Tidak Ada Bahaya, tapi Tetap Takut pada Malam Hari: Sebuah Tinjauan Biologis

Wait 5 sec.

Ilustrasi penulis pulang jalan sendirian menuju kos. Sumber: Foto pribadiPada malam hari, suasana yang sunyi dan minim pencahayaan sering membuat seseorang lebih siaga saat berjalan di tengah malam, meski sebenarnya secara objektif aman. Detak jantung bisa terasa meningkat karena otak cenderung menafsirkan kegelapan sebagai kemungkinan sinyal ancaman. Kira-kira bagaimana dapat terjadi peristiwa demikian?Malam kerap dikaitkan sebagai waktu yang berisiko karena gelap menimbulkan keterbatasan penglihatan yang pastinya membuat seseorang berspekulasi hal-hal negatif. Dalam kondisi seperti inilah, pikiran seseorang cenderung mudah mengarah pada kemungkinan yang negatif, seperti contohnya kemungkinan adanya pencurian, gangguan makhluk halus, berbagai macam asumsi negatif dari warga sekitar, dan sebagainya. Pengaruh media hingga pengalaman pribadi ikut memperkuat anggapan bahwa malam adalah waktu yang perlu diwaspadai.Sensasi takut pada malam hari merupakan respons alami karena tubuh masih membawa mekanisme pertahanan warisan nenek moyang yang menganggap bahwa malam hari merupakan waktu yang tidak baik untuk beraktivitas. Dahulu, malam dipandang berisiko karena dianggap banyak predator aktif pada malam hari, seperti hewan pemangsa harimau, singa, serigala yang berburu pada malam hari.Persepsi tersebut mendorong terbentuknya ketakutan terhadap kegelapan sebagai strategi bertahan hidup, reaksi ini dikenal sebagai “fight or flight” dan dipicu oleh pelepasan hormon stres.Berikut penjelasan lebih dalam terkait perasaan takut pada malam hari;Contohnya saat melihat kucing yang berhadapan dengan anjing dan menunjukkan perlawanan, seperti memukul hingga mencakar di tengah situasi dalam ancaman. Reaksi serupa ditemukan saat seseorang berjalan sendirian di tengah malam. Walau secara objektif tampak aman, sel-sel otak yang berfungsi sebagai “alarm” nyatanya akan tetap aktif. Rasa takut saat keluar malam dipicu oleh pelepasan hormon stres di otak, terutama amigdala dan hipotalamus yang mengatur respons terhadap ancaman.Pada tahap pelepasan hormon stres yang disebut “alarm”, kelenjar adrenal melepas hormon epinefrin, hormon kortisol, dan hormon aldosteron. Hal ini tertuang pada buku Kalat, J.W. (2020)Kelenjar adrenal melepaskan hormon epinefrin, sehingga merangsang sistem saraf simpatik untuk menyiapkan tubuh untuk aktivitas darurat singkat. Kelenjar adrenal juga melepaskan hormon kortisol, yang meningkatkan glukosa darah, memberi tubuh energi ekstra, dan hormon aldosteron, yang penting untuk menjaga garam darah dan volume darah..Sistem saraf simpatik memiliki jalur neuron yang pendek karena dituntut untuk memberikan respons cepat, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, mempercepat laju pernapasan, hingga mendilatasi pupil.Proses terakhir yaitu resistensi, manusia akan memilih salah satu respons yang sesuai dengan kapasitas dirinya. Apakah manusia mampu berlari atau menyerang. Ketika pelarian berhasil atau saat ia berhasil mengalahkan predator, kortisol akan turun setelah ancaman berlalu. Hal ini juga tertuang pada buku Kalat, J.W. (2020)Respons simpatik menurun, tetapi kelenjar adrenal terus mengeluarkan kortisol dan hormon lain yang memungkinkan tubuh mempertahankan kewaspadaan yang berkepanjangan. Tubuh beradaptasi dengan situasi berkepanjangan dengan cara apa pun yang bisa dilakukan, seperti dengan mengurangi aktivitas untuk menghemat energi. Tubuh juga memiliki cara beradaptasi dengan dingin atau panas yang berkepanjangan, oksigen rendah, dan sebagainya.Sensasi takut saat berada di luar pada malam hari merupakan reaksi biologis yang normal dan berakar pada mekanisme pertahanan manusia sejak zaman nenek moyang. Kegelapan membatasi penglihatan dan membuat otak lebih peka terhadap kemungkinan ancaman, sehingga memicu aktivasi amigdala, hipotalamus, dan pelepasan hormon stres oleh kelenjar adrenal. Proses ini menggerakkan sistem saraf simpatik untuk mempersiapkan tubuh menghadapi bahaya melalui respons “fight or flight”. Walaupun situasinya sering kali aman, tubuh tetap bereaksi dengan meningkatkan detak jantung, kewaspadaan, dan energi cadangan. Setelah ancaman dianggap hilang, kadar hormon stres menurun dan tubuh kembali ke kondisi stabil. Dengan demikian, sensasi takut pada malam hari bukan tanda kelemahan, melainkan “alarm” normal dari bagian sistem perlindungan alami yang membantu manusia bertahan hidup.Jika rasa takut terus muncul karena faktor eksternal, seperti area yang benar-benar rawan atau minim penerangan, maka perbaikan lingkungan harus diprioritaskan. Di sisi lain, jika kecemasan lebih banyak dipicu oleh persepsi negatif, maka latihan regulasi stres dan edukasi mengenai cara kerja sistem pertahanan tubuh dapat membantu menurunkan reaksi biologis yang tidak diperlukan. Dengan memahami cara tubuh bekerja dan menilai situasi secara objektif, seseorang dapat merespons malam hari secara lebih adaptif tanpa terjebak pada kewaspadaan berlebihan.