Juru Bicara KPK Budi Prasetyo (Tsa Tsia/VOI)JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan upaya paksa bisa dilakukan terhadap saksi dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag) yang tak kooperatif.Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK Budi Prasetyo yang menyebut ada sejumlah saksi tak hadir memenuhi panggilan penyidik pada Rabu, 1 Oktober lalu. Penyidik disebutnya berwenang memutuskan perlu atau tidaknya melakukan upaya paksa, seperti mengajukan larangan berpergian ke luar negeri."KPK punya kewenangan untuk melakukan upaya paksa pada tahap penyidikan, seperti tindakan pencegahan ke luar negeri kepada pihak-pihak yang keberadaannya dibutuhkan untuk tetap di Indonesia, guna memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik," kata Budi kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat, 3 Oktober.Budi menyebut ada dua saksi yang tak hadir dalam pemeriksaan itu. Mereka adalah Asrul Aziz Taba selaku Ketua Umum Kesatuan Travel Haji Umrah Indonesia (Kesthuri) dan Muhammad Farid Aljawi yang merupakan Ketua Harian Asosiasi Kebersamaan Pengusaha Travel Haji dan Umrah (BERSATHU).Sementara saksi yang hadir adalah Firman M. Nur selaku Ketua Umum Amphuri; M. Firman Taufik yang merupakan Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh); Syam Resfisi selaku Ketua Umum Sapuhi; H Amaluddin selaku Komisaris PT Ebad Al Rahman Wisata dan Direktur PT Diva Mabruro; dan Lutfhi Abdul Jabbar yang merupakan Sekretaris Jenderal Mutiara Haji.Dalam pemeriksaan itu, Budi bilang, penyidik mendalami beberapa hal. Termasuk mekanisme pembayaran penyelenggaraan haji dengan kuota khusus dan adanya dugaan penyalahgunaan kuota petugas haji.“KPK mengingatkan kepada pihak yang dipanggil untuk dimintai keterangan kooperatif memenuhi panggilan dan mendukung proses penyidikan,” tegasnya.Diberitakan sebelumnya, KPK menyebut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag) akan memasuki babak baru. Dalam waktu dekat para tersangka bakal ditetapkan karena proses yang berjalan menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.Sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah tersebut masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jamaah haji.Dalam proses penyidikan, sejumlah pihak sudah dimintai keterangan termasuk Yaqut Cholil Qoumas. Rumahnya juga sudah digeledah penyidik dan ditemukan dokumen maupun barang bukti elektronik yang diduga terkait.