Ilustrasi: Antara keuntungan uang korporasi & resiko pidana. (Foto: Bermix Studio, under the Unsplash license)Membaca editorial The Jakarta Post, “Questioning the KPK’s credibility”, 2 Desember 2025, dahi saya langsung mengkerut. Betapa tidak: pengadilan memvonis para mantan direksi PT ASDP—empat setengah tahun untuk Ira Puspadewi dan empat tahun untuk Harry Muhammad Adhi Caksono serta Muhammad Yusuf Hadi—tetapi di saat yang sama, pengadilan mengakui tidak ada bukti bahwa mereka memperkaya diri sendiri.Putusan menyebut bahwa keputusan akuisisi operator swasta itu dilakukan untuk memperluas layanan perusahaan, sebuah pilihan manajerial yang dalam banyak yurisdiksi justru berada di bawah perlindungan business judgment rule. Bahkan, satu hakim menyatakan pendapat berbeda, menegaskan bahwa langkah tersebut adalah kebijakan komersial yang tidak seharusnya digiring menjadi perkara kriminal.Ketegangan antara logika bisnis dan pendekatan pidana inilah yang kemudian menegakkan kembali pertanyaan tentang apakah KPK benar-benar memahami batas antara risiko korporasi dan niat jahat (mens rea) dalam tindak pidana korupsi.Ketika Keputusan Bisnis Diseret ke Ruang PidanaDari perspektif bisnis dan hukum modern, kasus ASDP ini menghidupkan ulang perdebatan klasik: Kapan negara berhak masuk terlalu jauh ke dalam dapur perusahaan? Dalam literatur tata kelola korporasi, Pakar Hukum Korporasi Amerika, Stephen M. Bainbridge, menjelaskan bahwa business judgment rule bertujuan memberi ruang bagi direksi untuk mengambil keputusan berisiko tanpa ketakutan berlebihan terhadap kriminalisasi.Ilustrasi penyalahgunaan dana. Foto: Shutter StockTeori Bainbridge menempatkan rasionalitas proses—bukan hasil—sebagai ukuran. Selama keputusan diambil dengan itikad baik, informasi memadai, dan tujuan bisnis yang jelas, kegagalan tidak otomatis menjadi kejahatan.Menggunakan pisau analisis itu, kasus ASDP menyingkap jurang antara cara dunia usaha bekerja dan cara penegak hukum memahaminya. Tanpa bukti aliran dana gelap, tanpa bukti niat memperkaya diri, tanpa bukti penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi, kriminalisasi suatu kebijakan korporasi berisiko menciptakan preseden yang menggetarkan banyak direksi BUMN maupun perusahaan swasta.Dalam konteks manajemen modern, kerugian bisnis adalah hal lumrah; yang tidak lumrah adalah ketika kerugian dijadikan dasar otomatis untuk mempidanakan pengambil keputusan.Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan hanya nasib tiga orang direksi. Yang lebih besar ialah sinyal yang dikirim negara kepada ekosistem dunia usaha: “bahwa setiap salah langkah, betapa pun rasional prosesnya, bisa ditafsirkan sebagai tindak pidana.”Ilustrasi terpidana di penjara. Foto: Getty ImagesSinyal seperti ini memicu efek takut berinvestasi, mendorong direksi mengambil pilihan ultra-aman (yang justru merugikan inovasi), dan melemahkan posisi Indonesia sebagai negara yang dianggap memahami dinamika korporasi modern.KPK, Krisis Kepercayaan dan Implikasi ke Depan Editorial The Jakarta Post menegaskan bahwa KPK tampak gagal membedakan antara keputusan bisnis yang rasional dan tindak pidana. Kritik ini bukan sekadar retorika; ia bergema kuat dalam diskusi akademik dan lembaga-lembaga internasional.Setelah revisi UU KPK 2019, yang banyak dinilai melemahkan independensi komisi, berbagai pengamat mencatat meningkatnya tuduhan bahwa lembaga ini lebih politis ketimbang profesional. Ketika keputusan bisnis yang wajar diperlakukan layaknya skema korupsi, kesan intervensi politik semakin sulit dibantah.Dalam kerangka teori tata kelola pemerintahan yang dikembangkan Michael Johnston, korupsi tumbuh subur di lingkungan yang lemah akuntabilitasnya, kabur batas kewenangannya, dan tumpang tindih logika politik serta birokrasi. Johnston menekankan bahwa pemberantasan korupsi hanya efektif ketika institusi penegak hukum mampu menjaga konsistensi standar pembuktian dan tidak menyimpang dari batas objektif mandatnya.Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparanKasus ASDP menunjukkan gejala sebaliknya. Pemidanaan atas kebijakan bisnis tanpa bukti keuntungan pribadi menjadikan proses hukum tampak seperti overreach. Ketika kemudian presiden terpaksa memberikan grasi, publik melihat bukan penyelesaian, tetapi gejala disfungsi antarsistem: penyidikan yang lemah, penuntutan yang dipaksakan, dan eksekutif yang harus turun tangan meredakan kegaduhan. Situasi seperti ini menurunkan legitimasi lembaga peradilan dan sekaligus legitimasi lembaga antikorupsi sendiri.Implikasinya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia sungguh tidak ringan. Pertama, dunia usaha dapat kehilangan kepercayaan pada konsistensi hukum, yang pada akhirnya menghambat investasi dan inovasi. Kedua, kriminalisasi kebijakan bisnis membuat KPK rentan dianggap mengejar target politik alih-alih membongkar korupsi struktural yang jauh lebih kompleks. Ketiga, publik dapat semakin apatis terhadap upaya antikorupsi karena melihat ketidakadilan prosedural yang terang benderang.Indonesia membutuhkan KPK yang kuat, independen, dan mampu membedakan secara tegas antara kesalahan bisnis dan niat koruptif. Tanpa itu, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi drama rutin yang kehilangan makna.Kasus ASDP mestinya menjadi lonceng peringatan: bahwa negara harus memperkuat pemahaman hukum ekonomi modern, menegakkan standar pembuktian yang ketat, dan memulihkan independensi lembaga antikorupsi—atau kita akan terus tersesat dalam pusaran kriminalisasi kebijakan yang malah merugikan negara dan masyarakat.