Tragedi Meta-Brand Yai Mim di "Pengadilan TikTok"

Wait 5 sec.

Ilustrasi "polusi media sosial" oleh Indra Fauzi/kumparan Foto: -Lagi-lagi media sosial TikTok menghadirkan dampak yang membuat netizen termangu. Di sebuah kamar kos sederhana di Malang, seorang pria berusia 59 tahun memulai babak baru hidupnya. Ia adalah seorang Kiai, Doktor, pendiri dua pesantren, dan mantan dosen di sebuah universitas Islam negeri. Namanya Yai Mim. Ironisnya, ia terusir dari rumahnya sendiri—sebuah rumah yang sebagian tanahnya telah ia sumbangkan untuk kepentingan umum.Bagaimana mungkin seorang figur dengan otoritas moral dan intelektual yang dibangun selama puluhan tahun bisa jatuh begitu dalam? Jawabannya bukan karena sengketa jalanan umum, melainkan karena ia kalah dalam sebuah perang modern yang tak terlihat: perang antara otoritas Mimbar dan kekuatan Layar. Mimbar di sini adalah simbol otoritas lama—khotbah, kitab, gelar akademik, dan hierarki sosial-religius—yang berbicara lewat teks panjang dan penghormatan simbolik. Sebaliknya, Layar adalah otoritas baru: video pendek, viralitas, dan emosi instan yang menentukan siapa dipercaya atau dijatuhkan.Ilustrasi TikTok. Foto: Patrick T. Fallon/AFPKonteks yang Hilang: Memahami Hati di Balik Tanah WakafTerdapat sebidang tanah wakaf di jantung sengketa ini. Bagi yang tidak familiar, wakaf adalah sebuah tindakan suci dalam Islam di mana seseorang menyumbangkan properti pribadinya untuk kepentingan umum. Kepemilikan properti itu—secara esensial—diserahkan kepada Tuhan untuk dimanfaatkan oleh komunitas selamanya.Bayangkan jika kalian menyumbangkan tanah kesayangan kalian kepada kota untuk dijadikan taman bermain publik. Kalian tidak lagi memilikinya, tetapi kalian memiliki ikatan moral yang mendalam. Sekarang, bayangkan jika sebuah bisnis rental mobil mulai memarkir armadanya di taman itu, merusak rumput, dan mengganggu anak-anak. Kemarahan kalian tentu bisa dipahami. Inilah, dalam bahasa sederhana, konteks emosional di balik kemarahan Yai Mim. Adanya amanah spiritual yang dilanggar dan dimanfaatkan secara sepihak oleh orang yang hanya memikirkan keuntungan pribadi.Operasi Pembunuhan Meta-BrandKonflik ini meledak bukan di meja mediasi RT, melainkan di panggung brutal layar aplikasi TikTok. Tetangganya tidak menyerang fakta hukum wakaf; ia menyerang karakter Yai Mim. Melalui video pendek yang viral, sebuah operasi “pembunuhan meta-brand” dilancarkan.Aspek yang diserang bukanlah sekadar nama, melainkan meta-brand-nya—seluruh atribut nilai, reputasi, dan legitimasi tak kasat mata yang telah dia bangun selama puluhan tahun sebagai ulama, pendidik dan intelektual. Meta-brand “otoritas intelektual dan moral” Yai Mim dibingkai ulang menjadi “arogansi elite”. Tindakannya membela hak atas tanah wakaf digambarkan sebagai kesewenang-wenangan. Puncaknya, kondisi medisnya yang membuatnya terjatuh dibingkai sebagai drama “pura-pura stroke”. Dalam sekejap, puluhan tahun reputasi dihancurkan oleh narasi 60 detik.Ilustrasi ragam Sosial Media. Foto: ShutterstockSaat Mimbar Kehilangan Suara di Hadapan LayarSetelah adanya upaya dari Denny Sumargo di dalam konten podcast-nya yang menghadirkan Yai Mim, ternyata ada plot twist. Ketika fakta-fakta baru muncul, para “netizen forensik” membalikkan vonis mereka. Simpati publik berbalik arah dan Yai Mim berhasil di-rebranding sebagai korban di dunia maya. Namun, di sinilah tragedi sesungguhnya terungkap: kemenangan di dunia maya tidak ada artinya di dunia nyata.Tragedi Yai Mim adalah alegori tentang devaluasi otoritas tradisional di era digital. Logika Mimbar yang mewakii kondisi Yai Mim, menginterpretasikan hal yang kompleks, berbasis teks, menuntut penghormatan pada hierarki pengetahuan dan status sosial-religius. Otoritasnya dibangun perlahan, melalui disertasi, kitab (buku-buku) dan pengabdian.Sedangkan jika kita menggunakan logika layar, interpretasi yang muncul adalah simpel, berbasis visual, menuntut dampak emosional dan bersifat populis anti-hierarki. Otoritasnya dibangun instan, melalui tindakan pengguna yang membagikan konten yang memicu viralitas dan jumlah “like” serta "comment".Di “pengadilan TikTok”, logika layar sering menang. Gelar Doktor dan status Kiai tidak berdaya melawan klip pendek yang emosional. Ini adalah kekalahan telak Mimbar di hadapan Layar.Ilustrasi TikTok. Foto: Konstantin Savusia/ShutterstockRuang Hampa InstitusionalLayar hanya bisa menjadi hakim, juri dan algojo ketika institusi di dunia nyata menciptakan ruang hampa. Di mana peran Ketua RT/RW, tokoh masyarakat dan pihak aparat kelurahan untuk menengahi sengketa sederhana ini sebelum menjadi viral?Kegagalan mereka untuk menjalankan fungsi mediasi adalah “dosa asal” yang membuat konflik ini tumpah ke pengadilan massa yang brutal. “Pengadilan TikTok” hanyalah gejala dari lumpuhnya pengadilan sosial di tingkat komunitas. Ketika institusi nyata gagal memberikan keadilan, publik akan mencarinya di tempat lain, bahkan jika tempat itu adalah arena gladiator digital yang penuh distorsi.Oleh sebab itu, ruang hampa institusional tidak hanya menciptakan konflik yang membesar, tetapi juga membuka pintu bagi mekanisme keadilan alternatif yang liar dan tak terkendali. Begitu otoritas formal absen, masyarakat menjatuhkan pilihan pada arena digital di mana persepsi lebih cepat terbentuk daripada verifikasi. Dari sinilah lahir praktik yang kini dikenal sebagai “trial by social”.Fenomena “trial by social” menjadikan narasi awal lebih menentukan daripada kebenaran akhir. Survei-survei internasional dan kajian akademis memperlihatkan tren yang sama: kepercayaan pada otoritas tradisional menurun sementara narasi viral di platform digital semakin berkuasa. Bila institusi lambat merespons, ruang publik akan diisi oleh bingkai pandangan emosional yang sulit dibantah. Untuk mencegah implikasi tragis seperti yang menimpa Yai Mim, kita memerlukan protokol tanggap cepat, mediasi komunitas yang berfungsi dan literasi digital yang membuat publik tidak mudah menyerah pada kesan pertama—sebuah vaksin sosial melawan vonis kilat yang diproduksi layar.OPINI ANDINA - Ilustrasi Komunitas Foto: Shutter StockAlegori yang TerulangKisah Yai Mim bukanlah kasus tunggal; fenomena yang sama muncul pula di ranah akademik internasional. Sebagai ilustrasi, Profesor Francesca Gino, seorang ilmuwan perilaku (behavioral scientist) di Harvard Business School, menjadi subjek perhatian luas setelah tuduhan terkait metodologi dan keandalan beberapa studinya dipublikasikan oleh peneliti independen dan ramai dibahas di ranah digital. Tuduhan dan analisis di blog riset itu, memicu investigasi lebih lanjut oleh institusi dan sorotan media. Sampai saat ini, proses investigasi dan langkah hukum/administratif terkait masih berlangsung dan perdebatan di ruang publik berjalan paralel dengan proses formal.Kisah Profesor Fransesca Gino relevan sebagai bandingan bukan karena putusan akhir—karena belum ada—melainkan karena dinamika yang sama: narasi awal di ruang digital dapat membentuk persepsi publik jauh sebelum proses pemeriksaan substantif rampung. Di sini terlihat pola yang menggemakan apa yang menimpa Yai Mim: meta-brand seseorang—baik di Mimbar maupun di kampus—rentan terguncang ketika Layar mengambil inisiatif framing.Peringatan untuk Semua “Mimbar”Kisah Yai Mim—dipertautkan pada bayang kasus ilmiah yang sedang berjalan—adalah peringatan keras bagi semua institusi tradisional: pemerintah, lembaga agama, universitas dan media. Meta-brand otoritas mereka tidak lagi sakral. Jika mereka tidak bisa membuktikan relevansi, keadilan dan efektivitas mereka di dunia nyata, layar akan selalu siap untuk menghakimi dan menghancurkan mereka di dunia maya.Perang antara Mimbar dan Layar telah dimulai. Setiap institusi kini harus memilih: beradaptasi dengan menyediakan keadilan yang nyata, atau bersiap menjadi fosil digital berikutnya.