.Tak bisa dipungkiri: kasus ini adalah luka menganga di wajah hukum kita. Ketika seorang putra bangsa dengan rekam jejak bersih justru menjadi korban dari proses hukum yang kehilangan nurani dan akal sehat. Ia diseret ke ruang sidang bukan karena kesalahan, tetapi karena skenario jahat dari sebuah kepentingan politik yang ingin menjeratnya. Inilah aib besar dalam penegakan hukum kita.Bandul Awal Rekayasa HukumBerbulan-bulan lamanya proses hukum Tom Lembong menjadi panggung penjagalan terhadap dirinya dan marwah keadilan. Mulanya ia diperiksa dalam status sebagai saksi dalam kasus importasi gula yang sebenarnya tidak ada unsur pidananya. Tiba-tiba ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan tanpa didasari dua alat bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana amanat Pasal 184 KUHAP dan Putusan MK 21/PUU-XII/2014.Dua alat bukti dimaksud haruslah membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Dalam konteks penyelidikan tindak pidana korupsi Pasal 2 Ayat (1) dan 3 UU Tipikor, maka sejak dalam tahap penyelidikan sudah harus diperoleh bukti terjadinya “kerugian keuangan negara” yang nyata (actual loss) berdasarkan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian primer dan menentukan.Hal itu juga sejalan dengan amanat Putusan MK 25/PUU-XIV/2016, bahwa telah terjadi pergeseran unsur delik dalam perkara TIPIKOR. Dari delik formil ke materiil. Konsekuensinya, fokus utama dalam pembuktian kasus korupsi bukan sekadar pada terpenuhinya unsur perbuatan, tetapi pada adanya akibat nyata yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, yang menjadi tolok ukur adalah ada atau tidaknya kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang.Bila hal itu tidak terpenuhi, maka penetapan tersangka tidak sah. Dalam kasus ini sejak awal tidak ada bukti kerugian negara, yang ada hanyalah klaim kejaksaan yang katanya berdasarkan audit BPKP, sementara audit itu faktanya belum dilakukan waktu itu. Dengan demikian, belum terpenuhi adanya unsur delik materiil.Begitu juga ketika Tom Lembong ditahan, ia tidak diberikan hak untuk memilih penasihat hukumnya sendiri saat dilakukan pemeriksaan awal. Hal itu bertentangan dengan Pasal 54 dan 55 KUHAP. Kejaksaan agung juga melakukan pelanggaran serius, karena memberikan SPDP (Surat Perintah Dilakukan Penyidikan) melewati batas waktu yang ditentukan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, yaitu maksimal 7 (tujuh) hari setelah penetapan tersangka. Dua pelanggaran serius terhadap prosedur hukum acara harusnya membawa konsekuensi, bahwa penetapan tersangka tidak sah, alias batal demi hukum.Seluruh kejanggalan itu telah dilawan Tom Lembong melalui jalur pra-peradilan untuk membatalkan penetapan statusnya sebagai tersangka. Namun, hakim menolak permohonan Tom dengan pertimbangan yang mengesampingkan semua kejanggalan tersebut. Dari titik inilah aroma rekayasa politik semakin menyengat. Bukan hanya akal sehat yang terusik, tetapi juga nurani publik.Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong didampingi oleh istri Franciska Wiharjda dan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 Anies Baswedan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Jonathan Devin/kumparanSesat Kian Kasat MataKetika perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, berbagai kejanggalan kian kasat mata. Sejak awal persidangan, tidak tampak adanya perlakuan yang adil dan seimbang. Majelis hakim terlihat akomodatif terhadap Jaksa Penuntut Umum, namun bersikap intimidatif dan sarat prasangka terhadap terdakwa. Hal ini tecermin dari sejumlah pernyataan majelis yang bernada sinis dan memojokkan, bahkan sebelum fakta-fakta terungkap secara utuh. Begitu juga dengan para ahli yang dihadirkan Tom Lembong untuk memberikan keterangan justru diabaikan begitu saja—hakim tidak mengajukan satu pun pertanyaan, seolah-olah kesaksian mereka tidak layak dipertimbangkan.Tak hanya itu, banyak sekali kejanggalan yang terungkap dipersidangan, misalnya ketika majelis hakim mengabulkan permintaan jaksa untuk memberikan salinan audit BPKP hanya berselang 7 hari, sebelum ahli BPKP diperiksa. Padahal seharusnya audit ini diserahkan sebelum pemeriksaan saksi fakta dilakukan. Karena isi audit tersebut sebagian besar bersumber dari keterangan saksi di tahap penyidikan.Akibatnya, Tom Lembong dan penasihat hukumnya kehilangan hak untuk menguji secara langsung kebenaran dasar audit tersebut. Saksi-saksi fakta keburu selesai diperiksa, audit baru diserahkan. Bagaimana mungkin bisa dikonfirmasi validitas temuan BPKP, jika dasarnya tidak bisa lagi diuji di muka sidang.Begitu juga sikap majelis hakim yang membiarkan jaksa membacakan BAP saksi penting, Mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno yang merupakan saksi fakta dan yang menyetujui untuk melibatkan perusahaan swasta dalam importasi gula pada tahun tersebut. Padahal, seharusnya ia dihadirkan dipersidangan oleh jaksa agar kesaksiannya dapat diuji silang di persidangan. Dengan kewenangan eksekutorial yang dimiliki jaksa, sangat tidak masuk akal jika saksi fakta sepenting itu tak bisa dihadirkan.Kejanggalan lainnya yang membuat miris akal sehat, jaksa menuduh terdakwa melanggar Permendag karena melakukan importasi Gula Kristal Mentah (GKM), padahal seharusnya menurut jaksa yang diperbolehkan adalah Gula Kristal Putih (GKP). Tuduhan ini gugur di persidangan. Sejumlah saksi ahli menegaskan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam Permendag yang melarang importasi GKM.Bahkan, kebijakan tersebut justru memberi nilai tambah atau efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian nasional, karena bermanfaat untuk menghidupkan industri pengolahan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan negara melalui pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan memperkuat daya saing industri dalam negeri. Bahkan kebijakan tersebut terbukti menghemat devisa negara 150 juta dolar yang harusnya diapresiasi, bukan dikriminalisasi.Kejanggalan lainnya, banyak saksi fakta memberikan keterangan yang berbeda antara BAP dan di persidangan—sebuah pertanda bahwa proses penyidikan dan penyusunan dakwaan oleh jaksa dilakukan secara manipulatif. Ketika keterangan saksi berubah drastis di bawah sumpah, maka patut dipertanyakan: apa yang sebenarnya terjadi saat BAP dibuat? Ada tekanan atau alasan lain?.Dalam sidang pembuktian juga tidak ditemukan aliran dana sama sekali ke Tom Lembong, baik langsung maupun tidak langsung. Tak ada pula mens rea/niat jahat dan actus reus/perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tom. Sebab dakwaan jaksa yang menuduh terdakwa mengkondisikan penunjukan para importir gula swasta dalam kasus ini terbantahkan di pengadilan. Faktanya, Tom Lembong tidak pernah mengenal sama sekali apalagi bertemu dengan para importir tersebut.Bahkan dalam persidangan juga terbukti bahwa importasi gula adalah keniscayaan karena angka konsumsi dalam negeri yang lebih tinggi dari produksi. Begitu juga operasi pasar untuk menjamin pemenuhan stok gula dan mengendalikan stabilitas harga gula yang melibatkan INKOPKAR dan INKOPPOL merupakan instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo. Menurut Pasal 51 ayat (1) KUHP, seseorang yang melakukan perbuatan karena menjalankan perintah jabatan yang sah dari penguasa yang berwenang, maka ia tidak dapat dipidana.Vonis Hakim dan Puncak RekayasaSemua fakta tersebut tidak membuat jaksa berhenti menuntut. Bahkan kian membabi buta. Pun dengan majelis hakim yang abai dengan semua fakta persidangan. Puncak kesesatan itu berujung pada putusan hakim yang membuat semua rekayasa itu terkonfirmasi dan tak terbantahkan. Majelis hakim memvonis Tom Lembong 4,5 tahun dan denda Rp750 juta tanpa kesalahan apapun yang terbukti secara sah di persidangan. Bahkan, semua pertimbangan terkait unsur pidana korupsi yang dijadikan dasar hakim dalam memvonis Tom Lembong semuanya sesat.Misalnya, Tom Lembong didakwa dan divonis karena penyalahgunaan wewenang jabatanya sebagai Mendag. Tetapi pasal yang digunakan adalah Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Pasal tersebut terdiri dari tiga unsur: a. setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum b. memperkaya diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi, c. merugikan keuangan negara. Pasal tersebut berlaku umum untuk setiap orang yang tidak terkait dengan kewenangan jabatan. Sementara untuk penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang jabatan dan tergolong tindak pidana, berlaku Pasal 3 UU Tipikor. Ironisnyahakim menggunakan Pasal 2 (ayat) 1 untuk memvonis, tetapi ketika mengurai unsur kesalahannya didasarkan pada Pasal 3 yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang jabatan sebagai penyelenggara negara.Bilapun menggunakan dasar Pasal 3, unsur penyalahgunaan wewenang jabatan yang dituduhkan ke Tom Lembong dalam persidangan tidak terbukti. Sebab semua prosedur telah dilakukan. Apalagi ada perintah dari Presiden saat itu sebagai penguasa yang berwenang, sehingga Tom Lembong tidak bisa dipidana (Pasal 51 ayat (1) KUHP).Sementara unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan/atau korporasi juga tidak terbukti. Sebab unsur tersebut substansinya adalah konjungsi subordinative. Artinya induk kalimat dari unsur tersebut adalah perbuatan memperkaya diri sendiri. Adapun memperkaya orang lain atau korporasi adalah memperkaya diri sendiri secara tidak langsung melalui orang lain/korporasi. Faktanya, tidak ada aliran dana sama sekali ke Tom Lembong, sehingga unsur ini tidak terbukti.Selanjutnya, terkait unsur adanya kerugian negara. Hakim menghitung sendiri unsur kerugian negara dan menemukan angka kerugian Rp194,7 Milyar. Ironisnya, nominal kerugian tersebut sifatnya adalah potensi keuntungan yang harusnya diterima PPI dari perusahaan importir gula yang ditunjuk. Bukan kerugian nyata. Sementara sebagaimana dijelaskan di atas, unsur kerugian negara berdasarkan putusan MK 25/PUU-XIV/2016 harus bersifat nyata (sudah terjadi), bukan potensi keuntungan. Dasar perhitungan hakim pun menyesatkan. Sebab faktanya, PPI sebagai BUMN mendapatkan keuntungan sekitar Rp32,1 M.Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Lembong menyapa awak media usai dinyatakan bebas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Foto: Febria Adha Larasati/kumparanArus Deras Dukungan Publik ke Tom LembongSituasi tersebut memantik amarah publik. Inilah puncak rekayasa. Gelombang kritik pun lahir dari masyarakat sipil, akademisi, tokoh bangsa, dan masyarakat luas yang menolak diam melihat ketidakadilan dipertontonkan secara brutal. Di ruang-ruang diskusi, hingga di hampir semua platform media sosial, suara-suara itu menjelma menjadi kesadaran kolektif. Mereka menolak tunduk dan terus menuntut agar hukum kembali ke jalurnya.Sebaliknya, puncak rekayasa tersebut memunculkan dukungan publik yang terus membesar dan konsisten terhadap Tom Lembong. Besarnya dukungan tersebut tidak lahir dari sekadar empati, melainkan dari pemahaman terhadap substansi perkara ini. Mereka dengan sederhana mampu memahami karena Tom Lembong dan penasehat hukumnya mampu menyajikan fakta-fakta di persidangan secara jelas dan runtut. Begitu pula narasi dalam konferensi pers yang disampaikan secara logis dan mudah diterima akal sehat. Keseluruhan informasi ini membentuk satu keyakinan, bahwa yang sedang berlangsung bukan sekadar perkara hukum biasa, melainkan bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan yang harus dilawan bersama.Dari titik inilah, suara-suara publik mulai menyatu menjadi desakan moral yang tak terbendung. Desakan ini lahir bukan karena agitasi, tetapi karena kebenaran yang terlalu terang untuk diabaikan dan tidak ada pilihan untuk diam. Sebab jika semua diam ketika hukum dibajak, maka besok tak ada lagi ruang aman bagi siapa pun. Ketika satu orang dihancurkan dengan hukum yang diselewengkan, maka setiap orang pada akhirnya akan menunggu giliran menjadi tersangka tanpa kesalahan. Tekanan moral inilah yang perlahan-lahan menembus tembok kekuasaan, hingga akhirnya negara memilih mendengar dan bertindak di jalan yang benar.Abolisi dan Kehadiran NegaraMeski terlambat, Presiden Prabowo Subianto, dengan pertimbangan dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya secara resmi memberikan abolisi kepada Tom Lembong melalui Keppres No 18 Tahun 2025. Keputusan ini merupakan bentuk koreksi konstitusional terhadap proses hukum yang sejak awal telah sarat kejanggalan, ketidakadilan, dan aroma politisasi. Secara filosofis, abolisi ini bukan sekadar tindakan hukum, melainkan juga pernyataan moral dan politik dari negara bahwa telah terjadi ketidakadilan nyata terhadap Tom Lembong. Sebuah penegasan bahwa ia bukan koruptor/pelaku kejahatan, melainkan simbol perlawanan terhadap kriminalisasi.Secara normatif, abolisi merupakan hak prerogatif dan kewenangan konstitusional presiden, sebagaiman diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 ayat (2) yang mengamanatkan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Abolisi diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi. Merujuk pada Pasal 4 UU Aquo, abolisi adalah penghentian tuntutan pidana. Artinya, abolisi menghapus proses penuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang. Pemberian abolisi membuat seluruh proses penuntutan terhadap dirinya dianggap tidak pernah ada. Berbeda dengan amnesti yang merupakan bentuk pengampunan negara dengan menghapus seluruh akibat hukum dari tindak pidana yang telah dilakukan.Sederhananya, abolisi belum terbukti ada perbuatan pidananya, karena penuntutannya dihapus. Sementara amnesti telah terjadi perbuatan pidana, akan tetapi hukumannya dihapuskan sebagai bentuk pengampunan negara. Dalam konteks Tom Lembong, meski putusan PN Tipikor Jakarta Pusat telah dijatuhkan dengan Putusan 34/PID.SUS-TPK/2025/PN.JKT.PST, namun putusan a quo belum inkrah karena Tom Lembong secara resmi telah mengajukan upaya banding. Dengan demikian perkara tersebut masih berjalan, sehingga kehadiran negara melalui abolisi untuk menghentikan semua penuntutan terhadap Tom Lembong adalah tepat karena sejalan dengan amanat konstitusi dan UU.Meski Keppres 18 Tahun 2025 tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong tidak disebutkan tujuan filosofisnya, namun kita semua bisa menafsirkan bahwa kehadiran negara melalui abolisi tersebut adalah respons terhadap proses peradilan yang tidak adil (unfair trial) akibat rekayasa politik. Pengadilan yang seharusnya menjadi benteng moral untuk menjamin perlindungan HAM justru menjadi instrumen kepentingan politik untuk membungkam kebenaran dan mengkhianati keadilan.Dalam sejarah republik, abolisi secara formal tercatat hanya dikeluarkan setidaknya sembilan kali: tiga kali pada era Soekarno, satu kali di masa Soeharto, dua kali di era Habibie, satu kali di bawah pemerintahan Gus Dur, satu kali di masa Presiden SBY, dan satu kali di era Prabowo Subianto. Berbeda dengan amnesti yang lebih lazim diberikan dan memiliki cakupan yang lebih luas, abolisi bersifat selektif dan menandai keberanian negara untuk mengakui adanya cacat keadilan dalam proses hukum terhadap individu tertentu.Karena itu, pemberian abolisi kepada Tom Lembong menjadi penanda bahwa negara masih memiliki ruang untuk mendengar nurani publik. Ketika proses hukum telah tersesat dalam labirin kepentingan politik, tekanan moral dari masyarakat menjadi cahaya yang menuntun negara kembali ke rel konstitusional. Ini bukan kemenangan pribadi, tetapi kemenangan bagi akal sehat, bagi rasa keadilan, dan bagi rakyat yang tidak lelah bersuara.Momentum Reformasi Sistem PeradilanKeberanian presiden untuk memberikan abolisi harus menjadi pijakan awal bagi reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan kita. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi individu, tetapi martabat negara hukum itu sendiri. Tom Lembong kini telah bebas, tetapi perjuangan untuk memastikan agar tidak ada "Tom-Tom" lain yang menjadi korban berikutnya harus terus berjalan. Sebab keadilan sejati tak boleh datang terlambat, apalagi datang karena tekanan. Bila sistem peradilan berjalan sebagaimana mestinya-adil, imparsial, dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah-maka abolisi tidak diperlukan.Reformasi sistem peradilan karenanya harus dimulai dari pembenahan paling mendasar: integritas aparatur penegak hukum. Jaksa, penyidik, hingga hakim harus berdiri di atas prinsip imparsialitas dan keberpihakan pada kebenaran, bukan tunduk pada tekanan kekuasaan atau arus politik. Proses hukum tak boleh menjadi alat balas dendam atau sarana mempertahankan dominasi. Mekanisme pengawasan yang independen dan efektif—baik internal maupun eksternal—juga tak kalah penting agar setiap penyimpangan dapat dicegah sejak dini dan tidak menunggu sampai jatuhnya korban.Oleh karena itu, abolisi terhadap Tom Lembong harus dibaca sebagai awal dari koreksi yang lebih besar dalam sistem peradilan kita. Negara tidak cukup hanya menyelamatkan satu orang yang dikriminalisasi—ia harus membersihkan akar masalah yang memungkinkan penyalahgunaan hukum terjadi. Aparat penegak hukum yang abai, lembaga yang membiarkan, hingga aktor-aktor kekuasaan yang bermain dalam ruang gelap peradilan, harus dipertanggungjawabkan. Tanpa itu, abolisi hanya menjadi tempelan moral di atas luka yang terus bernanah.Inilah momentum bagi kita, bukan hanya memperbaiki hukum, tetapi memulihkan kepercayaan rakyat kepada hukum itu sendiri. Karena keadilan yang terluka di satu tubuh warga negara adalah luka bagi seluruh republik.