Seminar Nasional Hukum Administrasi Negara bertajuk “Polemik Tanah Terlantar di Indonesia: Antara Hak Menguasai Negara dan Kepemilikan Tanah oleh Rakyat” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Lampung | Foto : Dok. IstLampung Geh, Bandar Lampung – Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) menggelar Seminar Nasional Hukum Administrasi Negara bertajuk “Polemik Tanah Terlantar di Indonesia: Antara Hak Menguasai Negara dan Kepemilikan Tanah oleh Rakyat” digelar di Gedung A FH Unila, pada Selasa (30/9).Ketua pelaksana yang juga ketua bagian HAN FH Unila, Marlia Eka Putri mengatakan, pemilihan tema seminar ini bertepatan dengan momentum Hari Agraria dan Tata Ruang. Menurutnya, isu tanah terlantar masih menjadi persoalan penting dalam hukum agraria.“UUPA dan peraturan turunannya menegaskan bahwa setiap tanah harus dimanfaatkan sesuai fungsi sosialnya. Namun dalam implementasi kebijakan, penetapan tanah terlantar kerap menghadapi tantangan, mulai dari konflik kepentingan hingga resistensi dari masyarakat kecil maupun korporasi besar,” ujar Marlia.Sekretaris Pelaksana Bagian Hukum Administrasi Negara FH Unila, Agung Budi Prastyo menambahkan, seminar nasional ini digelar untuk memberi ruang kajian kritis terkait regulasi dan kebijakan tanah terlantar.“Tujuan utama kegiatan ini adalah mengkaji regulasi, mengidentifikasi polemik aktual, serta memberikan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat agenda reforma agraria,” kata Agung.Seminar Nasional Hukum Administrasi Negara bertajuk “Polemik Tanah Terlantar di Indonesia: Antara Hak Menguasai Negara dan Kepemilikan Tanah oleh Rakyat” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Lampung | Foto : Dok. IstAcara dibuka oleh Dekan FH Unila, Dr. Muhammad Fakih, lalu dilanjutkan pemaparan materi dari tiga narasumber. Seminar ini diikuti peserta secara luring dan daring melalui Zoom dan YouTube.Guru Besar FH Unila bidang Agraria dan Pertanahan, Prof. Dr. F.X. Sumarja selaku narasumber menjelaskan, kriteria tanah terlantar sebagaimana diatur dalam UUPA dan PP Nomor 20 Tahun 2021.“Tanah dianggap terlantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara sesuai haknya. Kriteria ini berlaku pada Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, maupun Hak Pengelolaan,” kata Sumarja.Kepala Kantor Wilayah Pertanahan, Hasan Basri Natamenggala menegaskan, pemerintah tidak langsung menetapkan suatu tanah sebagai tanah terlantar. Ia menyebut ada prosedur yang harus dilalui.“Penertiban tanah terlantar dilakukan bertahap, mulai evaluasi selama 180 hari, peringatan tertulis pertama 90 hari, peringatan kedua 45 hari, hingga peringatan ketiga 30 hari. Jika tidak ada tindak lanjut, dalam 30 hari berikutnya tanah diusulkan kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar,” jelas Hasan.Sementara itu, Lawyer Kantor Hukum WFS & Rekan, Arif Hidayatullah memaparkan data konflik pertanahan di Lampung.Berdasarkan catatan LBH Bandarlampung, luas lahan yang menjadi objek sengketa mencapai 3.280 hektare.“Konflik tersebut tersebar di Lampung Selatan, Way Kanan, dan Lampung Timur, termasuk sengketa di kawasan pesisir. Data terbaru Sensus Pertanian 2023 juga menunjukkan jumlah usaha pertanian perorangan turun 7,45 persen dibanding 2013,” ujarnya.Arif menekankan perlunya kebijakan yang lebih adil terkait kepemilikan dan pemanfaatan tanah.“Indonesia adalah negara agraris. Karena itu, petani dan sektor pertanian harus menjadi prioritas dalam agenda reforma agraria,” pungkasnya. (Cha/Ansa)