Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Tanpa terasa, sudah delapan bulan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bergulir. Selama itu pula, program andalan Presiden Prabowo Subianto itu menuai kasus keracunan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.Berdasarkan laporan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana ke Presiden Prabowo Subianto, jumlah kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi sepanjang pelaksanaan program MBG adalah pada periode 6 Januari hingga 31 Juli 2025, terbentuk 2.391 SPPG dengan 24 kasus kejadian. Sementara pada 1 Agustus hingga 27 September 2025 bertambah 7.244 SPPG dengan 47 kasus kejadian.Ilustrasi keadaan siswa di Jawa Barat yang mengalami keracunan program makan siang gratis (ANTARA) “Data menunjukkan bahwa kasus banyak dialami oleh SPPG yang baru beroperasi karena SDM masih membutuhkan jam terbang,” ujarnya usai Rapat Koordinasi Penanggulangan KLB pada Program Prioritas MBG di Kementerian Kesehatan, Minggu 28 September 2025.Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, mengungkapkan sejumlah masalah yang berpotensi meyebabkan makanan pada program MBG menjadi pemicu keracunan massal. Secara umum, WHO menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan.Menurutnya, bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan. Pertama, ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan. “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” imbuhnya.Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.Histopathology - India.net Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Norovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia. Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten ("Persistent organic pollutants - POPs") seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.“Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” terang Tjandra.Pentingnya Edukasi dan Sertifikasi SLHS serta HACCPDosen Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pramudya Kurnia, mendorong pemerintah untuk segera melakukan evaluasi pelaksanaan MBG. Evaluasi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan Dinas Kesehatan di seluruh daerah di Indonesia. “Pemerintah harus menguatkan kembali edukasi kepada pihak yang terlibat dalam rantai pasok MBG. Kalau bisa Dinas Kesehatan hadir di SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) untuk mengevaluasi, kemudian memberikan rekomendasi,” tuturnya.Dia berpendapat, kurangnya pengawasan tata laksana sistem pangan massal juga menjadi biang keladi kasus keracunan MBG. Karena itu, pemerintah harus segera melakukan langkah cepat dengan mengaudit bahan baku dan vendor, memberikan pelatihan dan sertifikasi tenaga dapur, serta menerapkan standardisasi proses produksi dan distribusi. “Pelatihan higienitas dan keamanan pangan wajib dilakukan. Juga penerapan checklist bahan baku makanan dan harus memperhatikan tanggal kadaluarsa bahan baku,” imbuhnya.Pramudya mengatakan, cemaran mikrobiologis dapat terjadi selama proses produksi menu MBG, mulai dari saat bahan makanan dipanen, didistribusikan ke dapur MBG, hingga disajikan kepada siswa. Cemaran itu bisa ada di semua produk, terutama produk-produk hewani seperti daging ayam, sapi, maupun ikan. “Produk hewani merupakan bahan pangan yang sensitif karena memiliki kandungan air dan protein yang tinggi, sehingga menjadi tempat yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme,” sambungnya.Selain itu, keracunan MBG juga dapat disebabkan oleh cemaran kimia seperti cemaran pestisida pada sayuran dan buah-buahan. Cemaran kimia juga dapat terjadi akibat penggunaan bahan tambahan pada makanan yang tidak tepat, seperti penggunaan bumbu buatan yang melebihi takaran.“Pengolahan bahan makanan menjadi menu MBG yang tidak sesuai prosedur juga berisiko menurunkan kualitas makanan yang dihasilkan. Ketidaksesuaian itu antara lain penggunaan alat masak yang tidak steril, alat makan yang kurang bersih, air yang tercemar, serta penyimpanan bahan makanan yang asal-asalan,” beber Pramudya.Dapur MBG di bilangan Seskoal Jaksel (Antara) Berbagai penyebab keracunan pada program MBG yang dianggap bermuara pada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pengelola dapur MBG ini yang pada akhirnya membuat pemerintah menutup sementara SPPG yang bermasalah. “Buntut kasus keracunan MBG di sejumlah daerah, pemerintah memutuskan menutup sementara SPPG yang bermasalah sambil menunggu hasil evaluasi dan investigasi,” tegas Menko Pangan, Zulkifli Hasan.Dia menerangkan, sejumlah hal dievaluasi terkait SPPG yakni faktor kedisiplinan, kualitas, dan kemampuan juru masak. Zulhas juga menegaskan, seluruh SPPG lainnya pun akan dievaluasi terkait kedisiplinan, kualitas, dan kemampuan dari juru masak. “Evaluasi tidak hanya di tempat yang terjadi (keracunan), tetapi di seluruh SPPG,” imbuhnya.Meski belum menyebut jumlah SPPG yang ditutup, Zulhas memastikan evaluasi difokuskan pada kedisiplinan juru masak dan kualitas pengolahan makanan. Pemerintah juga mewajibkan sterilisasi alat makan serta perbaikan alur sanitasi, mulai dari air bersih hingga pembuangan limbah. “Seluruh SPPG wajib mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Tanpa itu, dapur tidak boleh beroperasi,” tandasnya.Berdasarkan data Kantor Staf Kepresidenan (KSP), dari 8.549 dapur MBG di seluruh Indonesia, hanya 34 dapur yang sudah mengantongi SLHS. Artinya, ribuan dapur lain masih rawan dan tidak memenuhi standar sanitasi. Padahal, SLHS adalah sertifikat resmi dari dinas kesehatan yang menjamin kebersihan dapur, alat masak, hingga keamanan makanan. Tanpa itu, makanan berpotensi membawa penyakit dan keracunan massal.Wakil Kepala BGN, Nanik S Deyang mengakui, persoalan di SPPG terkait dengan kurangnya pehamanan ahli gizi baru SPPG terhadap standar keamanan pangan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Sebab, BGN memang mengalami keterbatasan tenaga ahli gizi berpengalaman sehingga sebagian besar lulusan baru akhirnya direkrut untuk mengisi kebutuhan ribuan dapur MBG di berbagai daerah.Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang/FOTO: Diah Ayu-VOI “Saya umumkan, silakan para ahli gizi se-Indonesia mendaftar ke dapur-dapur MBG, karena kami kekurangan. Kalau bisa yang berpengalaman, tapi stoknya sudah habis, di sekolah-sekolah pun sudah terserap,” ujarnya.Nanik menyatakan, pihaknya tidak menutup mata soal keterbatasan pengalaman tenaga yang direkrut. Namun, BGN tetap akan memberi kesempatan bagi generasi muda untuk terlibat. “Anak-anak muda sekarang pintar-pintar. Dengan medsos dan pelatihan, mereka cepat dididik. Kalau ada salah, mari kita perbaiki bersama,” imbuhnya.Meski dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia, Nanik menegaskan BGN berupaya menjaga keseimbangan antara kuantitas dan kualitas. “Kami mau kualitas, tapi kebutuhan di lapangan juga sangat besar. Karena itu, perekrutan tetap jalan sambil kami tingkatkan pembekalan dan verifikasi dapur secara ketat,” tukasnya.“Saat ini terdapat sekitar 100 verifikator yang diturunkan untuk mengawasi jalannya operasional dapur MBG. Kalau perlu, jumlahnya akan ditambah agar pengawasan lebih optimal,” sambung Nanik.Langkah yang diambil Kemenko Pangan termasuk BGN tentu selaras dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto yang meminta agar setiap SPPG memiliki koki terlatih. Bahkan, presiden meminta SPPG dilengkapi alat rapid test untuk memeriksa kualitas makanan, memiliki alat sterilisasi food tray, memasang filter air hingga CCTV yang terhubung langsung ke pusat. Presiden Prabowo berharap langkah-langkah tersebut dapat memperkuat kualitas layanan dan memastikan program pemenuhan gizi nasional berjalan lebih aman serta terpercaya.