Ilustrasi Tari Tradisional Lampung (Sumber Foto: Padodo/Shutterstock)Tari Cangget sebagai salah satu warisan budaya masyarakat Lampung; bukan hanya fenomena estetis, tetapi juga sebuah konstruksi identitas yang kompleks. Jika identitas dipahami bukan sebagai sesuatu yang statis tetapi sebagai sesuatu yang selalu dibentuk, dipelihara, dan dinegosiasikan, tari ini dapat dibaca sebagai ruang di mana individu dan komunitas mendefinisikan dirinya.Dua pemikir kontemporer Anthony Giddens dan Amin Maalouf memberikan lensa yang berbeda, tetapi saling melengkapi dalam memahami dinamika identitas yang terkandung di dalamnya.Identitas dalam kerangka modernitas refleksif Giddens bukanlah sesuatu yang diwariskan begitu saja, melainkan hasil dari upaya sadar individu untuk membangun narasi tentang dirinya dalam konteks sosial yang berubah "Self-identity, in other words, is not something that is just given… but something that has to be routinely created and sustained in the reflexive activities of the individual." (Giddens, 1991: 52)Dalam tari Cangget, narasi ini tampak pada bagaimana seorang pemuda atau pemudi Lampung menemukan dirinya dalam ritus adat: dari sekadar individu yang menari, menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, yang mengikatnya dalam nilai kebersamaan, sopan santun, dan kesinambungan tradisi. Busana adat, gerak tubuh, hingga aturan sosial dalam pergaulan tari adalah bagian dari "naskah identitas" yang membantu individu merefleksikan siapa dirinya. Di sinilah tampak sifat refleksif identitas: ia selalu dinegosiasikan ulang sesuai ruang dan waktu.Ilustrasi ragam budaya di berbagai lokasi wisata Indonesia. Foto: Oka diana/ShutterstockSementara itu, Maalouf menekankan bahwa identitas manusia bersifat majemuk dan berlapis. Identitas tidak bisa dipartisi, tidak bisa dibagi, terlebih dipisah atau dipilah. "Identity can’t be compartmentalised. You can’t divide it up into halves or thirds or any other separate segments." (Maalouf, 2003: 2)Seseorang tidak hanya membawa satu identitas etnik atau budaya, tetapi merangkai banyak identitas yang menyatu dalam dirinya. Tari Cangget—dalam perspektif ini—adalah salah satu lapisan identitas masyarakat Lampung. Seorang pemuda Lampung yang menari Cangget mungkin juga seorang muslim, mahasiswa, atau warga negara Indonesia yang hidup dalam era globalisasi.Dengan demikian, Cangget bukan satu-satunya penanda identitasnya, melainkan sebagai bagian penting dari mosaik identitas yang lebih luas. Ketika Cangget tampil di panggung nasional maupun internasional, ia juga memperlihatkan bagaimana identitas Lampung bertemu, berdialog, bahkan bernegosiasi dengan identitas budaya lain.Membaca tari Cangget—melalui Giddens dan Maalouf—memperlihatkan bahwa tari ini bukan sekadar tradisi statis, melainkan sebuah arena produksi identitas. Dari dalam, ia membentuk kesadaran kolektif dan refleksi diri individu dalam komunitas adat. Dari luar, ia menjadi lapisan identitas yang menegaskan keberadaan masyarakat Lampung di tengah keragaman bangsa dan dunia. Dengan kata lain, tari Cangget bukan hanya "gerakan", melainkan narasi hidup tentang bagaimana identitas selalu dibangun, dirawat, dan dirayakan dalam keberagaman.