Di Ujung Jalan Buntu, Kebenaran Menemukan Arahnya Sendiri

Wait 5 sec.

Akhirnya pejabat korup dan jaksa bahar ditangkap. (Ilustrasi)Pertarungan memasuki babak final. Di bawah sorot lampu ruang konferensi pers KPK yang steril dan dingin, Fitrah berdiri tegap di samping Bos Top dan Bu Cynthia. Kumis palsunya sudah dibuang, diganti dengan ekspresi tekad baja yang sepertinya sudah inkracht."Hari ini, kami menyerahkan bukti-bukti konkret terkait dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial provinsi senilai miliaran rupiah," ujar Bu Cynthia, suaranya kini terdengar tenang namun penuh otoritas, bukan lagi judes, seolah-olah dia majelis hakim yang siap mengetuk palu keadilan.Fitrah mengambil alih mikrofon. Dia tidak gagap lagi, skill public speaking-nya sudah setara pengacara mahal. "Dana ini seharusnya menjadi tali asih bagi mereka yang membutuhkan, yang paling terdampak krisis. Tapi dana itu dirampok dengan skema fiktif yang rapi. Kami punya bukti email, kuitansi palsu, dan kesaksian warga di lapangan yang menjadi korban perbuatan melawan hukum ini, kejahatan ini nyata!"Konferensi pers itu meledak di media nasional, lebih heboh dari berita artis cerai. KPK, di bawah tekanan publik yang masif berkat narasi media Kabar Kilat yang gencar dan dukungan netizen, bergerak cepat. Status Fitrah sebagai tersangka narkoba dan suap mendadak dicabut karena tidak memiliki alat bukti yang sah (sabu di mobilnya ternyata juga fiktif, rekayasa yang terburu-buru dan amburadul).Proses hukum berjalan maraton, secepat ojek online yang membawa Fitrah kabur dulu. Jaksa Bahar ditangkap di kedai kopi eksklusif langganannya, tepat saat sedang menyeruput kopi mahalnya. Pejabat tinggi provinsi itu juga tak bisa mengelak dari jeratan KPK yang didukung bukti kuat dari Fitrah.Vonis dijatuhkan di Pengadilan Tipikor beberapa bulan kemudian. Keduanya dinyatakan bersalah atas pasal berlapis, termasuk korupsi dan pencucian uang, dengan hukuman penjara yang lama dan denda yang fantastis. Kemenangan mutlak bagi keadilan.Suasana haru menyelimuti redaksi Kabar Kilat malam itu. Bos Top menepuk punggung Fitrah, wajahnya menunjukkan ekspresi yang jarang terlihat; bangga bercampur lega. "Kamu sudah membuktikan, Fit. Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Kemenangan ini bukan cuma buat kita, tapi buat warga desa yang kamu temui. Kamu sudah jalankan asas keadilan sosial dengan baik."Fitrah hanya tersenyum. Dia teringat kembali wajah-wajah tulus warga desa yang miskin, yang menaruh harapan padanya. Dia teringat aroma UGD yang penuh drama, Polresta yang bau rokok, dan kini, aroma keadilan yang sedikit pahit tapi melegakan, mirip kopi tanpa gula buatan Bos Top.Keesokan harinya, Fitrah kembali ke desa itu. Dia tidak datang sebagai wartawan yang mencari berita, tapi sebagai Fitrah Nusantara, seorang pemuda yang berhutang budi pada mereka. Dana bansos yang berhasil diselamatkan dari koruptor kini disalurkan dengan benar, tidak ada lagi ‘proyek pisang goreng’ atau ‘kopi darat’ fiktif.Di tengah desa, berdiri sebuah posko bantuan yang ramai. Warga menyambutnya dengan senyum dan doa. Seorang nenek tua yang matanya berkaca-kaca memegang tangannya."Terima kasih, Nak. Berkat kamu, kami bisa makan layak lagi," ujarnya lirih, tulus dari hati.Fitrah tidak bisa berkata-kata. Air matanya menetes. Bukan karena ancaman, bukan karena takut, tapi karena keharuan yang mendalam. Dia menemukan arti sebenarnya dari profesinya di momen itu. Dia tidak lagi butuh lencana mengkilap atau ponsel canggih, pengakuan dari rakyat jelata ini jauh lebih berharga daripada penghargaan fiber murah dari kantornya.Dia menatap langit sore yang jingga. Pertarungan memang belum usai, masih banyak Hantu Dana Bansos lain di luar sana. Tapi untuk saat ini, keadilan telah ditegakkan, dan hati Fitrah terasa penuh, siap untuk babak selanjutnya, seberat apapun itu. (Bersambung – Tawaran dari Dunia Penuh Janji)